Senyum



Di negeri #Jancukers akan diundangkan bahwa tidak tersenyum lebih kejam daripada pembunuhan. Apakah itu berarti bahwa cemberut setara fitnah ? Belum tentu. Bandingkan dengan logika ini : Kepiting rebus lebih enak daripada batu. Tepung lebih enak daripada batu. Nyatanya kepiting rebus tak setara tepung. Keduanya jauh berbeda.

Di Yunani sampai kini masih ada tradisi perang tepung. Tepung aneka warna ditabur-taburkan oleh dua pihak yang bermain perang. Gedung-gedung sampai ditutupi plastic agar tak belepotan warna-warni tepung. Tapi tak pernah perang-perangan itu mereka lakukan dengan baku tebar kepiting.

Pembahasan kita lanjutkan. Apakah kepiting tidak pernah tersenyum?
Wah, mana saya tahu. Cuma pernah, di Kemang, ada orang yang tak tahan minum. Baru minum seteguk saja mukanya layu, mata merah, tanpa senyum. “Mukamu udah kayak kepiting”, ejek sobatnya.

Ah, siapa tahu sohibnya benar. Selain muka layu, mata merah, kepiting adalah wajah yang tidak tersenyum?
Kalau tentang semacam kepiting jenis yuyu saya pernah dengar. Bukan soal ia mesem atau merengutnya, tapi soal moralnya. Dalam dongen rakyat diceritakan ada yuyu, namanya Yuyu Kangkang. Gaweannya, maaf, mengangkangi para kandidat istri Ande Ande Lumut.

Maksudnya tampak mulia. Ia seberangkan kaum wanita yang ingin melamar ke singgasana Ande Ande Lumut. Tapi dalam perjalanan di perairan ia ternyata melakukan nego-nego tertentu. Apakah transaksi itu ia lakukan sembari senyum-senyum?

Hmmm…. Senyum sendiri bagi saya seperti Turki, selalu mendua. Ada yang termasuk wilayah Eropa ada yang wilayah Asia. Dalam satu senyum pun sekaligus terkandung zona yang berkesan enak dan zona ndak enak. Senyum Monalisa itu contohnya. Ada kegetiran sekaligus kebahagian di dalamnya. Sama dengan senyum seorang teman ketika mendengar cerita dari warga Yogya. Orang trah Mataram ini sangat meluap-meluap bercerita tentang kekagumannya pada air terjun Niagara, sementara belum pernah ia dengar air terjun Sri Gethuk di sekitar kotanya, Gunung Kidul.

Yang masih ketat tak usai-usai menjadi polemik di parlemen #Jancukers adalah menentukan bagian mana dari senyuman yang bermotif pembunuhan. Karena orang yang senyumnya patut diduga bermotif pembunuhan, justru lebi baik tidak tersenyum. Cemberutnya malah lebih baik, malah tidak lebih kejam ketimbang pembunuhan.

Begitulah perdebatan di parlemen tak berkesudahan. Beberapa anggota dewan khawatir konflik horizontal bakal marak jika kelak undang-undang tentang tersenyum ini sudah definitive. Khawatir beberapa LSM akan berprotesan karena merasa telah dibunuh justru oleh senyum seseorang.

Sampai-sampai parlemen mengundang para ahli kejiwaan, ahli otot wajah sampai antropolog untuk memperbincangkan ikhwal senyum yang membunuh. “Bagaimana kalau kita pelajari ulang senyum Monalisa meski telah berulang-ulang dianalisis para ahli?” Tanya yang satu.
“Ah itu sudah kuno. Kamu asalnya Gunung kidul, Yogya, kan sebelum masuk negeri #Jancukers? Kenapa nggak kita teliti senyum Pak Harto saja, The Smiling General? Sang Jenderal kan juga orang Yogya?” yang lain protes.

Akhirnya mereka mengkaji senyuman Pak Harto. Mereka simak bagian mana dari senyum beliau yang potensial membunuh. Bagian mana pula dari senyum Sang Jenderal Besar itu yang secara laten masih diwarisi oleh presiden-presiden berikutnya. Sambil menunggu hasil penelitian, masyarakat negeri #Jancukers hanya diminta untuk mengingat-ingat bahwa bedil tentara bisa membunuh manusia seketika, tapi senyuman dapat membuat manusia mati secara klepek-klepek.

Tanpa diminta, masyarakat negeri #Jancukers sudah ingat betul bahwa yang membunuh King Kong bukanlah pelor-pelor yang dimuntahkan dari pesawat tempur. King Kong dibunuh oleh oleh senyum perempuan bertipe klasik yang diperankan oleh Penelope Ann Miller.

Namun, kalau kita waspada, sebagaimana Turki yang mendua tentu ada bagian lain dari keindahan senyum yang sungguh-sungguh tak mematikan.

Dan mari kita tak terkecoh lagi oleh pencitraan.

Tejo, Sujiwo.2012. Republik #Jancukers. Penerbit Kompas. Jakarta

0 komentar:

Posting Komentar