Sang Pekerja/Buruh, Pinneberg!


Di tempat tidur, Lammchen membiarkan suaminya merebahkan diri di lengannya, dia memeluk erat, saraf-saraf suaminya seolah terkulai lemas, lalu dia menangis. Lammchen mendekapnya dan terus menyemangatinya: "Junge, seandainya kau harus kehilangan pekerjaanmu, jangan sampai kau kehilangan keberanianmu, jangan pernah putus asa. Aku tak akan, tak akan, tak akan pernah mengeluh, aku bersumpah padamu!"
Ketakutan paling mendasar bagi kami kelas pekerja yang bergantung kepada kebaikan hati majikan adalah kehilangan pekerjaan. Sebuah kenyataan pahit namun begitulah dunia yang kita huni saat ini, ketidakseimbangan antara jumlah pekerja dan jumlah lapangan kerja baru semakin berjarak. Keadaan ini tentu akan memberikan kecemasan bagi kelas pekerja, jika tiba hari saat sang majikan tidak puas dengan kinerjamu atau mungkin saja kamu berada dalam pandangannya saat suasana hati sang majikan lagi buruk, kamu bisa diberhentikan. Mereka bisa dengan mudah mencari penggantimu. 
Novel berjudul "Lelaki malang, kenapa lagi?", karya Hans Fallada yang diterjemahkan oleh Tiya Hapitiawati terbit pada bulan Desember 2019, diterbitkan oleh Moooi Pustaka. Judul dalam bahasa Jerman, Klener Mann, was nun? terbit pada tahun 1932.
Pinneberg adalah seorang staf pembukuan di sebuah toko gandum, menikahi perempuan bernama Lammchen yang berasal dari keluarga buruh. Walaupun mereka bersama berada dalam kelas pekerja namun pada saat itu di Jerman terdapat perbedaan pandangan antara para buruh dengan karyawan dalam masyarakat.

"Karena kalian para karyawan tidak terorganisir," ujar Tuan Morschel menjelaskan. "Karena tidak ada hubungan erat di antara kalian, tidak ada solidaritas. Karenanya mereka berlaku semena-mena terhadap kalian."
"Karyawan," kata Morschel. "Kalian berpikir bahwa kalian lebih baik daripada kami para buruh."
"Aku tidak berpikir seperti itu."

"Tentu saja kalian berpikir seperti itu. Dan kenapa kalian berpikir seperti itu? Karena kalian dibayar untuk satu bulan penuh, tidak seperti kami yang dibayar setiap satu minggu sekali. Kalian juga tidak mendapatkan uang dari jam lembur kalian, kalian dibayar di bawah tarif. Kalian juga tidak pernah berdemonstrasi karena kalian adalah para pengacau aksi demonstrasi."

Ternyata kecendrungan pandangan yang memberikan jarak status sosial antara pekerja karyawan dan pekerja buruh sudah terjadi sejak lama. Ada pandangan bahwa mereka yang bekerja sebagai karyawan merasa meliliki status lebih tinggi daripada pekerja buruh hanya karena pakaian karyawan lebih rapi, selembar ijazah, dan gaji bulanan. Sedangkan, pekerja buruh lebih menggunakan otot dalam bekerja yang dibayar berdasarkan jam kerja. Namun, sebenarnya mereka berada dalam posisi yang sama yaitu dipekerjakan oleh majikan yang kadang baik/buruk.
Jika kita merujuk pada defenisi bahwa setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain adalah pekerja/buruh. Maka, seharusnya rasa solidaritas antar pekerja itu muncul bukan malah saling bersaing menjilat kaum pemodal yang belum tentu memikirkan kehidupan mereka. Hirarki dalam organisasi perusahaan bukan dijadikan alasan untuk mereka yang berada di atas menindas/menghisap pekerja yang lebih rendah hanya karena ingin memuaskan majikan baik/buruk.

"Seandainya saja kau berada dalam posisiku, Kube...."
"Aku tahu. Aku tahu. Jika semua orang berpikir sepertimu, Anak Muda, mungkin semua orang akan selalu diperbudak oleh majikannya dan harus mengemis hanya untuk mendapatkan sepotong roti. Tapi, itu terserah kau saja, kau masih muda. Kau masih akan menghadapi, kau akan mengalami, seberapa lama kau bisa bertahan menjadi penjilat mereka. Ayo, istirahat!"

semua pekerja adalah buruh
Novel "Lelaki malang, kenapa lagi?" menceritakan perjuangan kelas pekerja dalam menjalani kehidupan awal berumah tangga di tengah kekhawatiran kehilangan pekerjaan. Kehidupan rumah tangga Pinneberg dan Lammchen tidak sepenuhnya mengalami kemalangan, mungkin secara keuangan mereka kesulitan membagi gaji yang kecil Pinneberg ke dalam daftar kebetuhan sehari-hari. Namun, perasaan bahagia tetap menyelimuti keluarga kecil mereka. 

"Kau tahu, rasanya sangat menyenangkan saat kita memiliki sesuatu yang membuat kita selalu bahagia setiap hari."
"Ya, tentu saha," kata Lammchen.
"Aku membayangkan bagaimana saat menyaksikan dia tumbuh besar," kata Pinneberg.

Dikaruniai seorang anak dalam pernikahan memberikan rasa bahagia walaupun juga akan menimbulkan rasa cemas, terutama untuk keluarga kelas pekerja yang hanya menerima gaji bulanan. Pinneberg dan Lammchen harus melakukan perhitungan hingga berkali-kali dalam membagi setiap kebutuhan. Walaupun begitu penghasilan Pinneberg hampir tidak bersisa meski telah menghemat uang untuk menu makanan sehari-hari. 

Kehadiran Murkel akan diiringi dengan kebutuhan yang akan bertambah, Pinneberg harus tetap bekerja namun yang menentukan kelangsungan pekerjaannya bukanlah dia sendiri tetapi majikan yang baik/buruk tersebut. Seandainya saja rasa solidaritas antara para kelas pekerja terjalin dengan kuat, tentu saja majikan yang baik/buruk tidak dapat berbuat semena-mena. 

Lammchen percaya pada solidaritas di antara semua pekerja: "Teman-temanmu tidak akan berbuat curang padamu! Tidak, Junge, semuanya akan baik-baik saja. Aku selalu percaya, tidak ada hal buruk yang akan menimpa kita. Kenapa? Karena kita sudah menjadi orang rajin, kita hidup hemat, kita juga bukan orang jahat, kita juga menginginkan Murkel dan kita bahagia memilikinya-lalu kenapa harus ada hal buruk yang terjadi pada kita? Itu sama sekali tidak masuk akal!"

Dalam kehidupan memang tidak ideal jika kita mengharapkan kehadiran pemerintah memberikan keadilan bagi semua orang terutama bagi mereka yang kehadirannya dianggap membebani pemerintah. Walaupun sebenarnya mereka yang duduk di pemerintahan digaji oleh kelas pekerja dari pajak yang dibayarkan. Suara kelas pekerja pun sangat dibutuhkan oleh para politikus saat pemilu untuk memilih partai dan pemimpin, namun setelah itu mereka akan dilupakan. Apakah pemerintah memihak kelas pekerja/buruh jika diberhentikan oleh sang majikan yang baik/buruk? Apakah pemerintah memudahkan kelas pekerja/buruh memperoleh hak-hak nya setelah diberhentikan oleh sang majikan yang baik/buruk? 

Ia hanyalah satu dari sekian juta orang. Para menteri seringkali berpidato untuk keuntungan mereka sendiri, memperingatkan orang untuk mengencangkan ikat pinggang, mengorbankan apa saja yang dimiliki, memiliki jiwa nasionalisme sebagai orang Jerman, menyimpan uang tabungan di bank, dan memilih partai yang mendukung pemerintah. Semua hal yang mereka inginkan dariku, bukanlah hal yang mereka ingingkan demi kebaikanku; aku bisa mati sengsara atau tidak, tak ada pengaruhnya bagi mereka; aku bisa pergi ke bioskop atau tidak, mereka tak akan tertarik; bahwa Lammchen saat ini hidup dengan layak atau  banyak kesusahan, bahwa Murkel akan bahagia atau sengsara, siapa di antara mereka yang mau peduli?

Pada akhirnya, Pinneberg hanya meletakkan harapan kepada sang majikan yang baik/buruk dan solidaritas sesama kelas pekerja agar tidak kehilangan pekerjaan. Namun, harapan itu tentu sangat naif karena sang majikan yang baik/buruk akan mempertahankanya jika menguntungkan bagi perusahaan. Sedangkan, solidaritas sesama kelas pekerja sangat sulit terwujud karena adanya hirarki yang diciptakan oleh perusahaan.

"Lalu bagaimana jika dia tak menjual sebanyak yang ditargetkan dan tak seefisien itu? Apa tujuan mereka mengusir keluar seseorang hanya karena uang yang dia dapatkan, hanya karena alasan hasil kerja dan semua tanggung jawab yang dia lakukan? Apa orang lemah sama sekali tak boleh sedikit saja lebih kuat? Apa mereka sedemikian berhaknya menghakimi nasib seseorang atas dasar jumlah celana yang dijualnya?"

"Pasti mereka dengan jelas akan mengatakan bahwa mereka tak membayar seseorang hanya karena orang itu bersikap baik, tapi karena orang itu berhasil menjual celana sebanyak mungkin."

Kehawatiran yang telah mengendap dalam kepala Pinneberg pada akhirnya datang juga. Kelas pekerja yang berusaha mempertahakan penghidupan keluarga harus menyerah dengan kenyataan bahwa sang majikan  memanglah baik/buruk. 

Lehmann jatuh tersungkur karena Pinneberg dan Pinneberg pergi tersingkir karena Kessler. Sekarang dia bisa menarik kesimpulan filosifis, bahwa alangkah pentingnya menjadi seorang penjual baik, sepenuh hati, menjual sesuatu dengan penuh cinta. Alangkah pentingnya menerapkan semangat juang yang sama antara harus menjual celana panjang berbahan katun seharga enam setengah dengan menjual jas seharga seratus dua puluh! Ya, solidaritas di antara sesama karyawan itu memang ada, yaitu solidaritas rasa iri untuk memerangi prestasi individu.

Masalah sosial pada kehidupan Pinneberg yang tinggal jauh di Jerman sana, puluhan tahun silam masih dialami oleh kelas pekerja saat ini. Solidaritas antar kelas pekerja masih sangat sulit terjalin, pengakuan diri sendiri bahwa mereka yang menawarkan jasa/tenaga pada pemilik modal/majikan adalah buruh selalu dibantah. Selain itu, sang majikan yang baik/buruk membangun narasi bahwa "perusahaanlah yang memungkinkanmu mengurus kehidupan pribadimu, perusahaanlah yang mengambil alih kekhawatiranmu soal kebutuhan hidupmu, sehingga kalian kelas pekerja seharusnya mengutamakan perusahaan daripada kehidupan pribadinya".

Mungkin tidak semua kelas pekerja, tetapi saya sesekali menjelma menjadi Pinneberg di kehidupan nyata pada abad ke-21. Seringkali perasaan itu hanya memenuhi pikiran karena tahu bahwa tidak ada seseorang yang pernah dipenjarakan karena ide yang masih bermukim dalam kepalanya yang tidak diungkapkan.

"Ya, kau benar," kata Pinneberg pelan. Lalu dia terdiam, Tiba-tiba saja dia memukul meja di depannya penuh kesal: "Sial!" teriaknya. "Ada apa?" tanya Lammchen. "Apa yang terjadi?" 

"Tidak ada," jawabnya, dia sedikit merengus lagi. "Terkadang aku hanya ingin meledakkan amarah atas segala hal yang terjadi di dunia ini." 

Beberapa foto aksi unjuk rasa pada peringatan Hari Buruh Internasional (May Day) tanggal 01 Mei 2024.





Slavoj Zizek, "Panik Pandemi! Covid-19 Mengguncang Dunia"

Di saat pandemi coronavirus yang semakin menyebar menjangkit manusia terutama terbentuknya klaster perkantoran, pekerja kantoran seperti saya menyambut kebijakan kerja dari rumah dengan bahagia. Sementara waktu, saya tidak akan terjebak kemacetan Jakarta di dalam busway yang penuh sesak di jam berangkat dan pulang kerja. Tidak perlu lagi tergesa-gesa ke kantor agar bisa fingerprint tepat waktu. Tidak perlu lagi mengenakan seragam seperti anak sekolah dan yang paling menyenangkan bisa bekerja tanpa perlu mandi pagi. Pada awalnya saya mengira bahwa lama waktu pandemi mungkin hanya seperti libur hari raya, namun penanganan awal pandemi yang buruk dari pemerintah menyebabkan dari pemerintah menyebabkan gelombang penularan coronavirus dari hari ke hari semakin mengkhawatirkan . Informasi tentang pandemi coronavirus mulai memenuhi topik perbincangan di masyarakat, mulai informasi yang benar, teori konspirasi, rasisme hingga berita bohong "hoax". Selain informasi dari berita atau sosial media, ada juga buku yang terbit. Buku pertama yang saya baca membahas pandemi coronavirus adalah buku terjemahan yang berjudul, "Panik Pandemi! Covid-19 Mengguncang Dunia", yang ditulis Slavoj Zizek.

Slavoj Zizek adalah seorang filsuf dan kritikus budaya, sebelumnya saya tidak pernah mendengar atau membaca tulisannya, selain karena tema pandemi coronavirus, latarbelakang dari Slovenia membuat saya tertarik mengetahui sudut pandangnya. Sebelumnya saya pernah membaca dan kagum dengan tulisan Olga Tokarczuk yang berasal dari Polandia, negara keduanya terletak di Eropa Timur.

Manusia telah melewati berbagai pandemi, kebanyakan kita pada akhirnya menemukan vaksin atau obat. Namun, sebenarnya manusia tidak pernah serius mencegah pandemi. Kita hanya merespon setelah menyaksikan dampak buruk dari pandemi. Kita hanya merespon setelah menyaksikan dampak buruk dari pandemi, malah lebih sering menyalahkan virus sebagai penyebab pandemi yang membunuh banyak orang. Dalam bukunya Slavoj Zizek mengutip defenisi populer virus, bahwa virus adalah "salah satu dari berbagai agen infeksi, biasanya ultramatrospik, yang terdiri dari asam nukleat, baik RNA atau DNA, dalam sebuah protein: mereka menginfeksi hewan, tumbuhan, dan bakteri, dan bereproduksi hanya dalam sel hidup: virus dianggap sebagai unit kimia yang tak hidup atau kadang-kadang sebagai organisme hidup. Virus murni parasit, mereka mereplikasi diri mereka sendiri dengan menginfeksi organisme yang lebih bisa berkembang(ketika virus menginfeksi kita, manusia, kita hanya berfungsi sebagai mesin penyalin).

Virus bukan musuh yang mencoba untuk menghancurkan manusia, ia hanya memproduksi diri dengan otomatisme buta dan bermutasi. Begitu juga dengan coronavirus tidak pernah berencana dan berstrategi untuk menyerang manusia hingga berakibat fatal. Ia tidak tahu apa-apa. Ia bisa menginfeksi manusia bahkan hingga yang tinggal di tempat terpencil di dunia dikarenakan kemudahan manusia menjangkau tempat terjauh pun dengan adanya globalisasi. Semakin banyak dunia kita terhubung, semakin banyak bencana lokal yang dapat memicu ketakutan global dan akhirnya akan menjadi bencana.

Epidemi adalah campuran di mana proses alam, ekonomi, dan budaya saling terkait.

Slavoj Zizek mengutip, Kate Jones, penularan penyakit dari satwa liar ke manusia adalah: dampak tersembunyi pembangunan ekonomi. Ada begitu banyak dampak lain dari kita, di setiap lingkungan. Kita akan pergi ke tempat-tempat yang sebagian besar tak terganggu dan menjadi semakin terbuka. Kita menciptakan habitat di mana virus ditransmisikan dengan lebih mudah, dan kemudian terkejut bahwa kita menghadapi yang baru.

Ketika alam menyerang kita lewat virus, caranya dengan melempar balik pesan yang kita buat sendiri. Pesannya adalah apa yang anda lakukan kepada saya, sekarang saya lakukan kepada anda.

"Panik Pandemi! Covid-19 Mengguncang Dunia" terdiri atas 13 bagian atau judul tulisan dengan 137 halaman, pembaca tidak butuh waktu lama untuk menyelesaikannnya. Salah satu judul yang menarik bagi saya adalah bagian 10, "Tetap Tenang dan Panik!". Kebanyakan pemerintah di dunia pada awal pandemi belum tahu cara menangani sebuah pandemi, termasuk Indonesia.

Kita kebanyakan menyaksikan pemerintah seperti mengingkari adanya ancaman pandemi, seolah-olah pandemi covid-19 tidak akan melanda Indonesia. Pemerintah mengajak masyarakat untuk tidak panik namun tetap waspada dan beraktivitas seperti biasa. Pejabat Indonesia bahkan ada yang berkelakar bahwa tidak ditemukannya virus covid-19 di Indonesia karena memiliki kekebalan tubuh lantaran setiap hari gemar makan nasi kucing, masyarakat yang sehat tidak perlu pakai masker, manganggarkan 72 miliar kepada influencer untuk promosi wisata, covid-19 diperkirakan tidak kuat dengan cuaca panas Indonesia, dan doa bantu tangkal virus. Hal yang paling menggelitik rasionalitas ketika salah satu menteri memperkenalkan kalung "Anti Virus" pemakaian15 menit bisa membunuh 42% coronavirus, 30 menit membunuh 80% coronavirus.

Slavoj Zizek mengkritik hal tersebut, media yang tiada henti mengulangi formula "Jangan Panik" dan kemudian kita mendapatkan semua data yang tak bisa tidak memicu kepanikan. Menurutnya panik memiliki logikanya sendiri. Dia mengingat momen di masa mudanya ketika di negara sosialis Yugoslavia, desas-desus mulai beredar rumor bahwa tak ada cukup tisu toilet di toko-toko. Pihak berwenang pun harus memberanikan kepastian bahwa tersedia cukup tisu toilet untuk konsumsi normal, orang-orang pun juga percaya. Namun, konsumen rata-rata beralasan bahwa mereka tahu ada cukup tisu toilet dan rumor itu salah tetapi bagaimana jika beberapa orang menganggap serius rumor tersebut, dan dengan panik membeli cadangan tisu toilet secara berlebihan, bukankah situasi ini menyebabkan kondisi kekurangan tisu toilet yang sebenarnya? Jadi lebih baik saya bergegas dan memborong cadangan tisu itu untuk saya sendiri. Ini berarti bahwa kita hanya cukup mengandaikan bahwa ada yang percaya rumor itu serius, efeknya sama, yaitu kekurangan nyata tisu toilet di toko.

Sisi lain yang aneh dari kepanikan berlebihan yang terus-menerus adalah tiadanya kepanikan sama sekali di saat kepanikan sebelumnya dibenarkan. Kita diberitahu berulang kali bahwa epidemi baru yang jauh lebih kuat dari pandemi sebelumnya hanya menunggu waktu. Meskipun secara rasional kita yakin akan kebenaran ramalan-ramalan mengerikan ini, namun kita tidak menganggapnya serius dan enggan bertindak dan melakukan persiapan serius. 

Selain itu, Slavoj Zizek juga menawarkan pendekatan komunis global yang berbeda dengan komunisme di Tiongkok, yaitu mengandalkan kerja sama kolektif dengan negara lain, informasi dan harus dibagikan dan rencana dikoordinasikan sepenuhnya. Apa yang terjadi di awal masa pandemi adalah sikap "setiap negara untuk dirinya sendiri". Muncul juga sudut pandang vitalis sinis yang melihat coronavirus sebagai infeksi menguntungkan yang memungkinkan manusia untuk menyingkirkan yang lapuk, lemah, dan sakit. Perdebatan tersebut sedang berlangsung, protokol "tiga orang bijak" jika epidemi di Inggris lebih dahsyat. Tiga konsultan senior di setiap rumah sakit akan dipaksa untuk membuat keputusan mengenai penjatahan perawatan setiap ventilator dan tempat tidur , jika rumah sakit dipenuhi pasien.

Kriteria apa yang akan diandalkan oleh "tiga orang bijak"? Mengorbankan yang terlemah dan tertua? Dan apakah situasi ini hanya akan membuka ruang untuk korupsi besar-besaran. Apakah prosedur seperti itu tidak mengindikasikan bahwa kita sedang bersiap untuk memberlakukan logika paling brutal tentang survival of the fittest? Jadi, pilihan terakhir adalah memilih logika brutal ini atau memilih semacam penciptaan kembali komunisme. 

Dalam buku Slavoj Zizek menyajikan data yang mengungkap informasi tentang cara berpikir kelas penguasa dan watak mereka dalam menghadapi krisis pandemi serta berbagai paradoks tentang covid-19 yang seringkali kita tidak pikirkan.

Dan Patrick, letnan gubernur Texas, mengunjungi Fox News untuk berargumen bahwa ia lebih baik mati daripada melihat kebijakan kesehatan masyarakat merusak ekonomi AS, dan bahwa ia percaya, "banyak kakek nenek" di seluruh negeri akan setuju dengan gegasannya. "Pesan saya: mari kita kembali bekerja, mari kembali hidup, cerdeslah tentang hal itu, dan kita yang berusia 70 tahun lebih, akan menjaga diri kita sendiri."

Bukan hanya Dan Patrick yang berpikir demikian, kita bisa menemukan informasi yang memunculkan kesan bahwa yang benar-benar harus dikhawatirkan bukanlah ribuan orang yang meninggal dan lebih banyak lagi yang akan menyusul, tapi fakta bahwa "pasar sedang panik"- coronavirus semakin menggangu berfungsinya pasar dunia yang sebelumnya berjalan mulus. Kekhawatirkan coronavirus akan memicu krisis ekonomi. Para penguasa membuat kebijakan-kebijakan mencegah krisis ekonomi, namun bukankah yang seharusnya kita pertanyakan, apakah ada yang salah dengan sistem ekonomi yang diterapkan saat ini sehingga tidak mampu berjalan normal jika ada ancaman seperti pandemi.

Donald Trump dalam kunjungannya ke India menyatakan bahwa pandemi akan surut dengan cepat, kita hanya harus menunggu lonjakannya dan kehidupan akan kembali normal.

Sedangkan Tiongkok, media mereka mengumumkan bahwa ketika epidemi berakhir, orang harus bekerja pada hari Sabtu dan Minggu untuk mengejar ketinggalan.

Sehari setelah menteri kesehatan Iran muncul pada konfrensi pers untuk mengurangi penyebaran coronavirus dan untuk menegaskan bahwa karantina massal tidak dibutuhkan, ia membuat pernyataan singkat mengakui bahwa telah terinfeksi coronavirus dan menempatkan dirinya dalam isolasi (bahkan selama penampilannya di tv, ia telah menunjukkan tanda-tanda demam dan lemah).

Tindakan menteri kesehatan Iran yang membahayakan orang di sekitarnya ketika mengabaikan gejala terinfeksi coronavirus ini tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan bupati Ogan Ilir yang wartawan ke rumahnya untuk mengumumkan bahwa dirinya positif terinfeksi coronavirus.

Situasi pandemi coronavirus yang melanda seluruh dunia memunculkan kembali pepatah lama, "sekarang kita semua berada di kapal sama" pernyataan tersebut ada benarnya bahwa coronavirus memproduksi diri dengan otomatisme buta dapat menginfeksi siapa saja, tanpa membedakan latar belakang, apakah dia pejabat pemerintahan, raja, manajer atas, bahkan kelas pekerja. Namun, kita pun mengetahui bahwa mereka yang benar-benar akan kembali bekerja di masa pandemi adalah orang miskin, sementara orang kaya mampu bertahan dalam isolasi mereka yang nyaman.

Epidemi virus mengingatkan kita tentang kemungkinan dan kebermaknaan hidup kita yang paling dekat; tak peduli seberapa hebat bangunan spiritual umat manusia bangun, kontigensi alam yang bodoh seperti virus atau asteroid dapat mengakhiri semuanya.... belum lagi pelajaran ekologi, bahwa kita umat manusia, juga dapat secara tak sadar berkontribusi pada kiamat nanti.

Sumber:

Slavoj Zizek. "Panik Pandemi! Covid-19 Mengguncang Dunia".

Penerbit : PIN (Penerbit Independen).
Life as Divorcee

Pengalaman menikah belum, apalagi dengan bercerai. Orang tua pun berpisah bukan karena bercerai tetapi ajal yang tidak bisa ditunda kedatangannya. Ajaran agama mana pun tidak ada yang mengajarkan mengakhiri pernikahan dengan bercerai. Perceraian pun menjadi sesuatu yang dianggap tabu untuk dibicarakan, tetapi jumlah pasangan yang bercerai semakin meningkat. Buku "Life as Divorcee" karya Virly K.A ini sangat menarik karena topik utama yang dibahas adalah perceraian. 

"Bercerai bukan berarti atau enggan menyelesaikan masalah. Sama seperti mempertahankan rumah tangga setelah badai, bercerai juga merupakan solusi. Sama bobotnya. Sama halnya tidak ada yang salah dengan keputusan perempuan untuk meminta cerai dengan pertimbangan kebahagiaan sendiri. Bukankah kita memang bertanggung jawab terhadap kebahagiaan masing-masing?" 

Lalu, kenapa masih banyak orang yang menggantungkan kebahagiaannya kepada pasangannya padahal perasaan bahagia itu sangat lah pribadi. Mungkin saja kamu merasa bahagia bersama pasanganmu tetapi mungkin saja dia merasa sebaliknya, kamu berjuang bertahan sedangkan dia sebenarnya ingin mengakhiri semuanya namun bertahan karena mengasihanimu. Barangkali kamu bertahan karena takut dengan stigma negatif dari masyarakat jika bercerai walaupun setiap hari kamu mengalami kekerasan dalam rumah tangga. Kamu menyalahkan dirimu sendiri karena salah memilih pasangan hanya karena kamu percaya bahwa perasaan cinta cukup untuk memulai mengarungi kehidupan berumah tangga selamanya.

Dalam buku "Life as Divorce" Virly K.A berbagi pengalaman dan pandangannya tentang berbagai hal, mulai dari pengalaman perceraiannya, sebelum bercerai dia menyarankan orang beberapa hal yang harus diketahui seperti menjadi seorang divorcee tidak sama dengan kembali single terutama jika memiliki anak. harus siap sebagai orangtua tunggal, berani mengambil keputusan sendiri, mengatur keuangan, berkomunikasi dengan mantan jika memiliki anak. 

Bagian yang paling menarik bagi pembaca yang belum menikah adalah pre-marriage talks I didn't do. Menurutnya pre-marriage talks adalah hal penting yang harus dilakukan sebelum memutuskan menikah. Mulai dari saling terbuka membicarakan prinsip hidup masing-masing, lalu tentang kesesuaian rencana dan impian, kemudian soal anak terutama tentang soal pola asuh anak yang akan diterapkan, keterbukaan pengelolaan keuangan, pelanggaran yang tidak ditoleransi, dan sex stuffs.

Selain itu Virly juga memberikan saran kepada perempuan untuk tidak menikah dengan laki-laki yang memiliki perilaku tertentu, seperti laki-laki yang tidak paham dengan konsep concent (persetujuan),  menyetir tanpa aturan, memiliki perbedaan yang sangat banyak, mengabaikan Tuhan, kasar pada pramusaji, enggak ada butterflies-on-my-stomatch feeling.

Walaupun beberapa pembahasan berdasarkan pengalaman dan pemahaman pribadi namun tidak mengurangi sifat universal pada setiap hal yang dibahas, misalnya pembahasan tentang jenis-jenis suami yang enggak worthy dipertahankan, perkara hamil di luar nikah, co-parenting bagi pasangan yang bercerai. 

Bagi perempuan yang telah menikah, terdapat pembahasan tentang KDRT (kekerasan dalam rumah tangga), mulai dari indikasi hingga daftar kontak darurat pertolongan di beberapa daerah di Indonesia.

Pernikahan seharusnya membahagiakan bagi setiap pasangan selain itu seharusnya mengedepankan unsur kesetaraan dan keadilan bagi siapa pun,  jika di dalamnya terdapat kekerasan, pengekangan, dan merendahkan pasangan maka itu adalah sebuah kejahatan. 

Judul: Life as Divorcee
Penulis : Virly K.A
Penerbit : Ea Book, 2021.


Burung Kayu, Niduparas Erlang

Kita hanyalah sasareu (pendatang asing) di novel Burung Kayu sehingga tidak pantas menghakimi setiap kisah suku-suku atau uma-uma yang telah diwariskan turun-temurun, kepercayaan dan budaya masyarakat adat dengan menganggapnya sebagai ketertinggalan.
Pemerintah selalu datang seperti seorang bapak yang baik hati, menawarkan kebaikan-kebaikan dengan menyediakan pilihan-pilihan yang menurutnya benar. Bahwa kesejahteraan dan kemajuan itu seharusnya diikuti dengan perubahan budaya-budaya masyarakat yang dianggap tertinggal. Termasuk dengan memberikan pilihan-pilihan agama resmi untuk menggantikan kepercayaan yang telah dianut turun-temurun oleh suatu masyarakat adat. 
Narator menceritakan bahwa,
"Di bawah tatapan polisi, tak ada lagi anak-anak muda yang bernyali merajah tubuhnya dengan ti'ti'. Tak ada lagi sikerei-sikerei yang mengakui diri sebagai yang paling sakti. Semua orang sekedar mengaku sebagai simata belaka-seorang awam saja. Sebagian mengaku telah menanggalkan agama lama dan menggantinya dengan salah satu agama-baru-resmi-pula. Bahkan, sebagian benar-benar mencampakkan bakkat katsaila dan menggantikannya dengan besi-kecil-bersilang yang dengannya, konon, seorang di suatu tempat teramat jauh-beratus tahun lalu-telah diangkat ke surga."
Saengrekerei, Taksilitoni, dan Legeumanai kecil meninggalkan keluarga se-uma di lembah menuju barasi sebuah dusun yang dibangun pemerintah untuk menyejahterakan, memajukan masyarakat, dan mengejar ketertinggalan. Mereka menjalani kehidupan yang sangat berbeda dengan ketika masih tinggal di lembah, di barasi mereka hidup bertetangga dari suku-suku, atau uma-uma yang berbeda-beda.
Namun walaupun telah pindah ke barasi, saling curiga dan pertikaian antar suku atau uma demi menjaga marwah-wibawa tetap tidak bisa dihindari seperti halnya kisah pertikaian di lembah antara suku-sura'-boblo dengan suku-tunggul-kelapa yang mewariskan kisah pertikaian mereka turun-temurun. Selain itu, muncul masalah-masalah baru yang disebabkan oleh kebijakan-kebijakan pemerintah di barasi. 
Percakapan saat orang-orang berkumpul di beranda sapou Saengrekerei,
"Katanya pemerintah mau memajukan kita, mau menyejahterakan kita," seseorang terdengar menggugat, tapi Saengrekerei masih merenung. "Kenapa semuanya dilarang?"
"Ya, kalau pemerintah mau memajukan kita, seharusnya mereka tidak hanya memberi kita bibit cengkeh, coklat, pinang, dan rotan terus," Si Juling menegaskan. "Apa pemerintah bisa menjamin kalau harga cengkeh, cokelat, pinang, yang sudah kita rawat susah payah selama lima sampai tujuh tahun itu, harganya tidak jatuh ketika kita panen? Tak."
"Tak...," yang lain menggemakan sembari menggeleng.
"Apa ketika rotan kita panen, pemerintah menjamin akan laku?"
"Taaakk..."
"Apa gaharu dan nilam akan terus laku dan membuat kita kaya?"
Mereka berpandangan, lalu menyusul serentak,"Taaakkk..."
Membaca novel Burung Kayu dengan narator yang bercerita dengan tenang, lalu menempatkan kata-kata dari bahasa masyarakat Siberut di pulau Mentawai dengan sedikit/tanpa penjelasan atau menggantinya dengan padanan kata di bahasa Indonesia. Sehingga, pembaca harus berpikir dan tentu berimajinasi menebak-nebak kata tersebut.

Judul: Burung Kayu
Penulis : Niduparas Erlang
Penerbit : Teroka Press, 2020.


Jika dia ketahuan punya tato di antara tahun 1982 -1985, maka sudah cukup alasan dia dianggap penjahat yang mungkin akan dihabisi oleh petrus (penembak misterius). Kalau tidak salah namanya “Naches”, aku lupa sekarang dia masih hidup atau tidak. Namun, aku masih teringat dengan tato di lengannya yang gemuk berlemak bergambar perempuan telanjang tertusuk anak panah di hatinya dengan darah menetes. Setiap bertemu dengannya aku yang masih kanak-kanak (awal tahun 2000) selalu ketakutan, tetapi juga kagum dengan tatonya. Mungkin perjumpaan di masa kanak-kanak itu yang membuat aku bermimpi suatu saat mempunyai tato, tentu bukan gambar perempuan telanjang.

Kumpulan cerpen berjudul “Penembak Misterius” karya Seno Gumira Ajidarma. Di awali dengan trilogi penembak misterius yang terdiri dari Keroncong Pembunuhan, Bunyi Hujan di Atas Genting, dan Grhhh!. Ketiga cerpen ini di publikasikan di tahun 1985 dan 1987 saat rezim pemerintahan Orde Baru berkuasa. Trilogi cerpen tersebut sebagai reaksi SGA terhadap kebijakan pemerintah terkait dengan maraknya penembak misterius yang menewaskan orang-orang yang dianggap penjahat tanpa proses pengadilan. 

Pada tahun 1983, rezim Orde Baru menerapkan kebijakan yang ditakuti para penjahat bahkan preman: tembak mati. Mereka bisa dieksekusi mati kapan saja oleh penembak misterius (petrus). Di kutip dari histroia.id bahwa “kebijakan petrus ini atas restu Presiden Soeharto. Dalam otobiografinya, Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya, Soeharto berasalan bahwa petrus sebagai usaha mencegah kejahatan seefektif mungkin dengan harapan menimbulkan efek jera.”


Bunyi Hujan di Atas Genting

Sawitri merasa tetangga-tetangganya sudah terbiasa dengan mayat-mayat bertato itu. Malahan ia merasa tetangga-tetangga itu bergembira setiap kali melihat mayat bertato tergeletak di mulut gang setiap kali hujan reda dan mayat itu disemprot cahaya lampu merkuri yang kekuning-kuningan. Di dalam rumahnya yang terletak di sudut gang itu Sawitri mendengar apa saja yang mereka percakapkan. Mereka berteriak-teriak sambil mengurumuni mayat yang tergeletak itu meskipun kadang-kadang  hujan belum benar-benar selesai dan anak-anak berteriak hore-hore.

“Lihat!Satu lagi!”

“Mampus!”

“Modar!”

“Tahu rasa dia sekarang!”

“Anjing!”

“Anjing!”

Potongan-potongan paragraf di atas menampilkan wacana yang tumbuh di masyarakat pada saat kebijakan petrus diterapkan oleh rezim Orde Baru. Muncul stereotip kepada orang-orang yang bertato bahwa mereka  termasuk preman atau gabungan anak liar (gali) yang dapat mengancam keamanan. Sehingga, korban petrus yang memiliki tato dianggap oleh masyarakat pantas untuk ditembak mati. Pada akhirnya kebijakan pertrus ini telah dihentikan pada tahun 1985 dan orde baru telah runtuh di tahun 1998 tetapi stereotip masyarakat terhadap orang-orang bertato masih tetap saja hidup di tengah-tengah masyarakat. 


Sarman

Sarman yang sudah menghadap ke jalan raya berbalik, sambil menendang sisa-sisa kaca di kusen jendela, ia berteriak dengan marah.

“Sudah sepuluh tahun aku bangun tiap pagi dan berangkat dengan tergesa-gesa ke kantor ini! Sudah sepuluh tahun aku berangkat pagi hari dan pulang sore hari melalui jurusan yang sama! Sudah sepuluh tahun aku memasukkan kartu absen di mesin keparat itu tiap pagi dan sore! Sudah sepuluh tahun aku melakukan pekerjaan yang itu-itu saja delapan jam sehari! Sudah sepuluh tahun! Dan akan berpuluh-puluh tahun lagi!”

“Sarman sudah  gila,” bisik seseorang.

Cerpen ini memang di awali dengan kalimat, “berceritalah tentang kejenuhan.”  Konflik yang terjadi dalam diri tokoh utama Sarman, mengingatkan saya tentang filsafat eksistensialisme Sartre. Menurut Sartre bahwa manusia merasa terasing dalam sebuah dunia tanpa makna. Perasaan terasing manusia di dunia ini menciptakan keputusasaan, kebosanan, kemuakkan, dan absurditas.  

Dalam realitas kehidupan khususnya kelas pekerja menengah perkantoran tentu mungkin ingin melakukan pemberontakan terhadap dirinya sendiri seperti Sarman, namun ketakutan untuk bertanggung jawab terhadap pilihan sendiri menjadi dinding tebal yang sulit dirobohkan.


Seorang Perempuan di Halte Bis

“Siapakah dia? Dari mana? Mau ke mana? Anak siapa? Berapakah saudaranya? Adakah orang-orang yang kehilangan dan mencari dia? Betapa sebuah jalan hidup. Betapa sebuah perjalanan.

Aku masih meluncur di dalam bis kota yang kosong. Bis kotaku meluncur tanpa kernet dan tanpa sopir. Aku merasa naik burak. Aku masih teringat perempuan itu, yang pasti masih saja berdiri di halte bis sambil menengok ke arah kanan, menanti-nanti bis kota dengan satu saja kursi kosong. Sudah sepuluh tahun ia berdiri di sana. Sudah sepuluh tahun…”

Ketika membaca cerpen ini, aku dihadapkan dengan dua kondisi tokoh yang jauh berbeda. Tokoh pertama, perempuan di halte yang menanti bis kota dengan satu tempat duduk kosong. Bis kota yang jika tiba di halte tersebut telah penuh dengan penumpang, selain itu penumpang yang menunggu di halte bersama perempuan itu pun selalu berdesak-desakan. Walaupun telah menunggu selama sepuluh tahun di halte yang sama tidak ada satu pun penumpang yang memberikannya satu kursi kosong. 

Tokoh kedua, aku seorang pedagang keliling yang berpindah dari satu bis kota satu ke bis kota lainnya. Dia tidak ingin hanya menghabiskan waktu di satu tempat saja. Namun, di setiap tempat yang ia singgahi ditemukannya orang-orang yang hanya mementingkan kepentingan sendiri.

Kumpulan cerpen Penembak Misterius, SGA menggunakan wahana sastra sebagai media informasi untuk mengkritik kebijakan Orde Baru dikarenakan munculnya pelarangan pers atau kontrol pers yang ketat terhadap media-media informasi saat itu. Maka SGA bertindak sebagaimana judul bukunya yang lain yaitu, ”Ketika jurnalisme dibungkam, sastra harus bicara.”


Sumber:

Ajidarma, Seno Gumira.2020. Penembak Misterius.

Gaarder, Jostein.2015.Dunia Sophie.

https://historia.id/kultur/articles/tato-dari-petrus-hingga-angelina-jolie-PNlKD/page/2

https://historia.id/politik/articles/petrus-kisah-gelap-orba-PyXNv/page/2


Jika ada kisah seorang pekerja seks yang memberikan minum seekor anjing lalu diampuni dosanya, maka mungkin hanya kisah Nasrul Marhaban yang mengunjungi masjid dalam tiga kesempatan: Hari Raya Idulfitri, Hari Raya Kurban, dan hari ketika rumahnya kebanjiran. Namun, diakhir hayatnya dikenang mati husnul khotimah.

Realitas kehidupan masyarakat itu sebenarnya dijejali berbagai hal-hal aneh, mungkin saja semua perilaku manusia adalah hal aneh tetapi kemudian muncul sifat ‘umum’ yang digeneralisasi sebagai hal yang wajar. Misalnya. gelar-gelar di kartu undangan pernikahan yang tidak mempunyai relevansi apa pun terhadap subtansi pernikahan. Namun, hampir semua undangan yang pernah saya baca menampilkan hal tersebut. 

Perkara pernikahan dan keanehan mungkin kisah Abdullah yang biasa dipanggil Dulah dalam cerpen berjudul Para Penjual Rumah Ustazah Nung dan Si Dulah di Toko Bang Rizal bisa jadi yang paling aneh, Dulah yang tsetia dengan cinta pertama mengorbankan tsegala-galanya kecuali kebodohannya. Terjebak di antara, cinta pertama, para makelar tanah dan sepasang penipu. 

Kumpulan cerpen Kisah-kisah Perdagangan Paling Gemilang karya Ben Sohib berisi 14 cerpen. Dia menampilkan tokoh-tokohnya berada dalam suatu permainan kehidupan yang aneh. Namun keanehan tersebutlah yang membuat pembaca merasa bahwa tokoh/situasi di dalam cerpen tidak jauh dari kehidupan yang dijalani. Keanehan yang sulit untuk bisa dianggap salah tetapi kita tahu bahwa terdapat nilai-nilai yang telah hilang dalam diri tokoh/situasi.

Tiga cerpen yang menurutku paling menarik;


Bagaimana Nasrul Marhaban Mati dan Dikenang

Sebagai orang yang dikenal sangat jarang pergi ke masjid, pilihan Nasrul Marhaban mengungsi ke Masjid Assalam setiap kali rumahnya terendam banjir itu sempat jadi bahan pembiacaraan warga. Bahkan, ada satu olok-olok tentang hal ini, entah siapa yang mengatakannya pertama kali, bahwa Nasrul Marhaban hanya mengunjungi masjid dalam tiga kesempatan: Hari Raya Idulfitri, Hari Raya Kurban, dan hari ketika rumahnya kebanjiran. Pada hari-hari selebihnya, tak pernah ia sengaja datang untuk keperluan lain, termasuk untuk salat jumat.

Ustaz Komar, sang khatib, menjadikan Nasrul Marhaban sebagai contoh, sosok manusia yang menutup perjalanan hidupnya dengan baik, mati husnul khotimah. Ustaz Komar menceritakan bagaimana Nasrul Marhaban yang dikenal sangat jarang ke masjid itu ternyata lebih memilih kehilangan nyawanya ketimbang melihat kitab suci milikinya lenyap ditelan banjir.


Kisah-kisah Perdagangan Paling Gemilang

Yohannes Soekatja, si calon pembeli tanah, terkena serangan jantung pada Minggu pagi sepulang dari gereja, dan sekarang dirawat intensif di sebuah rumah sakit di Pondok Indah. Salim, Amir, Shaleh segera berkumpul dan pergi ke sana untuk menjenguknya. 

Tiga sekawan itu duduk bersila di pojok ruangan dan mulai membaca Alquran. Sejak hari itu selepas Isya, Salim, dan Amir, dan Shaleh bersila di ruang tunggu ICU, bergantian membaca ayat suci. Menjelang dini hari baru mereka berhenti dan pulang ke rumah dan akan datang lagi selepas Isya pada malam berikutnya. Itu semua mereka lakukan semata-mata demi kesembuhan Yohannes Soekatja.


Apang Bokek dan Pidato Isterinya

Entah kebetulan atau kutukan, julukan Bokek mencerminkan keadaan ekonomi si penyandang. Meski tak mempunyai utang, Apang tak kalah melarat dibandingkan ayahnya.

Namun, justru dari kemiskinan itulah berbagai cerita dan kejadian yang melibatkan dirinya membicarakan gelak tawa di kampung kami. Ia disukai oleh banyak orang, terutama para pemuda dan pria setengah baya yang gemar mabuk. Bagi mereka, acara minum-minum terasa kurang meriah tanpa kehadiran Apang Bokek.

“Lu pade demen ngajakin Apang pegi, bakal lucu-lucuan doing. Lu pade demen nanggepin Apang, terus lu bayar pake duit recehan. Lu pade kagak pernah mikirin nasbnye!” Leha berkata dengan suara bergetar. Lalu ia terisak.


Kisah-kisah Perdagangan Paling Gemilang berisi sentilan-sentilan yang dibungkus dalam humor membuat gelak tawa tetapi tidak kehilangan esensi dari makna setiap kisah-kisah di cerpennya. Seandainya aku salahsatu dari tiga makelar Salim, Amir, atau Shaleh mungkin akan melakukan hal yang sama. Tentu tidak ada yang salah jika kita mendoakan orang yang berbeda keyakinan dengan rajin membaca Al-Qur’an di dekatnya tetapi apakah hal tersebut karena kesembuhannya atau menanti keuntungan jika orang tersebut sembuh? Atau mungkin saja mereka melakukan itu dengan spontan tanpa berpikir.

Judul : Kisah-kisah Perdagangan Paling Gemilang

Penulis : Ben Sohb

Penerbit/Tahun : Banana/2020