Apabila pada akhir abad XIX sebutan "Indonesia" dapat dikatakan mantap sudah kedudukannya dalam artian ilmiah, pada permulaan abad XX sebutan ini masih harus berjuang untuk mendapatkan pengakuaanya dalam artian politis dan ketatanegaraan. Yang memperjuangkan hal ini adalah organisasi dari pelajar Indonesia yang ketika itu sedang bermukim dan belajar di negeri Belanda. Ia didirikan di situ pada tahun yang sama dengan pembentukan Boedi Oetomo di Batavia-Jakarta "tempo doeloe"- dan pada awalnya bernama "Indische Vereninging".
Perkumpulan ini mula-mula tidak memperhatikan masalah politik, tetapi berusaha untuk mempererat tali persaudaraan di antara sesama pelajar Indonesia di negeri Belanda. Dengan kedatangan, dr. Tjipto Mangunkusumo dan Suwardi Surjaningrat (Ki Hajar Dewantara) pada tahun 1913-yaitu tokoh pergerakan kebangsaan Indonesia yang dibuang oleh penjajah ke negerinya sendiri itu-politik masuk ke dalam perkumpulan ini, terutama perjuangan politik untuk membebaskan Tanah Air dari belenggu penjajah Belanda.
Perjuangan untuk memberikan artian politis dan ketatanegaraan pada sebutan "Indonesia" dilakukan secara konsekuen oleh organisasi pelajar kita tersebut, antara lain dengan mengubah namanya dari Indische Vereninging menjadi Indonesische Vereninging, hingga akhirnya menetap jadi Perhimpunan Indonesia. Dalam artian politis, karena sebutan "Indonesia" mengandung tuntutan kemerdekaan bangsa Indonesia. Dalam artian ketatanegaraan, karena sebutan ini menyatakan tekad mengorganisasikan bangsa yang merdeka ini kelak dalam suatu negara yang berdaulat penuh, bersama "negara Indonesia" sebagai pengganti nama "Nederlandsch-Indie" yang dipakai oleh penjajah Belanda selama ini. Sementara itu, para mahasiswa semakin menjadi tokoh penggerak yang penting dari perhimpunan yang pada awalnya hanya bersifat sosial tersebut.
Perjuangan ini ternyata tidak kalah beratnya dengan perjuangan yang pernah dialami oleh sebutan "Indonesia" ketika di abad XIX berusaha mendapat pengakuan ilmiahnya. Bedanya adalah kalau pada abad ke XIX itu pertarungan terjadi di antara sesama sarjana Barat, pada abad XX ini bentrokan intelektual berlangsung antara mahasiswa-mahasiswa Indonesia dan cendekiawan, termasuk akademisi, Belanda. Di pihak Belanda para penentang tidak hanya berasal dari kaum cerdik cendekia yang apriori memang keberatan terhadap kemerdekaan Indonesia, jadi menolak sebutan "Indonesia" dalam artian apa pun, tetapi juga datang dari kalangan universiter yang telah menerima dan memakai sebutan "Indonesia" dalam artian ilmiah.
Dalam pertarungan intelektual ini, pejuang kita yang paling tegar di garis depan adalah Mohammad Hatta, yang ketika itu sedang belajar di Handelshogeshool Rotterdam, menjadi bendahara (1922-1925) dan kemudian ketua (1925-1930) dari Perhimpoenan Indonesia. Dengan bahasa setempat (Belanda) yang teratur dan penalaran akademis yang baik (correct), dia melayani secara tertulis semua argumen penolakan dan sanggahan yang dilontarkan terhadap sebutan "Indonesia". Apa yang dilakukannya ini dapat dikatakan merupakan suatu kemampuan intelektual yang praktis jarang sekali dimiliki oleh mahasiswa Indonesia seusia dia dewasa ini.
Sumber :
Joesoef, daoed.2011 Aneka Masalah Kehidupan Bersama. Penerbit Kompas. Jakarta
0 komentar:
Posting Komentar