Mens

Di negeri #Jancukers perempuan yang sedang mens dibebaskan dari segala tuntutan hukum. Sudah barang tentu sosialisasi program tersebut mengalami jatuh bangun di awal-awalnya. Ini sangat wajar. Maklumlah, masyarakat terlalu lama terkungkung hidup secara prasejarah, yaitu hidup di bawah prinsip equality before the law, "di depan hukum semua sama". Lha di belakang hukum?

Slogan equality before the law itu kan jadul banget? Mungkin lebih jadul dari kebudayaan Makedonia atau apalah.....
Oke di depan hukum semua sama, lha kalau di belakang hukum? Hayo...

Padahal yang namanya ruang kan mengenal depan belakang atas bawah. Yang di atas hukum namanya etika. Ikatan-ikatan profesi menindak anggotanya atas dasar etika meski secara hukum belum dibuktikan bersalah. Yang di bawah hukum....Hmmm... Namanya apa ya. Ya, pokoknya di bagian bawah-bawahlah. Sepatu larsa termasuk yang bagian rendahan itu. Makanya dulu di zaman Pak Harto orang Madura bilang, "Tentara sebetulnya sudah taat hukum, Dik. Cuma kalau lagi pemilu itu lho, Dik, sepatunya suka naik ke hidung-hidung..."

Ngomong-ngomong soal Madura, waktu kanak-kanak di Pulau Garam itu saya sering melihat setan. Kata teman-teman, setan adalah gelombang-gelombang udara di atas aspal panas. Ketika SMP baru saya tahu bahwa itu semacam fatamorgana. Sekarang saya baru tahu yang sungguh-sungguh tentang apa itu fatamorgana. Di depan atau haluan hukum ada sederetan manusia yang sama derajatnya. Mereka duduk sama rendah berdiri sama tinggi. Itulah fatamorgana!
Sekali lagi, itulah sebenar-benar fatamorgana!

Yang konkret adalah situasi manusia di belakang atau buritan hukum. Mereka beragam. Ada kelompok yang nyeker, ada yang sedikit yang lebih tinggi karena pakai sandal jepit, dan ada yang pakai stilettosampai 15 sentimeter sehingga lebih jangkung berdirinya. Ketinggian mereka tampak berundak-undak, tak sama sekali setara.

Maka, obrolan menyangkut perempuan mens sungguh-sungguh obrolan tentang kehidupan nyata. Dunia adalah kenyataan. Kenyataan adalah apa yang kita alami. Yang kita alami adalah seluruh hal ikhwal yang ada dibelakang hukum!
Tak terasakah bahwa ini sangat serius.

Pembahasan soal mens memang bukanlah pembahasan yang remeh-temeh. Para pentolan yang sudah sanggup memecahkan makna simbol Swastika maupun Swadhisthana, bisa jadi masih termehek-mehek kalau harus memaknai mens. Banyak anomali berlangsung di dalam perempuan yang dilanda haid. Semula ketika berantem tak memasalahkan kata "agar supaya", pas mens datang bisa jadi tiba-tiba mermperkarakannya. Perkara, agar = supaya. Berarti agar supaya = agar-agar? nama makanan, dong?

Begitu juga untung = laba. Kalau begitu usaha suami yang tak untung-untung adalah usaha yang tidak laba-laba?
Tak usah sewot menghadapi perempuan ketika menstruasi menjadi melawan hukum bahasa. Tak usah uring-uringan jika perlawanan hukum bahasa itu nantinya merembet ke perlawanan pada hukum-hukum lain. Tak usah meradang, meradang karena lupa bahwa kalau lagi mens rasa badan perempuan memang tak karu-karuan.

Paling banter, kalau mesti menanggapi, responlah dengan kelakar. Misalnya setelah pertandingan ketat lalu petenis Djokovic menundukkan Nadal terus perempuan mens itu bilang, "Memang hebat gubernur DKI ini."
Tak usalah kita ngotot bahwa lain Djokovic lain Jokowi, mantan walikota solo itu.

Ringkas kata, berilah perkecualian kepada perempuan yang sedang datang bulan. Laki-laki yang hare gene masih gemar gembar-gembor mengatakan equality before the law, sungguh lelaki yang tak pernah punya pengalaman langsung menghadapi perempuan period di Tanah Air. 

Laki-laki itu mungkin cuma menyerahkan pengalamannya pada berbagai Tim Gabungan Pencari Fakta mengenai Tanah Air mengenai
Tanah Air


Sorry to say...

Sumber :
Tejo, Sudjiwo. Republi #Jancukers.2012. Penerbit Kompas. Jakarta.

0 komentar:

Posting Komentar