Rokok

Orang anti rokok itu bermacam-macam. Ada yang antinya anti sama sekali. Orang seperti ini mirip mereka yang anti sama sekali berita politik. Koran atau televisi bukan saja ditutupnya, tapi ia matikan semua sambil marah-marah. Ada yang antirokoknya setengah-setengah. Mereka tak mengisap, tapi tak keberatan orang-orang lain klepas-klepus berkemelut di sekitarnya. Bolehlah orang seperti ini diibaratkan mereka yang maniak infotainment dan sinetron di televisi, tapi tak sampai muntah-muntah kalau pas makan restorannya nyetel televisi politik

Mungkin ia pikir, ah pasti para pelayan sedang di puncak sibuk sampai lupa memindahkan tevenya dari saluran politik. Itulah keadaan belalang di lain ladang. Lain pula di negeri #Jancukers. Di negeri ini semua tempat adalah smoking area sebab asap rokok bisa ngeles dari hidung bukan perokok.

Itulah prestasi kerja sama para ahli kimia, ahli politik, dan ahli psikologi. Bermula dari obrolan mereka bertiga di sebuah kafe. Si ahli politik bilang, kalau pejabat saja sekarang banyak yang ngeles dari tanggung jawabnya, kenapa tak digagas asap rokok dengan kepiawaian ngeles juga.
Alasannya baik rokok dan pejabat dua-duanya sama, yaitu membahayakan bagi kesehatan. Bedanya, bungkus rokok  diberi warning resiko rokok terhadap kanker, serangan jantung, dan lain-lain.

Bungkus pejabat, yaitu baju, tepatnya di bawah lencana, tak ada sematan warning bahwa korupsi bisa menyebabkan masyarakat stres sehingga kena kanker, serangan jantung, impotensi, dan lain-lain.
"Kalau pejabat bisa menghindari dari tanggung jawab, kenapa rokok, asapnya, nggak bisa dibikin ngeles juga?" ulang si ahli politik.

Aduh, bagaiamana ya, kata si ahli kimia. Dia mumet berpikir. Malah nyaris vertigo. Mumetnya soal bahan tembakau apa yang kalau di bakar asapnya bisa kayak pesawat autopilot, mampu bermanuver sendiri baik mencapai maupun menghindari sasaran.
Bagi si ahli politik, ya itu bidangnya orang kimialah. Menganalisis hubungan threesome politika antara yudikathief, legislathief, dan eksekuthief saja ia sudah pusing. Apalagi diminta turut merenung-renung asap rokok autopilot. " Saya sih ngertinya cuma negara autopilot," tegasnya.

Mengoleskan semacam krim obat nyamuk di cuping-cuping hidung bukan para perokok dianggap terlalu rumit. Asap rokok tak akan mencapai hidung mereka sebagaimana nyamuk ogah hingga ke kulit yang telah di blonyohi obat. Itu bisa saja. Tapi belum tentu mereka mau.

Salah-salah olesan bahan kimia pada cuping hidung akan mengurangi daya endus mereka, Padahal, dengan daya endus yang tajam, mereka masih sering dikelabui.
Misalnya, mereka mengendus siapa saja yang sesungguhnya terlibat dalam kasus korupsi dikementrian agama, transmigrasi, dan tenaga kerja, kesehatan, pendidikan, dan lain-lain. Toh buktinya oknum-oknum yang ditersangkakan tidak sampai oknum puncak seperti endusan kolektif.

Di ujung perbincangan, ahli kimia sanggup membuat bahan olesan hidung antiasap rokok. Tinggal si ahli psikologi yang tampak berpikir-pikir. " Bagaimana aku meyakinkan masyarakat bahwa olesan hidung antiasap rokok ini tak mengurangi kepekaan dan daya endus."

Hmmmmm......

Sumber :

Tejo, sudjiwo. Republik #Jancukers.2012.Penerbit Kompas. Jakarta.

0 komentar:

Posting Komentar