Sang Pekerja/Buruh, Pinneberg!
"Karena kalian para karyawan tidak terorganisir," ujar Tuan Morschel menjelaskan. "Karena tidak ada hubungan erat di antara kalian, tidak ada solidaritas. Karenanya mereka berlaku semena-mena terhadap kalian."
"Karyawan," kata Morschel. "Kalian berpikir bahwa kalian lebih baik daripada kami para buruh."
"Aku tidak berpikir seperti itu."
"Tentu saja kalian berpikir seperti itu. Dan kenapa kalian berpikir seperti itu? Karena kalian dibayar untuk satu bulan penuh, tidak seperti kami yang dibayar setiap satu minggu sekali. Kalian juga tidak mendapatkan uang dari jam lembur kalian, kalian dibayar di bawah tarif. Kalian juga tidak pernah berdemonstrasi karena kalian adalah para pengacau aksi demonstrasi."
"Seandainya saja kau berada dalam posisiku, Kube...."
"Aku tahu. Aku tahu. Jika semua orang berpikir sepertimu, Anak Muda, mungkin semua orang akan selalu diperbudak oleh majikannya dan harus mengemis hanya untuk mendapatkan sepotong roti. Tapi, itu terserah kau saja, kau masih muda. Kau masih akan menghadapi, kau akan mengalami, seberapa lama kau bisa bertahan menjadi penjilat mereka. Ayo, istirahat!"
"Kau tahu, rasanya sangat menyenangkan saat kita memiliki sesuatu yang membuat kita selalu bahagia setiap hari."
"Ya, tentu saha," kata Lammchen.
"Aku membayangkan bagaimana saat menyaksikan dia tumbuh besar," kata Pinneberg.
Dikaruniai seorang anak dalam pernikahan memberikan rasa bahagia walaupun juga akan menimbulkan rasa cemas, terutama untuk keluarga kelas pekerja yang hanya menerima gaji bulanan. Pinneberg dan Lammchen harus melakukan perhitungan hingga berkali-kali dalam membagi setiap kebutuhan. Walaupun begitu penghasilan Pinneberg hampir tidak bersisa meski telah menghemat uang untuk menu makanan sehari-hari.
Kehadiran Murkel akan diiringi dengan kebutuhan yang akan bertambah, Pinneberg harus tetap bekerja namun yang menentukan kelangsungan pekerjaannya bukanlah dia sendiri tetapi majikan yang baik/buruk tersebut. Seandainya saja rasa solidaritas antara para kelas pekerja terjalin dengan kuat, tentu saja majikan yang baik/buruk tidak dapat berbuat semena-mena.
Lammchen percaya pada solidaritas di antara semua pekerja: "Teman-temanmu tidak akan berbuat curang padamu! Tidak, Junge, semuanya akan baik-baik saja. Aku selalu percaya, tidak ada hal buruk yang akan menimpa kita. Kenapa? Karena kita sudah menjadi orang rajin, kita hidup hemat, kita juga bukan orang jahat, kita juga menginginkan Murkel dan kita bahagia memilikinya-lalu kenapa harus ada hal buruk yang terjadi pada kita? Itu sama sekali tidak masuk akal!"
Dalam kehidupan memang tidak ideal jika kita mengharapkan kehadiran pemerintah memberikan keadilan bagi semua orang terutama bagi mereka yang kehadirannya dianggap membebani pemerintah. Walaupun sebenarnya mereka yang duduk di pemerintahan digaji oleh kelas pekerja dari pajak yang dibayarkan. Suara kelas pekerja pun sangat dibutuhkan oleh para politikus saat pemilu untuk memilih partai dan pemimpin, namun setelah itu mereka akan dilupakan. Apakah pemerintah memihak kelas pekerja/buruh jika diberhentikan oleh sang majikan yang baik/buruk? Apakah pemerintah memudahkan kelas pekerja/buruh memperoleh hak-hak nya setelah diberhentikan oleh sang majikan yang baik/buruk?
Ia hanyalah satu dari sekian juta orang. Para menteri seringkali berpidato untuk keuntungan mereka sendiri, memperingatkan orang untuk mengencangkan ikat pinggang, mengorbankan apa saja yang dimiliki, memiliki jiwa nasionalisme sebagai orang Jerman, menyimpan uang tabungan di bank, dan memilih partai yang mendukung pemerintah. Semua hal yang mereka inginkan dariku, bukanlah hal yang mereka ingingkan demi kebaikanku; aku bisa mati sengsara atau tidak, tak ada pengaruhnya bagi mereka; aku bisa pergi ke bioskop atau tidak, mereka tak akan tertarik; bahwa Lammchen saat ini hidup dengan layak atau banyak kesusahan, bahwa Murkel akan bahagia atau sengsara, siapa di antara mereka yang mau peduli?
Pada akhirnya, Pinneberg hanya meletakkan harapan kepada sang majikan yang baik/buruk dan solidaritas sesama kelas pekerja agar tidak kehilangan pekerjaan. Namun, harapan itu tentu sangat naif karena sang majikan yang baik/buruk akan mempertahankanya jika menguntungkan bagi perusahaan. Sedangkan, solidaritas sesama kelas pekerja sangat sulit terwujud karena adanya hirarki yang diciptakan oleh perusahaan.
"Lalu bagaimana jika dia tak menjual sebanyak yang ditargetkan dan tak seefisien itu? Apa tujuan mereka mengusir keluar seseorang hanya karena uang yang dia dapatkan, hanya karena alasan hasil kerja dan semua tanggung jawab yang dia lakukan? Apa orang lemah sama sekali tak boleh sedikit saja lebih kuat? Apa mereka sedemikian berhaknya menghakimi nasib seseorang atas dasar jumlah celana yang dijualnya?"
"Pasti mereka dengan jelas akan mengatakan bahwa mereka tak membayar seseorang hanya karena orang itu bersikap baik, tapi karena orang itu berhasil menjual celana sebanyak mungkin."
Kehawatiran yang telah mengendap dalam kepala Pinneberg pada akhirnya datang juga. Kelas pekerja yang berusaha mempertahakan penghidupan keluarga harus menyerah dengan kenyataan bahwa sang majikan memanglah baik/buruk.
Lehmann jatuh tersungkur karena Pinneberg dan Pinneberg pergi tersingkir karena Kessler. Sekarang dia bisa menarik kesimpulan filosifis, bahwa alangkah pentingnya menjadi seorang penjual baik, sepenuh hati, menjual sesuatu dengan penuh cinta. Alangkah pentingnya menerapkan semangat juang yang sama antara harus menjual celana panjang berbahan katun seharga enam setengah dengan menjual jas seharga seratus dua puluh! Ya, solidaritas di antara sesama karyawan itu memang ada, yaitu solidaritas rasa iri untuk memerangi prestasi individu.
Masalah sosial pada kehidupan Pinneberg yang tinggal jauh di Jerman sana, puluhan tahun silam masih dialami oleh kelas pekerja saat ini. Solidaritas antar kelas pekerja masih sangat sulit terjalin, pengakuan diri sendiri bahwa mereka yang menawarkan jasa/tenaga pada pemilik modal/majikan adalah buruh selalu dibantah. Selain itu, sang majikan yang baik/buruk membangun narasi bahwa "perusahaanlah yang memungkinkanmu mengurus kehidupan pribadimu, perusahaanlah yang mengambil alih kekhawatiranmu soal kebutuhan hidupmu, sehingga kalian kelas pekerja seharusnya mengutamakan perusahaan daripada kehidupan pribadinya".
Mungkin tidak semua kelas pekerja, tetapi saya sesekali menjelma menjadi Pinneberg di kehidupan nyata pada abad ke-21. Seringkali perasaan itu hanya memenuhi pikiran karena tahu bahwa tidak ada seseorang yang pernah dipenjarakan karena ide yang masih bermukim dalam kepalanya yang tidak diungkapkan.
"Ya, kau benar," kata Pinneberg pelan. Lalu dia terdiam, Tiba-tiba saja dia memukul meja di depannya penuh kesal: "Sial!" teriaknya. "Ada apa?" tanya Lammchen. "Apa yang terjadi?"
"Tidak ada," jawabnya, dia sedikit merengus lagi. "Terkadang aku hanya ingin meledakkan amarah atas segala hal yang terjadi di dunia ini."
Beberapa foto aksi unjuk rasa pada peringatan Hari Buruh Internasional (May Day) tanggal 01 Mei 2024.
![]() |
Life as Divorcee |
"Bercerai bukan berarti atau enggan menyelesaikan masalah. Sama seperti mempertahankan rumah tangga setelah badai, bercerai juga merupakan solusi. Sama bobotnya. Sama halnya tidak ada yang salah dengan keputusan perempuan untuk meminta cerai dengan pertimbangan kebahagiaan sendiri. Bukankah kita memang bertanggung jawab terhadap kebahagiaan masing-masing?"
Lalu, kenapa masih banyak orang yang menggantungkan kebahagiaannya kepada pasangannya padahal perasaan bahagia itu sangat lah pribadi. Mungkin saja kamu merasa bahagia bersama pasanganmu tetapi mungkin saja dia merasa sebaliknya, kamu berjuang bertahan sedangkan dia sebenarnya ingin mengakhiri semuanya namun bertahan karena mengasihanimu. Barangkali kamu bertahan karena takut dengan stigma negatif dari masyarakat jika bercerai walaupun setiap hari kamu mengalami kekerasan dalam rumah tangga. Kamu menyalahkan dirimu sendiri karena salah memilih pasangan hanya karena kamu percaya bahwa perasaan cinta cukup untuk memulai mengarungi kehidupan berumah tangga selamanya.
Dalam buku "Life as Divorce" Virly K.A berbagi pengalaman dan pandangannya tentang berbagai hal, mulai dari pengalaman perceraiannya, sebelum bercerai dia menyarankan orang beberapa hal yang harus diketahui seperti menjadi seorang divorcee tidak sama dengan kembali single terutama jika memiliki anak. harus siap sebagai orangtua tunggal, berani mengambil keputusan sendiri, mengatur keuangan, berkomunikasi dengan mantan jika memiliki anak.
Bagian yang paling menarik bagi pembaca yang belum menikah adalah pre-marriage talks I didn't do. Menurutnya pre-marriage talks adalah hal penting yang harus dilakukan sebelum memutuskan menikah. Mulai dari saling terbuka membicarakan prinsip hidup masing-masing, lalu tentang kesesuaian rencana dan impian, kemudian soal anak terutama tentang soal pola asuh anak yang akan diterapkan, keterbukaan pengelolaan keuangan, pelanggaran yang tidak ditoleransi, dan sex stuffs.
Selain itu Virly juga memberikan saran kepada perempuan untuk tidak menikah dengan laki-laki yang memiliki perilaku tertentu, seperti laki-laki yang tidak paham dengan konsep concent (persetujuan), menyetir tanpa aturan, memiliki perbedaan yang sangat banyak, mengabaikan Tuhan, kasar pada pramusaji, enggak ada butterflies-on-my-stomatch feeling.
Walaupun beberapa pembahasan berdasarkan pengalaman dan pemahaman pribadi namun tidak mengurangi sifat universal pada setiap hal yang dibahas, misalnya pembahasan tentang jenis-jenis suami yang enggak worthy dipertahankan, perkara hamil di luar nikah, co-parenting bagi pasangan yang bercerai.
Bagi perempuan yang telah menikah, terdapat pembahasan tentang KDRT (kekerasan dalam rumah tangga), mulai dari indikasi hingga daftar kontak darurat pertolongan di beberapa daerah di Indonesia.
Pernikahan seharusnya membahagiakan bagi setiap pasangan selain itu seharusnya mengedepankan unsur kesetaraan dan keadilan bagi siapa pun, jika di dalamnya terdapat kekerasan, pengekangan, dan merendahkan pasangan maka itu adalah sebuah kejahatan.
![]() |
Burung Kayu, Niduparas Erlang |
"Taaakk..."
"Apa gaharu dan nilam akan terus laku dan membuat kita kaya?"
Jika dia ketahuan punya tato di antara tahun 1982 -1985, maka sudah cukup alasan dia dianggap penjahat yang mungkin akan dihabisi oleh petrus (penembak misterius). Kalau tidak salah namanya “Naches”, aku lupa sekarang dia masih hidup atau tidak. Namun, aku masih teringat dengan tato di lengannya yang gemuk berlemak bergambar perempuan telanjang tertusuk anak panah di hatinya dengan darah menetes. Setiap bertemu dengannya aku yang masih kanak-kanak (awal tahun 2000) selalu ketakutan, tetapi juga kagum dengan tatonya. Mungkin perjumpaan di masa kanak-kanak itu yang membuat aku bermimpi suatu saat mempunyai tato, tentu bukan gambar perempuan telanjang.
Kumpulan cerpen berjudul “Penembak Misterius” karya Seno Gumira Ajidarma. Di awali dengan trilogi penembak misterius yang terdiri dari Keroncong Pembunuhan, Bunyi Hujan di Atas Genting, dan Grhhh!. Ketiga cerpen ini di publikasikan di tahun 1985 dan 1987 saat rezim pemerintahan Orde Baru berkuasa. Trilogi cerpen tersebut sebagai reaksi SGA terhadap kebijakan pemerintah terkait dengan maraknya penembak misterius yang menewaskan orang-orang yang dianggap penjahat tanpa proses pengadilan.
Pada tahun 1983, rezim Orde Baru menerapkan kebijakan yang ditakuti para penjahat bahkan preman: tembak mati. Mereka bisa dieksekusi mati kapan saja oleh penembak misterius (petrus). Di kutip dari histroia.id bahwa “kebijakan petrus ini atas restu Presiden Soeharto. Dalam otobiografinya, Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya, Soeharto berasalan bahwa petrus sebagai usaha mencegah kejahatan seefektif mungkin dengan harapan menimbulkan efek jera.”
Bunyi Hujan di Atas Genting
Sawitri merasa tetangga-tetangganya sudah terbiasa dengan mayat-mayat bertato itu. Malahan ia merasa tetangga-tetangga itu bergembira setiap kali melihat mayat bertato tergeletak di mulut gang setiap kali hujan reda dan mayat itu disemprot cahaya lampu merkuri yang kekuning-kuningan. Di dalam rumahnya yang terletak di sudut gang itu Sawitri mendengar apa saja yang mereka percakapkan. Mereka berteriak-teriak sambil mengurumuni mayat yang tergeletak itu meskipun kadang-kadang hujan belum benar-benar selesai dan anak-anak berteriak hore-hore.
“Lihat!Satu lagi!”
“Mampus!”
“Modar!”
“Tahu rasa dia sekarang!”
“Anjing!”
“Anjing!”
Potongan-potongan paragraf di atas menampilkan wacana yang tumbuh di masyarakat pada saat kebijakan petrus diterapkan oleh rezim Orde Baru. Muncul stereotip kepada orang-orang yang bertato bahwa mereka termasuk preman atau gabungan anak liar (gali) yang dapat mengancam keamanan. Sehingga, korban petrus yang memiliki tato dianggap oleh masyarakat pantas untuk ditembak mati. Pada akhirnya kebijakan pertrus ini telah dihentikan pada tahun 1985 dan orde baru telah runtuh di tahun 1998 tetapi stereotip masyarakat terhadap orang-orang bertato masih tetap saja hidup di tengah-tengah masyarakat.
Sarman
Sarman yang sudah menghadap ke jalan raya berbalik, sambil menendang sisa-sisa kaca di kusen jendela, ia berteriak dengan marah.
“Sudah sepuluh tahun aku bangun tiap pagi dan berangkat dengan tergesa-gesa ke kantor ini! Sudah sepuluh tahun aku berangkat pagi hari dan pulang sore hari melalui jurusan yang sama! Sudah sepuluh tahun aku memasukkan kartu absen di mesin keparat itu tiap pagi dan sore! Sudah sepuluh tahun aku melakukan pekerjaan yang itu-itu saja delapan jam sehari! Sudah sepuluh tahun! Dan akan berpuluh-puluh tahun lagi!”
“Sarman sudah gila,” bisik seseorang.
Cerpen ini memang di awali dengan kalimat, “berceritalah tentang kejenuhan.” Konflik yang terjadi dalam diri tokoh utama Sarman, mengingatkan saya tentang filsafat eksistensialisme Sartre. Menurut Sartre bahwa manusia merasa terasing dalam sebuah dunia tanpa makna. Perasaan terasing manusia di dunia ini menciptakan keputusasaan, kebosanan, kemuakkan, dan absurditas.
Dalam realitas kehidupan khususnya kelas pekerja menengah perkantoran tentu mungkin ingin melakukan pemberontakan terhadap dirinya sendiri seperti Sarman, namun ketakutan untuk bertanggung jawab terhadap pilihan sendiri menjadi dinding tebal yang sulit dirobohkan.
Seorang Perempuan di Halte Bis
“Siapakah dia? Dari mana? Mau ke mana? Anak siapa? Berapakah saudaranya? Adakah orang-orang yang kehilangan dan mencari dia? Betapa sebuah jalan hidup. Betapa sebuah perjalanan.
Aku masih meluncur di dalam bis kota yang kosong. Bis kotaku meluncur tanpa kernet dan tanpa sopir. Aku merasa naik burak. Aku masih teringat perempuan itu, yang pasti masih saja berdiri di halte bis sambil menengok ke arah kanan, menanti-nanti bis kota dengan satu saja kursi kosong. Sudah sepuluh tahun ia berdiri di sana. Sudah sepuluh tahun…”
Ketika membaca cerpen ini, aku dihadapkan dengan dua kondisi tokoh yang jauh berbeda. Tokoh pertama, perempuan di halte yang menanti bis kota dengan satu tempat duduk kosong. Bis kota yang jika tiba di halte tersebut telah penuh dengan penumpang, selain itu penumpang yang menunggu di halte bersama perempuan itu pun selalu berdesak-desakan. Walaupun telah menunggu selama sepuluh tahun di halte yang sama tidak ada satu pun penumpang yang memberikannya satu kursi kosong.
Tokoh kedua, aku seorang pedagang keliling yang berpindah dari satu bis kota satu ke bis kota lainnya. Dia tidak ingin hanya menghabiskan waktu di satu tempat saja. Namun, di setiap tempat yang ia singgahi ditemukannya orang-orang yang hanya mementingkan kepentingan sendiri.
Kumpulan cerpen Penembak Misterius, SGA menggunakan wahana sastra sebagai media informasi untuk mengkritik kebijakan Orde Baru dikarenakan munculnya pelarangan pers atau kontrol pers yang ketat terhadap media-media informasi saat itu. Maka SGA bertindak sebagaimana judul bukunya yang lain yaitu, ”Ketika jurnalisme dibungkam, sastra harus bicara.”
Sumber:
Ajidarma, Seno Gumira.2020. Penembak Misterius.
Gaarder, Jostein.2015.Dunia Sophie.
https://historia.id/kultur/articles/tato-dari-petrus-hingga-angelina-jolie-PNlKD/page/2
https://historia.id/politik/articles/petrus-kisah-gelap-orba-PyXNv/page/2