Uang berkuasa atas segalanya di atas bumi ini
Mereka bekerja 
mencuri
saling mencintai
saling membenci
bahagia
sedih
sekolah
mengajar
miskin
kaya
jelek
cantik
jujur
bohong
membunuh, mungkin
hidup juga karena hanya untuk
uang
semoga Tuhan, di surgaMu
tidak ada lagi uang 
karena pasti
dia yang akan berkuasa
lagi dan lagi hingga lagi seterusnya lagi
Bukan lagi Tuhan tapi uang
Tuhan, makhlukmu telah tamak
mereka lebih mementingkan uang
daripada apapun

Tuhan, makhlukmu telah hina
mereka lebih banyak menyebut uang
daripada menyebut namaMu

Tuhan, uang telah berkuasa di duniaMu
Uang lebih penting daripada apapun
Dia yang menentukan semuanya
Bukan lagi Engkau....

Tamaklah mereka yang
Berilah mereka hidayah
Bahwa ilmu lebih penting daripada uang
Ayo kita tebakan!

dia raja
tapi tanpa mahkota
punya pabrik punya istana
coba tebak siapa dia?
dia adalah aku!

Dia kaya
keluarganya punya saham di mana-
mana
tapi negaranya rangking tiga
paling korup di dunia
coba tebak siapa dia?
dia adalah aku!

dia tua
tapi ingin tetap berkuasa
tak boleh ada calon lain
selain dia
kalau marah
mengarahkan angkatan bersenjata
rakyat kecil yang tak bersalah
ditembak dijidatnya
coba tebak siapa dia?
dia adalah aku!

dia sakti
tapi pasti mati
meski seakan tak bisa mati
coba tebak siapa dia?
dia adalah aku!

siapa aku?
aku adalah diktator
yang tak bisa tidur nyenyak



Antonio Gramsci dilahirkan di Alles, Sardinia, 22 January 1891. Lahir dalam sebuah kehidupan yang miskin di Pulau kecil Italia, dan mulai mendapatkan kesempatan untuk sekolah dalam Universitas pada tahun 1911 setelah dia lulus dalam seleksi Beasiswa di Universitas Turin-Italia. Ketertarikannya terhadap politik mulai dalam bangku kuliah sehingga pada tahun 1913 dia sudah terlibat dalam aktivitas Partai Sosialis Italia (PSI). Sejak saat itu dia mulai serius dalam media massa dan kritik terhadap ideoelogi, sampai masa-masa sulit dalam penjara menjelang kematiannya dia tetap menyelesaikan ‘Prison Notebooks’. Antonio Gramsci (1891-1937) adalah seorang intelektual Partai Komunis Italia yang dipenjara pada masa rezim fasis Mussolini.

Meski tidak sempat bertemu dengan Lenin yang menganggap bahwa kesadaran proletar (kaum buruh) untuk melakukan pemberontakan terhadap sistem kapitalisme haruslah dilakukan oleh partai komunis yang berisikan buruh dan intelektual yang berkesadaran, teori hegemoni Gramsci melengkapi penjelasan bahwa pemberontakan buruh tidak akan terjadi selama masih ada hegemoni yang bekerja di bawah sistem kapitalisme. Inilah yang menyebabkan tidak terjadi pemberontakan buruh di Italia tetapi justru kalah oleh kaum fasis yang diktator saat itu.

Hegemoni berasal dari bahasa Yunani kuno yaitu ‘eugemonia'. Sebagaimana yang dikemukakan encylclopedia Britanica dalam prakteknya di Yunani, istilah ini diterapkan untuk menunjukkan dominasi posisi yang diklaim oleh negara-negara kota (polism atau citystates) secara individual, misalnya seperti yang dilakukan oleh negara Athena dan Sparta terhadap negara-negara lain yang sejajar.

Sedangkan, Hegemoni, menurut Gramsci adalah:
"Sebuah pandangan hidup dan cara berpikir yang dominan, yang di dalamnya sebuah konsep tentang kenyataan disebarluaskan dalam masyarakat baik secara institusional maupun perorangan (ideologi) mendiktekan seluruh cita rasa, kebiasaan moral, prinsip-prinsip religius dan politik, serta seluruh hubungan-hubungan sosial, khususnya dalam makna intelektual dan moral”

Hegemoni bekerja dengan dua tahap yaitu tahap dominasi dan tahap direction atau pengarahan. Dominasi yang paling sering dilakukan adalah oleh alat-alat kekuasaan negara seperti sekolah, modal, media dan lembaga-lembaga negara. Ideologi yang disusupkan lewat alat-alat tadi bagi Gramsci merupakan kesadaran yang bertujuan agar ide-ide yang diinginkan negara (dalam hal ini sistem kapitalisme) menjadi norma yang disepakati oleh masyarakat. Dominasi merupakan awal hegemoni, jika sudah melalui tahapan dominasi maka tahap berikutnya tinggal mengarahkan sebuah bentuk ketundukan kelas tersubordinasi kepada kepemimpinan kelas yang mendominasi. Siapa yang mencoba melawan hegemoni dianggap orang yang tidak taat terhadap moral serta dianggap tindak kebodohan di masyarakat bahkan adakalanya diredam dengan kekerasan. Hal inilah, menurut Gramsci, yang harus dipahami oleh kaum buruh untuk mengerti mengapa di Eropa tidak terjadi pemberontakan buruh seperti diramalkan Karl Marx dalam Manifesto Komunisnya.

Gramsci dalam bahasan teorinya memberi solusi untuk melawan hegemoni (Counter hegemony) dengan menitikberatkan pada sektor pendidikan. Kaum Intelektual menurut Gramsci memegang peranan penting di masyarakat.Dalam catatan hariannya Gramsci menulis bahwa setiap orang sebenarnya adalah seorang intelektual namun tidak semua orang menjalankan fungsi intelektualnya di masyarakat.
Dari sini dia membedakan dua tipe intelektual yang ada dalam masyarakat. Pertama yaitu Intelektual Tradisional dimana intelektual ini terlihat independen, otonom, serta menjauhkan diri dari kehidupan masyarakat. Mereka hanya mengamati serta mempelajari kehidupan masyarakat dari kejauhan dan seringkali bersifat konservatif (anti terhadap perubahan). Contoh dari Intelektual Tradisional ini adalah para penulis sejarah, filsuf dan para profesor. 

Sedangkan yang kedua adalah Intelektual Organik, mereka adalah yang sebenarnya menanamkan ide, menjadi bagian dari penyebaran ide-ide yang ada di masyarakat dari kelas yang berkuasa, serta turut aktif dalam pembentukan masyarakat yang diinginkan. Ketika akan melakukan perlawana terhadap Hegemoni kaum Intelektual organik haruslah berangkat dari kenyataan yang ada di masyarakat, mereka haruslah orang yang berpartisipasi aktif dalam kehidupan masyarakat, menanamkan kesadaran baru yang menyingkap kebobrokan sistem lama dan dapat mengorganisir masyarakat, dengan begitu ide tentang pemberontakan serta merta dapat diterima oleh masyarakat hingga tercapainya revolusi.

Meski berasal dari Partai Komunis Italia tidak lantas Gramsci berpendapat bahwa Intelektual Organik harus berasal dari kalangan buruh, namun harus lebih luas dari itu. Perlawanan terhadap Hegemoni bisa dilakukan oleh siapa saja intelektual dari berbagai kelompok yang tertindas oleh sistem kapitalisme. Setiap pihak yang berkontribusi dalam perjuangan melawan hegemoni harus saling menghormati otonomi kelompok yang lain dan mereka harus bekerja sama agar menjadi kekuatan kolektif yang tidak mudah dipatahkan ketika melakukan counter hegemoni.

Relevansinya dengan keadaan sekarang, 

Di dunia pendidikan,

Seperti halnya, mereka yang bekerja di dunia pendidikan selalu mengajarkan tentang norma dan moral yang baik dan terima oleh masyarakat secara umum. Namun, karena ajaran atau doktrin mereka yang dianggap adalah kebenaran sejati, seorang anak dan orangtuanya harus menanggung beban di hidupnya karena ingin mencari ilmu. 

Contohnya, seorang anak harus memiliki baju seragam karena itu merupakan norma yang sopan di dalam dunia pendidikan. Bagaimana dengan mereka yang memiliki orangtua terjerembab dalam liang kemiskinan, makan pun kadang sekali sehari mungkin uang untuk membeli kafan jika mati saja mereka tidak punyai. Haruskah, mereka menjual tubuhnya agar anak mereka bisa dianggap mematuhi norma di dunia pendidikan???  

Pembukaan UUD 1945 “Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa” 

Negara memiliki tugas untuk mencerdaskan kehidupan bangsa agar dapat mensejahterakan rakyat dan yang terpenting pemerintah harus melindungi segenap bangsa Indonesia termasuk si Miskin dan si Kaya. Bukan, menambah beban si miskin jika mereka ingin ikut cerdas sesuai dengan Pembukaan UUD 1945.

Mereka yang tampil urakan bukan berarti kurang ajar, urakan itu terpaksa melanggar aturan lama semata-mata karena aturan tersebut sudah tidak sesuai dengan hati nuraninya.

 Sumber :

http://www.m.cuplik.com/read/opini/2013/01/01/362/bagaimana-masyarakat-ditundukkan-perspektif-antonio-gramsci.html
http://kecoamonolog.blogspot.com/2011/11/antonio-gramsci-teori-hegemoni.html

Tedjo, sudjiwo. 2012. Republik #Jancuker. Penerbit Kompas. Jakarta




Wani,
Bapakmu harus pergi
kalau teman-temanmu tanya
kenapa bapakmu di cari-cari polisi
jawab saja:
"karena bapakku orang berani"

kalau nanti ibumu didatangi polisi lagi
menangislah sekuatmu
biar tetangga kanan kiri datang
dan mengira ada pencuri
masuk rumah kita

Penghabisan kali itu kau datang
Membawa kembang berkarang
Mawar merah dan melati putih
Darah dan Suci
Kau terbarkan depanku
Serta pandang yang memastikan: untukmu.

Lalu kita sama termangu
Saling bertanya: apakah ini?
Cinta? Kita berdua tak mengerti

Sehari kita bersama. Tak hampir-menghampiri

Ah! Hatiku yang tak mau memberi
Mampus kau dikoyak-koyak sepi

                   
                                                      Februari 1943


Sumber : Yulistianti. mirna. 2011. Aku Ini Binatang Jalang, Chairil Anwar. Percetakan Gramedia. Jakarta

Di negeri #Jancukers seluruh  guru TK dicintai oleh bapaknya para murid. Guru-guru hepi. Bapak-bapak hepi. Anak-anak hepi. Banyak yang protes. Katanya, memang bapak-bapak hepi tapi ibu-ibu cemberut semua. Heuheuheuheu...
Sebetulnya tak harus seseram itu. Iya kalau guru-guru TK itu perempuan. Kalau laki-laki?

Kebanyakan kita ingin salah kaprah. Misalnya menyebut air putih padahal yang kita maksud air bening. Ini juga sama salah kaprahnya: begitu kita sebut guru TK, yang terbayang langsung perempuan dengan gaya Bu Kasur dan hafal lagu-lagu Bu Fat. Dekat ke anak-anak maka perempuan?

Ah, masa. Padahal, seingat saya, A.T. Mahmud yang banyak mengompos lagu anak-anak itu bukan perempuan. Kak Seto yang selalu hidup di tengah anak-anak juga perempuan. Almarhum pelukis Tino Sidin andai kumisnya dicukur dan dibusanai kebaya bagaimana pun akan tetap tidak bisa mengelak bahwa dia seorang lelaki.

Heran saya. Sudah lama perempuan terlibat menjadi pengisi bahan bakar di banyak SPBU. Kaum mereka juga sudah lama ada yang menajdi supir taksi, bus Tranjakarta (Busway), tukang ojek dan lain-lain. Kenapa hal sebaliknya susah menjadi imajinasi kolektif: Laki-laki menjadi guru TK?

Hanya satu-dua pria melongo ketika kepergok sopir taksi perempuan. Misalnya di saat yang sudah, Februari 2012, teman saya Glenn Fredly terperangah ketika naik taksi, sudah lama di dalam, ternyata baru tahu bahwa sopirnya perempuan. Penyanyi ini sampai minta potret bareng dengan perempuan perkasa sakit kaget sekaligus kagumnya.

Tapi Glenn kan cuma kekhususan. Secara umum sudah banyak yang tahu kiprah perempuan era sekarang. Sebagian mereka ada juga yang menjadi tukang parkir. Rambut panjangnya dilipat ke dalam topi. Jadi, sekali lagi, kenapa hal sebaliknya susah menjadi imajinasi kolektif: laki-laki menjadi guru TK?

Identik dengan itu lihatlah Pak Taufiq Kiemes tak pernah mendapat julukan resmi "Bapak Negara" sewaktu istrinya, Mbak Mega, menjadi kepala negara. Sementara jika kepala negara itu laki-laki, istrinya resmi disebut "Ibu Negara".
Karena hal itu tak biasa ?

Tapi hal yang tak lumrah belum tentu salah sebagaimana hal yang telah menjadi kebiasaan belum tentu betul. Berapa banyak orang yang baru tahu bahwa cara gosok giginya keliru setelah diberi tahu dokter. Padahal sudah puluhan tahun mereka rajin dan biasa menggosok gigi.

Berapa banyak orang yang biasa menjilat bibirnya di saat bibirnya kering, padahal cara tersebut justru makin memperkering bibir. Maka, meski telah bertahun-tahun ada keniscayaan bahwa guru TK pasti perempuan, tak berarti suami ada problem serius jika para suami mencintai guru TK. Bisa saja guru TK itu seorang laki-laki to?

Atau justru karena laki-laki sehingga di situlah letak masalahnya? Heuheuheuheu....
Iyasih. Percintaan sejenis biasanya jauh lebih all out, jauh lebih total. Saya selalu merinding sekaligus iri mendengar syair lagu kelompok Naif yang diperagakan oleh seorang waria:

"BILA KU MATI... KAU JUGA MATI..."


Sumber :

Tejo, Sudjiwo. Republi #Jancukers.2012. Penerbit Kompas. Jakarta.
Di negeri #Jancukers perempuan yang sedang mens dibebaskan dari segala tuntutan hukum. Sudah barang tentu sosialisasi program tersebut mengalami jatuh bangun di awal-awalnya. Ini sangat wajar. Maklumlah, masyarakat terlalu lama terkungkung hidup secara prasejarah, yaitu hidup di bawah prinsip equality before the law, "di depan hukum semua sama". Lha di belakang hukum?

Slogan equality before the law itu kan jadul banget? Mungkin lebih jadul dari kebudayaan Makedonia atau apalah.....
Oke di depan hukum semua sama, lha kalau di belakang hukum? Hayo...

Padahal yang namanya ruang kan mengenal depan belakang atas bawah. Yang di atas hukum namanya etika. Ikatan-ikatan profesi menindak anggotanya atas dasar etika meski secara hukum belum dibuktikan bersalah. Yang di bawah hukum....Hmmm... Namanya apa ya. Ya, pokoknya di bagian bawah-bawahlah. Sepatu larsa termasuk yang bagian rendahan itu. Makanya dulu di zaman Pak Harto orang Madura bilang, "Tentara sebetulnya sudah taat hukum, Dik. Cuma kalau lagi pemilu itu lho, Dik, sepatunya suka naik ke hidung-hidung..."

Ngomong-ngomong soal Madura, waktu kanak-kanak di Pulau Garam itu saya sering melihat setan. Kata teman-teman, setan adalah gelombang-gelombang udara di atas aspal panas. Ketika SMP baru saya tahu bahwa itu semacam fatamorgana. Sekarang saya baru tahu yang sungguh-sungguh tentang apa itu fatamorgana. Di depan atau haluan hukum ada sederetan manusia yang sama derajatnya. Mereka duduk sama rendah berdiri sama tinggi. Itulah fatamorgana!
Sekali lagi, itulah sebenar-benar fatamorgana!

Yang konkret adalah situasi manusia di belakang atau buritan hukum. Mereka beragam. Ada kelompok yang nyeker, ada yang sedikit yang lebih tinggi karena pakai sandal jepit, dan ada yang pakai stilettosampai 15 sentimeter sehingga lebih jangkung berdirinya. Ketinggian mereka tampak berundak-undak, tak sama sekali setara.

Maka, obrolan menyangkut perempuan mens sungguh-sungguh obrolan tentang kehidupan nyata. Dunia adalah kenyataan. Kenyataan adalah apa yang kita alami. Yang kita alami adalah seluruh hal ikhwal yang ada dibelakang hukum!
Tak terasakah bahwa ini sangat serius.

Pembahasan soal mens memang bukanlah pembahasan yang remeh-temeh. Para pentolan yang sudah sanggup memecahkan makna simbol Swastika maupun Swadhisthana, bisa jadi masih termehek-mehek kalau harus memaknai mens. Banyak anomali berlangsung di dalam perempuan yang dilanda haid. Semula ketika berantem tak memasalahkan kata "agar supaya", pas mens datang bisa jadi tiba-tiba mermperkarakannya. Perkara, agar = supaya. Berarti agar supaya = agar-agar? nama makanan, dong?

Begitu juga untung = laba. Kalau begitu usaha suami yang tak untung-untung adalah usaha yang tidak laba-laba?
Tak usah sewot menghadapi perempuan ketika menstruasi menjadi melawan hukum bahasa. Tak usah uring-uringan jika perlawanan hukum bahasa itu nantinya merembet ke perlawanan pada hukum-hukum lain. Tak usah meradang, meradang karena lupa bahwa kalau lagi mens rasa badan perempuan memang tak karu-karuan.

Paling banter, kalau mesti menanggapi, responlah dengan kelakar. Misalnya setelah pertandingan ketat lalu petenis Djokovic menundukkan Nadal terus perempuan mens itu bilang, "Memang hebat gubernur DKI ini."
Tak usalah kita ngotot bahwa lain Djokovic lain Jokowi, mantan walikota solo itu.

Ringkas kata, berilah perkecualian kepada perempuan yang sedang datang bulan. Laki-laki yang hare gene masih gemar gembar-gembor mengatakan equality before the law, sungguh lelaki yang tak pernah punya pengalaman langsung menghadapi perempuan period di Tanah Air. 

Laki-laki itu mungkin cuma menyerahkan pengalamannya pada berbagai Tim Gabungan Pencari Fakta mengenai Tanah Air mengenai
Tanah Air


Sorry to say...

Sumber :
Tejo, Sudjiwo. Republi #Jancukers.2012. Penerbit Kompas. Jakarta.
Kami yang kini terbaring antara Krawang-Bekasi
tidak bisa teriak "Merdeka" dan angkat senjata lagi.

Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,
terbayang kami maju dan berdegap hati?

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.
Kenang, kenanglah kami.

Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum apa-apa

Kami sudah beri kami punya jiwa
Kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan
arti 4-5 ribu nyawa

Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang
berserakan

Ataukah jiwa kami melayang untuk kemerdekaan
kemenangan dan harapan
atau tidak untuk apa-apa,
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
 Jika ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak

Kenang, kenanglah kami
Teruskan, teruskan jiwa kami

Menjaga Bung Karno
menjaga Bung Hatta
menjaga Bung Sjahrir

Kami sekarang mayat
Berilah kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian

Kenang, kenanglah kami
yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Krawang-Bekasi.

Sumber:

Yulistianti, mirna. Aku ini Binatang Jalang.2011. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Clever and civilized men will not stay home
Leave your homeland and explore foreign fields
Go out! You shall find replacement for those you have left
Give your all, the sweetness of life will be tasted
after the struggle

I have seen that standing water stagnates
if it flows, it is pure, if does not, it will become murky
if the lion doesn't leave his den, he will not eat

if the sun stands still in orbit
Man will tire of it

Gold dust is merely soil before excavated
Aloewood is just ordinary wood if in forest
Saat saya masih seorang guru sekolah, perhatian saya tertarik pada seorang siswa yang mendapat peringkat terbawa pada ujian akhor tahun dalam kelas saya yang terdiri dari 30 siswa. Saya melihat dia menjadi tertekan karena nilainya yang tidak bagus, lalu saya menghampiri dam mengajaknya berbicara

Saya berkata kepadanya, "harus ada orang yang berada di peringkat ke-30 dari siswa di kelas ini. Tahun ini, orang itu adalah kamu, yang telah melakukan pengorbanan gagah berani supaya tak seorang pun temanmu menderita malu karena mendapat peringkat terbawah di kelas ini. Kamu sungguh baik, begitu penuh belas kasih. Kamu pantas mendapatkan medali."

Kita berdua tahu bahwa apa yang saya katakan itu konyol, tetapi dia menyeringai lebar. Dia tak lagi menganggap peringkat terbawahnya sebagai sebuah kiamat.
Dia mendapat peringkat yang jauh lebih baik pada tahun berikutnya, ketika tiba giliran orang lain melakukan pengorbanan gagah berani.

Sumber:

Brahm,Ajahn, Si cacing dan Kotoran Kesayangannya.2009. Penerbit Awareness Publication. Jakarta
Konteks Politis

Apabila pada akhir abad XIX sebutan "Indonesia" dapat dikatakan mantap sudah kedudukannya dalam artian ilmiah, pada permulaan abad XX sebutan ini masih harus berjuang untuk mendapatkan pengakuaanya dalam artian politis dan ketatanegaraan. Yang memperjuangkan hal ini adalah organisasi dari pelajar Indonesia yang ketika itu sedang bermukim dan belajar di negeri Belanda. Ia didirikan di situ pada tahun yang sama dengan pembentukan Boedi Oetomo di Batavia-Jakarta "tempo doeloe"- dan pada awalnya bernama "Indische Vereninging".

Perkumpulan ini mula-mula tidak memperhatikan masalah politik, tetapi berusaha untuk mempererat tali persaudaraan di antara sesama pelajar Indonesia di negeri Belanda. Dengan kedatangan, dr. Tjipto Mangunkusumo dan Suwardi Surjaningrat (Ki Hajar Dewantara) pada tahun 1913-yaitu tokoh pergerakan kebangsaan Indonesia yang dibuang oleh penjajah ke negerinya sendiri itu-politik masuk ke dalam perkumpulan ini, terutama perjuangan politik untuk membebaskan Tanah Air dari belenggu penjajah Belanda.

Perjuangan untuk memberikan artian politis dan ketatanegaraan pada sebutan "Indonesia" dilakukan secara konsekuen oleh organisasi pelajar kita tersebut, antara lain dengan mengubah namanya dari Indische Vereninging menjadi Indonesische Vereninging, hingga akhirnya menetap jadi Perhimpunan Indonesia. Dalam artian politis, karena sebutan "Indonesia" mengandung tuntutan kemerdekaan bangsa Indonesia. Dalam artian ketatanegaraan, karena sebutan ini menyatakan tekad mengorganisasikan bangsa yang merdeka ini kelak dalam suatu negara yang berdaulat penuh, bersama "negara Indonesia" sebagai pengganti nama "Nederlandsch-Indie" yang dipakai oleh penjajah Belanda selama ini. Sementara itu, para mahasiswa semakin menjadi tokoh penggerak yang penting dari perhimpunan yang pada awalnya hanya bersifat sosial tersebut.

Perjuangan ini ternyata tidak kalah beratnya dengan perjuangan yang pernah dialami oleh sebutan "Indonesia" ketika di abad XIX berusaha mendapat pengakuan ilmiahnya. Bedanya adalah kalau pada abad ke XIX itu pertarungan terjadi di antara sesama sarjana Barat, pada abad XX ini bentrokan intelektual berlangsung antara mahasiswa-mahasiswa Indonesia dan cendekiawan, termasuk akademisi, Belanda. Di pihak Belanda para penentang tidak hanya berasal dari kaum cerdik cendekia yang apriori memang keberatan terhadap kemerdekaan Indonesia, jadi menolak sebutan "Indonesia" dalam artian apa pun, tetapi juga datang dari kalangan universiter yang telah menerima dan memakai sebutan "Indonesia" dalam artian ilmiah.

Dalam pertarungan intelektual ini, pejuang kita yang paling tegar di garis depan adalah Mohammad Hatta, yang ketika itu sedang belajar di Handelshogeshool Rotterdam, menjadi bendahara (1922-1925) dan kemudian ketua (1925-1930) dari Perhimpoenan Indonesia. Dengan bahasa setempat (Belanda) yang teratur dan penalaran akademis yang baik (correct), dia melayani secara tertulis semua argumen penolakan dan sanggahan yang dilontarkan terhadap sebutan "Indonesia". Apa yang dilakukannya ini dapat dikatakan merupakan suatu kemampuan intelektual yang praktis jarang sekali dimiliki oleh mahasiswa Indonesia seusia dia dewasa ini.

Sumber :

Joesoef, daoed.2011 Aneka Masalah Kehidupan Bersama. Penerbit Kompas. Jakarta
Orang anti rokok itu bermacam-macam. Ada yang antinya anti sama sekali. Orang seperti ini mirip mereka yang anti sama sekali berita politik. Koran atau televisi bukan saja ditutupnya, tapi ia matikan semua sambil marah-marah. Ada yang antirokoknya setengah-setengah. Mereka tak mengisap, tapi tak keberatan orang-orang lain klepas-klepus berkemelut di sekitarnya. Bolehlah orang seperti ini diibaratkan mereka yang maniak infotainment dan sinetron di televisi, tapi tak sampai muntah-muntah kalau pas makan restorannya nyetel televisi politik

Mungkin ia pikir, ah pasti para pelayan sedang di puncak sibuk sampai lupa memindahkan tevenya dari saluran politik. Itulah keadaan belalang di lain ladang. Lain pula di negeri #Jancukers. Di negeri ini semua tempat adalah smoking area sebab asap rokok bisa ngeles dari hidung bukan perokok.

Itulah prestasi kerja sama para ahli kimia, ahli politik, dan ahli psikologi. Bermula dari obrolan mereka bertiga di sebuah kafe. Si ahli politik bilang, kalau pejabat saja sekarang banyak yang ngeles dari tanggung jawabnya, kenapa tak digagas asap rokok dengan kepiawaian ngeles juga.
Alasannya baik rokok dan pejabat dua-duanya sama, yaitu membahayakan bagi kesehatan. Bedanya, bungkus rokok  diberi warning resiko rokok terhadap kanker, serangan jantung, dan lain-lain.

Bungkus pejabat, yaitu baju, tepatnya di bawah lencana, tak ada sematan warning bahwa korupsi bisa menyebabkan masyarakat stres sehingga kena kanker, serangan jantung, impotensi, dan lain-lain.
"Kalau pejabat bisa menghindari dari tanggung jawab, kenapa rokok, asapnya, nggak bisa dibikin ngeles juga?" ulang si ahli politik.

Aduh, bagaiamana ya, kata si ahli kimia. Dia mumet berpikir. Malah nyaris vertigo. Mumetnya soal bahan tembakau apa yang kalau di bakar asapnya bisa kayak pesawat autopilot, mampu bermanuver sendiri baik mencapai maupun menghindari sasaran.
Bagi si ahli politik, ya itu bidangnya orang kimialah. Menganalisis hubungan threesome politika antara yudikathief, legislathief, dan eksekuthief saja ia sudah pusing. Apalagi diminta turut merenung-renung asap rokok autopilot. " Saya sih ngertinya cuma negara autopilot," tegasnya.

Mengoleskan semacam krim obat nyamuk di cuping-cuping hidung bukan para perokok dianggap terlalu rumit. Asap rokok tak akan mencapai hidung mereka sebagaimana nyamuk ogah hingga ke kulit yang telah di blonyohi obat. Itu bisa saja. Tapi belum tentu mereka mau.

Salah-salah olesan bahan kimia pada cuping hidung akan mengurangi daya endus mereka, Padahal, dengan daya endus yang tajam, mereka masih sering dikelabui.
Misalnya, mereka mengendus siapa saja yang sesungguhnya terlibat dalam kasus korupsi dikementrian agama, transmigrasi, dan tenaga kerja, kesehatan, pendidikan, dan lain-lain. Toh buktinya oknum-oknum yang ditersangkakan tidak sampai oknum puncak seperti endusan kolektif.

Di ujung perbincangan, ahli kimia sanggup membuat bahan olesan hidung antiasap rokok. Tinggal si ahli psikologi yang tampak berpikir-pikir. " Bagaimana aku meyakinkan masyarakat bahwa olesan hidung antiasap rokok ini tak mengurangi kepekaan dan daya endus."

Hmmmmm......

Sumber :

Tejo, sudjiwo. Republik #Jancukers.2012.Penerbit Kompas. Jakarta.

sesungguhnya suara itu tak bisa
diredam
mulut bisa dibungkam
namun siapa mampu menghentikan
nyanyian bimbang
dan pertanyaan-pertanyaan dari lidah
jiwaku

suara-suara itu tak bisa dipenjarakan
di sana bersemayam kemerdekaan
apabila engkau memaksa diam
aku siapkan untukmu:
pemberontakan!

sesungguhnya suara itu bukan
perampok
yang ingin merayah hartamu
ia ingin bicara
mengapa kau kokang senjata
dan gemetar ketika suara-suara itu
menuntut keadilan?

sesungguhnya suara itu akan
menjadi kata
ialah yang mengajari aku bertanya
dan pada akhirnya tidak bisa tidak
engkau harus menjawabnya
apabila engkau tetap bertahan
aku akan memburumu seperti
kutukan!
bernafas panjanglah
jangan ditelan kalut
bernafas panjanglah
jangan dimakan takut
bernafas panjanglah
jangan berlarut-larut
bernafas panjanglah
jangan surut

bernafas panjanglah
walau gelap
bernafas panjanglah
walau pengap

bernafas panjanglah kau, bernafas
panjanglah para korban
bernafas panjanglah aku
bernafas panjanglah kalian
bernafas panjanglah semua

bernafas panjanglah
melihat tank-tank dikerahkan
bernafas panjanglah
melihat tentara mondar-mandir
berselendang M-16
bernafas panjanglah
mendengar para aktivis ditangkapi
bernafas panjanglah
para kambing hitam yang diadili

bernafas panjanglah
dengan pemutar-balikan ini

mereka ingin sejarah dibaca bersih
bagaimana mungkin
jika mereka menulis dengan sobekan
daging
laras senapan
dan kubangan darah

baca kembali semuanya
dan bernafas panjanglah

bernafas panjanglah akal
bernafas panjanglah hati

bangun
dan bernafas panjanglah!


Di negeri #Jancukers akan diundangkan bahwa tidak tersenyum lebih kejam daripada pembunuhan. Apakah itu berarti bahwa cemberut setara fitnah ? Belum tentu. Bandingkan dengan logika ini : Kepiting rebus lebih enak daripada batu. Tepung lebih enak daripada batu. Nyatanya kepiting rebus tak setara tepung. Keduanya jauh berbeda.

Di Yunani sampai kini masih ada tradisi perang tepung. Tepung aneka warna ditabur-taburkan oleh dua pihak yang bermain perang. Gedung-gedung sampai ditutupi plastic agar tak belepotan warna-warni tepung. Tapi tak pernah perang-perangan itu mereka lakukan dengan baku tebar kepiting.

Pembahasan kita lanjutkan. Apakah kepiting tidak pernah tersenyum?
Wah, mana saya tahu. Cuma pernah, di Kemang, ada orang yang tak tahan minum. Baru minum seteguk saja mukanya layu, mata merah, tanpa senyum. “Mukamu udah kayak kepiting”, ejek sobatnya.

Ah, siapa tahu sohibnya benar. Selain muka layu, mata merah, kepiting adalah wajah yang tidak tersenyum?
Kalau tentang semacam kepiting jenis yuyu saya pernah dengar. Bukan soal ia mesem atau merengutnya, tapi soal moralnya. Dalam dongen rakyat diceritakan ada yuyu, namanya Yuyu Kangkang. Gaweannya, maaf, mengangkangi para kandidat istri Ande Ande Lumut.

Maksudnya tampak mulia. Ia seberangkan kaum wanita yang ingin melamar ke singgasana Ande Ande Lumut. Tapi dalam perjalanan di perairan ia ternyata melakukan nego-nego tertentu. Apakah transaksi itu ia lakukan sembari senyum-senyum?

Hmmm…. Senyum sendiri bagi saya seperti Turki, selalu mendua. Ada yang termasuk wilayah Eropa ada yang wilayah Asia. Dalam satu senyum pun sekaligus terkandung zona yang berkesan enak dan zona ndak enak. Senyum Monalisa itu contohnya. Ada kegetiran sekaligus kebahagian di dalamnya. Sama dengan senyum seorang teman ketika mendengar cerita dari warga Yogya. Orang trah Mataram ini sangat meluap-meluap bercerita tentang kekagumannya pada air terjun Niagara, sementara belum pernah ia dengar air terjun Sri Gethuk di sekitar kotanya, Gunung Kidul.

Yang masih ketat tak usai-usai menjadi polemik di parlemen #Jancukers adalah menentukan bagian mana dari senyuman yang bermotif pembunuhan. Karena orang yang senyumnya patut diduga bermotif pembunuhan, justru lebi baik tidak tersenyum. Cemberutnya malah lebih baik, malah tidak lebih kejam ketimbang pembunuhan.

Begitulah perdebatan di parlemen tak berkesudahan. Beberapa anggota dewan khawatir konflik horizontal bakal marak jika kelak undang-undang tentang tersenyum ini sudah definitive. Khawatir beberapa LSM akan berprotesan karena merasa telah dibunuh justru oleh senyum seseorang.

Sampai-sampai parlemen mengundang para ahli kejiwaan, ahli otot wajah sampai antropolog untuk memperbincangkan ikhwal senyum yang membunuh. “Bagaimana kalau kita pelajari ulang senyum Monalisa meski telah berulang-ulang dianalisis para ahli?” Tanya yang satu.
“Ah itu sudah kuno. Kamu asalnya Gunung kidul, Yogya, kan sebelum masuk negeri #Jancukers? Kenapa nggak kita teliti senyum Pak Harto saja, The Smiling General? Sang Jenderal kan juga orang Yogya?” yang lain protes.

Akhirnya mereka mengkaji senyuman Pak Harto. Mereka simak bagian mana dari senyum beliau yang potensial membunuh. Bagian mana pula dari senyum Sang Jenderal Besar itu yang secara laten masih diwarisi oleh presiden-presiden berikutnya. Sambil menunggu hasil penelitian, masyarakat negeri #Jancukers hanya diminta untuk mengingat-ingat bahwa bedil tentara bisa membunuh manusia seketika, tapi senyuman dapat membuat manusia mati secara klepek-klepek.

Tanpa diminta, masyarakat negeri #Jancukers sudah ingat betul bahwa yang membunuh King Kong bukanlah pelor-pelor yang dimuntahkan dari pesawat tempur. King Kong dibunuh oleh oleh senyum perempuan bertipe klasik yang diperankan oleh Penelope Ann Miller.

Namun, kalau kita waspada, sebagaimana Turki yang mendua tentu ada bagian lain dari keindahan senyum yang sungguh-sungguh tak mematikan.

Dan mari kita tak terkecoh lagi oleh pencitraan.

Tejo, Sujiwo.2012. Republik #Jancukers. Penerbit Kompas. Jakarta