Asal-usul kata “Indonesia" Bagian I



Indonesia Tanah Airku


       Tanah air, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, adalah negeri tempat kelahiran. Dalam bahasa asing padanannya adalah patrie (Perancis), Heimat (Jerman), dan country atau native country (Inggris). Tidak diketahui dengan persis “mengapa” dan “siapa” dari tetua kita dahulu yang telah menempa ungkapan tanah air ini. Ungkapan ini ternyata telah menggambarkan dengan tepat permukaan yang sebenarnya dari negeri tempat kelahiran kita ini, yaitu suatu kesatuan fisis yang terdiri dari tanah dan air. Kemudian, tanah air tercinta ini diberi nama “Indonesia”. Lain halnya dengan ungkapan tanah air, kalau mengenai nama “Indonesia” tersebut, cukup jelas “mengapa” dan “siapa” yang telah berusa menetapkannya.

Konteks Keilmuan

      Dasar dari kata Indonesia untuk pertama kalinya diketengahkan oleh G.W. Earl pada tahun 1850, dalam suatu tulisan dalam majalah Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia. Dia adalah seorang pakar ilmu bangsa-bangsa (etnolog) berkebangsaan Inggris. Adapun kata persis yang digunakannya belum berbunyi “Indonesia” tetapi “Indu-nesian”. Dengan mengambil contoh sebutan “Polynesia”, dia menggunakan sebutan “ Indunesian” atau “Melayunesian” untuk menamakan unsur-unsur berkulit coklat dari penduduk yang mendiami Kepulauan Nusantara yang ketika itu lazim disebut sebagai Indian Archipelago atau Malayan Archipelago. Namun, setelah menguraikan rasionale dari sebutan ini, dia jelas mengatakan lebih menyukai kata “Melayunesian” ketimbang “Indunesian”.

       Kata yang disisihkan oleh penciptanya sendiri itu diambil alih oleh pakar ilmu bangsa-bangsa lainnya, yang juga berkebangsaan Inggris, bernama J.R. Logan. Melalui tulisan berjudul The Ethnology of the Indian Archipelago yang diterbitkannya dalam majalah yang sama dan masih dalam tahun penerbitan yang sama pula, dia memakai sebutan “Indonesia” sebagai sinonim dengan sebutan Indian Archipelago (Kepulauan Nusantara). Kelompok penduduk yang dicakup oleh sebutan “Indonesia” ini menurut Logan tidak hanya ditandai oleh persamaan dalam bahasa-bahasa yang dipakainya, yang berarti pula adanya persamaan dalam unsur-unsur tertentu dari kebudayaannya, tetapi juga persamaan dalam ras.

          Untuk bidang penelitian yang baru ini, kiranya dipikir perlu adanya kata-kata sebutan baru. Berhubung dengan itu, dalam tulisannya itu, Logan menganggap perlu mengetengahkan sebutan lainnya, seperti “Asia-nesia”, sebagai sebutan yang mencakup Indonesia, Melanesia, Mikronesia, dan Polynesia. Jadi, apabila Earl menempa kata “Indunesian” dalam artian etnologis, Logan menggunakan sebutan “Indonesia” dalam artian geografis murni, yaitu mengenai gugusam kepulauan yang di khatulistiwa itu sendiri. Menurut pendapatnya, perkataan Melayu, nusa, yang berarti ‘pulau’, mungkin sama tuanya dengan perkataan Yunani, nesos.

        Tahun 1877 seorang sarjana berbahasa Perancis, E.T. Hamy, memakai sebutan “Indonesia” dalam artian etnologis yang lebih spesifik lagi. Dalam karyanya berjudul Les Alfourous de Gilolo, sebutan ini dimaksudkan untuk meliputi kelompok-kelompok alamiah tertentu dalam penduduk Melayu yang mendiami gugusan kepulauan ini mengingat “Melayu” sebagai satu kategori ras juga jelas menunjukkan pengaruh-pengaruh Mongool. Kelompok-kelompok penduduk alamiah tersebut menurut Hamy dapat dikatakan pula sebagai “Pra-Melayu” yang meliputi orang-orang Batta (Batak), Dayak, dan lain-lain. Jadi, sebutan “Indonesia” dipakai untuk menunjukkan bagian-bagian tertentu dari penduduk Melayu yang dianggap memang berasal dari kepulauan itu sendiri.

          Tiga pulu empat tahun sejak munculnya kata “Indunesia”, kata, “Indonesia” dimantapkan oleh seorang sarjana Jerman, Adolf Bastian, yang oleh Prof. Wilken disebut sebagai “raja dari sarjana-sarjana ilmu bangsa-bangsa”. Kata “Indonesia” dipakainya sebagai bagian dari judul karyanya yang terbit di tahun 1884 berbunyi: Indonesien order die Inseln des Malayischen Archiplesa. Dari judul ini saja jelas bahwa, yang dimaksudkannya dengan “Indonesien” adalah tidak lain dari “kepulauan Nusantara” kita ini.

Pro dan Kontra

            Mengingat otoritas Bastian di lingkungan masyarakat ilmiah ketika itu, sejak tulisannya ini sebutan “Indonesia” menjadi pengertian yang semakin diterima dalam ilmu pengetahuan, terutama ilmu bangsa-bangsa dan ilmu bahasa. Ini pula yang kiranya menjadi sebab mengapa orang kadangkala keliru menganggapnya sebagai “penemu” dari kata dan sebutan “Indonesia”. Kekeliruan tersebut dapat ditemui, misalnya, di Oosthoeks Encyclopaedie” (1935), di ensiklopedia Winker Prins (1935), di Katholieke Encyclopaedie (1936), dan di Encyclopaedie Nederlandsch-Indie, bahkan sampai dua kali (II, 1918 dan V, 1927).
           
            Sebagai lazimnya dalam dunia ilmu pengetahuan, yang tetap menolak sebutan”Indonesia” sesudah adanya penegasan dari Bastian tentu saja ada, terutama dari pihak sarjana Belanda tertentu. Brandes, misalnya, dalam tesis doctoral yang diajukannya di tahun 1884, mengakui adanya kebutuhan terhadap satu sebutan yang kurang membingunkan dari sebutan “bagian Melayu” dari keluarga bahasa-bahasa Melayu-Polenesia. Walaupun begitu, dia tidak dapat menemukan yang lebih baik daripada sebutan “bagian Barat” sebagai pengganti sebutan “bagian Melayu” yang katanya membingunkan itu. Di pihak lain Veth dan Pijnappel. Ketika menerima jabatan guru besar dalam ilmu bahasa di Universitas Leiden di tahun yang sama (1877) menggunakan sebutan “Kepulauan Hindia dan Melayu” atau “Hindia Timur”, padahal sebenarnya ada rasionale yang kuat bagi mereka untuk menerima sebutan yang sebelumnya telah diajukan oleh Logan, yaitu “Indonesia”.

            Namun, tokoh-tokoh sarjana Belanda yang mengikuti jejak Bastian juga cukup menonjol. Berturut-turut, 1885 Gabelents, misalnya tanpa ragu-ragu menyebut adanya “keluarga bahasa Indonesia” (Indonesische Taalfamilie). Prof. Kern, yang pernah berindak sebagai promotor promosi doctor dari Brandes, menulis sebuah artikel di tahun 1889 yang membahas hubungan Hindia-Belanda dan Indonesia. Dipihak lain, Snouck Hurgronje berkali-kali menggunakan perkataan “orang-orang Indonesia” (Indonesiers) dalam bukunya mengenai “orang-orang Aceh” (Atjehers) di tahun 1894.


Sumber :

Joesoef, daud.2011. Aneka Masalah Kehidupan Bersama. Penerbit Kompas.Jakarta

0 komentar:

Posting Komentar