Penulis             : Pramoedya Ananta Toer
Tahun Terbit    : Cetakan 8, Agustus 2015
Penerbit           : Lentera Dipantara
Kisah ini bermula ketika tokoh utama (aku) mendapat surat dari pamannya yang mengabarkan bahwa ayahnya di kampung telah jatuh sakit. Di dalam surat itu dia diminta agar menyempatkan waktu beberapa hari untuk menjenguk ayahnya yang sedang berbaring di rumah sakit dan telah beberapa kali memuntahkan darah. Ia terkejut membaca surat tersebut, dipikirannya terbayang sosok ayah namun kemudian uang.
Pada saat itu dia baru saja bekerja selama tiga hari di Balai Pustaka, namun dia memutuskan pulang kampung bersama istrinya untuk menjenguk ayahnya. Setelah memutari kota Jakarta, akhirnya tokoh aku mendapat pinjaman uang dari teman-temannya.
Keesokan hari tokoh aku bersama istrinya menuju stasiun Gambir selanjutnya dengan kereta api mereka menuju ke Blora, kampung halaman tokoh aku. Sepanjang jalan dari Jakarta menuju Blora si tokoh aku mengenang peristiwa-peristiwa ketika berjuang melawan penjajah di setiap daerah yang dilewati kereta api. Namun, bukan hanya peristiwa tersebut yang terus menghiasi ingatannya tetapi kadang keadaan ayahnya turut muncul.
Setelah beristrahat semalam di kota Semarang, pagi harinya tokoh aku dan istrinya melanjutkan perjalanannya dengan kereta api menuju ke kampung halamannya. Diperjalanan kadang mereka menjumpai anak-anak kecil yang mengulurkan topi untuk mengemis, dan jika ada penumpang yang melemparkan sisa makanan, mereka akan berebutan. Mereka akhirnya tiba di stasiun Blora, namun tak ada seorangpun sanak keluarga yang menjemputnya karena telegram yang berisi tentang kedatanganya tidak sampai. Mereka melanjutkan perjalan dengan dokar, disepanjang perjalanan dia melihat sisa bangunan yang menjadi kebanggaan warga kota Blora telah rusak.
Akhirnya dokar yang mereka tumpangi tiba di depan rumahnya dan mereka disambut riang oleh adik-adiknya. Tokoh aku bersama adiknya duduk-duduk di ruang depan dan mereka mengobrol tentang Jakarta,  Semarang, dan tentang mobil. Kemudian dia bertanya tenang kesehatan bapaknya, namun semua adiknya berdiam diri. Setelah bertanya lagi, adiknya yang keempat dengan perlahan menjawab bahwa semua kiriman kakaknya telah mereka terima namun bapaknya menyuruh mereka untuk membawa kiriman itu ke rumah mereka. Si tokoh akupun terkejut. Adiknya meneruskan bahwa kemarin dan kemarin dulu bapaknya tetap tersenyum namun tadi pagi, ayahnya tidak tersenyum lagi, suaranya telah rendah dan hampir tak kedengaran. Dan adiknya yang kedua melanjutkan bahwa dokterpun hanya berkata telah mengetahui penyakit bapaknya, lalu dia disuruh pergi.
Tak berapa lama, adiknya yang keempat memberitahu bahwa adiknya yang ketiga ada juga di rumah mereka dan dia sedang terbaring sakit di kamar. Lalu tokoh aku menyuruh adiknya yang keempat untuk menyuruhnya keluarga kamar, namun setelah masuk di kamar adiknya yang keempat keluar dengan mata yang berkaca-kaca dan berkata bahwa adiknya yang ketiga sedang tidur. Terbayang diingatannya ketika dia mengirimkan surat yang pedas kepada ayahnya dahulu karena membiarkan adiknya yang ketiga sakit. Namun, surat itu dibalas ayahnya dengan kata-kata yang membuat amarahnya cair dan merasa berdosa kepada ayahnya hingga kini.
Setelah sejam mengobrol bersama istri dan adik-adiknya, tokoh aku meminta kepada adiknya yang keenam untuk menengok ke kamar adiknya yang ketiga, mugkin dia telah bangun, namun adikya yang ketiga tidak keluar. Adiknya yang kecil membisikkan bahwa adiknya yang ketiga sedang menangis, akhirnya tokoh aku yang masuk ke dalam kamar dan melihat adiknya sedang terlentang di atas ranjang besi, yang tiada berkelambu dan berselimut separuh. Dia merangkul adiknya dan dia menangis begitupun juga dengan adiknya juga menangis.
Adiknya yang ketiga menceritakan bahwa dia telah lama sakit, usahanya ke dokter tidak membuahkan kesembuhan, dan anaknya telah tiada karena pada bulan keenam telah lahir. Merekapun kembali menangis bersama-sama. Setelah itu dia memperbaiki selimut adiknya dan mencium pipi adiknya dulu montok namun sekarang kering, lalu dia meninggalkan kamar itu.
Sore itu dengan dokar tokoh aku bersama istri, adiknya yang keempat dan seorang adiknya yang belum dewasa berangkat ke rumah sakit. Setibanya dia hanya mendapati rumah sakit yang sepi dan hanya ada beberapa pasien yang duduk-duduk di bangsal sambil mencari kutu. Mereka menuju ke kamar 13 tempat ayahnya dirawat, setelah membuka pintu, ayahnya tersenyum melihat mereka telah datang. Mereka mendekati ranjang dan melihat air mata ayahnya bergelinang disudut mata, tangis yang tiada bertenaga.
 Dia melihat badan ayahnya yang dulu tegap sekarang seperti papan, hanya tinggal kulit dan tulang. Rambut ayahnya yang dulu hitam sekarang jadi putih, kumis, cambang, dan janggut menjadi hitam-putih-abu-abu membuat muka ayahnya nampak kotor. Terlihat juga perut ayahnya terlihat terguncang-guncang jika diserang batuk.
Istri yang telah dinikahi selama 6 bulan ini diperkenalkan dan ayahnya merestui mereka. Namun, tiba-tiba badai batuk menyerang dan mereka disuruh agar menjauh setelah reda dan akhirnya lenyap ia melihat ayahnya meludah, terlihat tempat ludah ayahnya itu nampak ludah baru yang berwarna merah.
Tokoh aku menangis melihat keadaaan ayahnya dan berpikir telah kehilangan ayahnya. Dia berniat untuk membawa ayah ke sanatoriumtapi ayahnya menggelengkan kepala. Setelah mengobrol dengan bapaknya tentang pil yang dikirimnya, keadaaannya waktu ditawan, keadaan kesehatan, serta nafsu makan bapaknya, tiba-tiba bapaknya menengok ke arah arlojinya. Adiknya yang keempat memberitahu bahwa itu adalah isyarat mereka disuruh untuk pulang. Setelah berpamitan namun adiknya yang ketujuh keluar duluan. Di luar kamar tokoh aku menyuruh adiknya yang ketujuh untuk masuk berpamitan tetapi setelah keluar adiknya itu nampak menangis dan adiknya yang keempat memberitahu dia bahwa setiap pulang dari menjenguk mereka, adiknya akan menenangis.
Pada malam hari mereka mengobrol di ruang depan namun adiknya yang ketujuh menyendiri di ruang belakang dan masih menangis. Dia mendekati, merangkul, dan mencium adiknya serta meminanya agar berhenti menangis namun adiknya lari masuk ke kamar dengan tangisnya. Di ruang depan mereka mengobrol tentang Jakarta, tentang Semarang, tentang mobil, dan tentang banyaknya bajing yang ada di Jakarta.
Di waktu itu juga paman dan bibinya datang dan adiknya yang belum dewasa masuk ke ruang belakang karena seperti yang sudah diadatkan dikampungnya bahwa anak-anak tak boleh turut dalam percakapan orang dewasa. Setelah memperkenalkan istrinya, mereka mengobrol sambil diselingi minum kopi, dan akhirnya tiba ke percakapan mengenai keadaan ayahnya. Pamannya berkata bahwa ayahnya tidak dapat ditolong lagi dan berniat untuk meminta pertolongan dukun. Dia tida tega melihat saudaranya yang dulu memiliki badan teguh sekarang hanya tulang dan suara yang lantang dan selamanya mematahkan pendebat di setiap permusyawaratan itu kini tak bertenaga lagi. Mereka pun bersepakat untuk mencari dukun keesokan harinya.
Kelanjutan kisah tokoh aku ketika melihat keadaan ayahnya makin memburuk bisa di baca pada novelnya.


Ringkasan.
Semua manusia bersaudara satu sama lain. Karena itu tiap orang yang membutuhkan pertolongan harus memperoleh pertolongan. Tiap orang keluar dari satu turunan, karena itu satu sama lain adalah saudara. –Pramoedya Ananta Toer-
Kisah ini berawal dari sebuah kerajaan yang bernama Daha, namun sekarang disebut Kediri. Penduduk kerajaan kebanyakan makmur. Tanaman pertanian sangat jarang dirusak hama. Kerajaan juga aman, tidak ada kejahatan karena penduduknya hidup makmur. Penyakit tidak menjangkiti penduduknya karena mereka makan secara teratur.
Kerajaan Daha diperintah oleh raja Erlangga yang terkenal dengan kebijaksanaannya dan berbudi. Seluruh raktyatnya dia lindungi. Istana raja Erlangga seperti surga Dewa Indera, tidak ada istana yang menandinginya. Tiap tahun negara yang takluk akan mengirimkan upeti kepada raja.
Sang raja memperhatikan seluruh wilayah kerajaannya sehingga dia mengunjungi seluruh wilayah hingga ke pelosok-pelosok, dia tidak hanya mengutamakan ibukota kerajaan. Keramahan dan sering memperlihatkan rakyatanya maka sang Raja sangat dicintai oleh mereka.
Namun, keadaan tiba-tiba berubah karena tersiar kabar bahwa musuh akan datang, namun musuhnya bukanlah balatentara kerajaan lain tetapi penyakit hebat yang dikirim oleh seorang pendeta perempuan di Candi Dewi Durga yang bernama Calon Arang dari dusun Girah. Dia memiliki banyak murid dan pengikut. Dia adalah seorang janda setengah tua yang memiliki anak perempuan berusia 25 tahun bernama Ratna Manggali yang ia sangat sayangi.
Ratna Manggali seorang gadis yang cantik namun tidak ada pemuda yang datang meminangnya karena takut kepada Calon Arang yang terkenal memiliki perilaku yang buruk. Ia senang menganiaya sesama manusia, membunuh, merampas dan menyakiti. Ia memiliki ilmu teluh dan banyak ilmu ajaib untuk membunuh orang.
Semua penduduk di dusun Girah takut kepada Ratna Manggali dan ibunya namun nama mereka sungguh busuk sebagai tukang sihir yang menyebar penyakit dan merusak bagi sesama manusia. Dia sangat marah karena tidak ada yang suka padanya dan salah seorang muridnya melapor bahwa Ratna Manggali menjadi percakapan karena tidak diperistri orang. Dia sangat marah sehingga berniat ingin membunuh orang sebanyak-banyaknya agar dia puas.
Berangkatlah Calon Arang bersama murid-muridnya ke candi Durga. Durga disebut Bagawati adalah dewi yang mengehendaki kerusakan. Setelah mengucapkan mantra dan membakar pendupaan. Muridnya menari-nari seperti kawanan orang gila. Tak lama kemudian muncullah Dewi Durga, kemudian Calon Arang meminta izin untuk membangkitkan penyakit untuk membunuh sebanyak-banyaknya. Dewi Durga memberikannya izin namun dia tidak diizinkan untuk meratakan penyakit tersebut hingga ibukota kerajaan. Mendengar izin tersebut Calon Arang dan muridnya sangatlah senang, lalu dia menyembah lagi bersama murid-muridnya.
Di dusun lain yang bernama Lemah Tulis, hiduplah seorang pertapa yang bergelar empu atau guru. Ia bernama Baradah atau Empu Baradah. Dia sangat taat pada agamanya, ramah dan senang menolong orang sengsara serta tidak pernah menolak bila orang datang minta tolong sehingga penduduk dusun sujud terhadapnya. Karena kebaikannya penduduk menyamakan dia seperti dewa-dewa dan ada yang menganggap dia adalah dewa yang menjelma menjadi manusia.
Si empu Baradah memiliki seorang putri bernama Wedawati, ia adalah bunga semerbak di Lemah Tulis karena kecantikan dan keramahannya terhadap penduduk dusun. Ia ingin membahagiakan semua orang jika dia bisa. Namun, pada suatu hari Ibu Wedawati jatuh sakit kemudian beberapa hari kemudian meninggal. Ia sangat sedih dan menangis karena ditinggal oleh ibu yang sangat dia cintai, ia memohon kepada dewata agar mati bersama ibunya namun dewata tidak mengabulkannya.
Beberapa waktu kemudia Empu Baradah menikah lagi dan dari ibu barunya Wedawati memperoleh seorang adik laki-laki. Wedawati sangat senang karena dia punya teman bermain do taman. Namun, Ibu tirinya sangat sayang kepada adiknya berbeda dengan dia yang tidak disuka.
Suatu hari Empu Baradah pergi ke pertapaan Wisamuka untuk mengajar murid-muridnya. Di Lemah Tulis, Wedawati bekerja, dia tidak suka bermalas-malasan apalagi bertopang dagu dan tak tentu yang dipikirkan. Ibu titinya yang sudah lama menginginkan dia meninggalkan rumah mencari alasan untuk memarahi Wedawati. Ibu tirinya terus memarahinya dan dia memutuskan untuk meninggalkan rumahnya dan berjalan keluar desa ke kuburan ibunya. Beberapa anak gembala yang dilewatinya hendak menolong namun dia menolaknya dan terus saja berjalan sambil menangis.
Diperjalanan dia terkejut melihat tiga orang mayat dan disampingnya ada anak kecil yang merangkak mencari susu ibunya yang telah menjadi mayat. Melihat keadaaan itu lenyaplah kesedihannya. Namun ia menangis lagi karena melihat nasib anak kecil itu lalu dia bawa anak kecil itu ke rumah terdekat sedangkan mayat tersebut diambil oleh warga lalu disucikan. Sebenarnya mayat tersebut melarikan dari daerah teluh Calon Arang.
Akhirnya, Wedawati kembali menuju ke kuburan ibunya dan duduk disamping kuburan. Walaupun kuburan menjadi sunyi dia tidak juga bangkit dari tempat duduknya.
Di dusun lain, Calon Arang merasa sangat berbahagia dan bersenang-senang merayakan kemenangan jika orang-orang yang dibencinya telah mati. Tiap waktu muridnya harus berkeramas dengan darah manusia sehingga rambut mereka lengket-lengket dan tebal. Jika berpesta mereka tak ubahnya dengan sekawanan hewan buas. Jika ada yang mengintip mereka menyeretnya lalu dibunuh dan darahnya digunakan untuk keramas. Penduduk dusun pun hidup dalam ketakutan terhada Calon Arang dan murid-muridnya.
Dusun menjadi sunyi, jika Calon Arang dan ada muridnya yang tidur tidak ada yang berani berseru atau tertawa-tawa. Kalau berani membuat gaduh, matilah ia diteluh.
Pada suatu malam Calon Arang bersama murid-muridnya berjalan menuju ke perempatan jalan. Calon Arang membaca kitabnya sedangan muridnya Weksirsa membakar pendupaan sambil menandak-nandak gila dan yang lain menari-nari. Di tengah-tengah perempatan mereka menanamkan teluh agar penyakitnya tersebar di empat mata angin. Tidak lama kemudian timbullah penyakit di seluruh negeri yang tidak ada obatnya. Hanya di ibukota penyakit itu tidak membunuh orang.
Penduduk Daha kian lama kian sedikit. Banyak prajurit yang meninggal di luar ibukota karena teluh Calon Arang bukan kena senjata di medan perang. Jika musuh hendak merobohkan Daha, robohlah negara yang Agung itu. Penyakit yang diteluhkan oleh Calon Arang kian lama kian melebar, tambah banyak orang mati dimakan penyakit. Pendeta-pendeta yang baik hati mencoba menolak teluh Calon Arang namun itu semua sia-sia.
Berita tentang meluasnya teluh Calon Arang akhirnya sampai kepada Sri Baginda Erlangga. Dia merasa sangat sedih mendengar penderitaan rakyatnya sehingga memanggil semua menteri, pendeta, dan para johan pahlawan yang mengepalai pasukan-pasukan tentara Daha. Mereka melaporkan bahwa janda dari Girahlah yang memunculkan keenoran dan bencana itu.
Sri Baginda Erlangga menyuruh mengirimkan balatentara ke dusun Girah untuk menangkap Calon Arang, jika dia melawan raja membolehkannya untuk di bunuh bersama murid-muridnya. Mendengar keputusan Raja, seluruh penduduk merasa bahagia.
Sepasukan balatentara Raja menuju desa Girah untuk menumpas Calon Arang. Mereka disambut meriah di setiap daerah yang mereka lewati. Sesampainya di desa Girah, kepala pasukan bersama dua orang anggotanya masuk ke dalam rumah janda tukang sihir itu. Mereka mendapati Calon Arang sedang tidur lalu kepala pasukan menjambak rambut si tukang sihir sedangkan dua anggotanya mengacungkan pedang terhunus di atas tubuh  Calon Arang. Namun yang terjadi kemudian ketiganya menjadi kaku terkena teluh Calon Arang. Melihat ketiga prajurit itu, amarahnya meluap lalu matanya, hidung, kuping, mulutnya mengeluarkan api yang menjilat ketiga tubuh prajurit itu hingga hangus dan mati di situ. Prajurit yang lain lari menuju kudanya kembali ke ibukota.
Sesampai di ibu kota pasukan menyampaikan kepada Sri Baginda Erlangga bahwa kepala pasukan telah mati kena teluh Calon Arang. Mendengar laporan tersebut sang raja termenung-menung mendengar kesaktian tukang sihir wanita itu. Seluruh pendeta dan prawira-prawira yang hadir terdiam. Seluruh negeri Daha berkabung mendengar kekalahan pasukana balatentara Raja. Mereka tidak dikalahkan oleh senjata tetapi kesaktian ilmu sihir.
Setelah sidang dibubarkan, Sri Baginda Erlangga masuk ke sanggar pemujaan. Dia meminta petunjuk kepada dewanya untuk memberantas penyakit yang telah begitu banyak membunuh rakyatnya . Namun, tidak ada yang datang melalui asap pendupaanya. Dengan hati sedih ditinggalkan sanggar pemujaan itu.
Sri Baginda Erlangga lau berjalan-jalan di taman hingga matahari lenyap di balik gunung, kemudian kembali dia masuk ke sanggar pemujaan dan bersujud di depan arca Dewa Guru, tetapi dewa juga tidak datang. Baginda meninggalkan lagi sanggar dan berjalan memutari taman hingga matahari terbit.
Di dusun Girah, Calon sangat marah, dendam mengamuk di hatinya, muka dan matanya merah. Sebenta-sebentar dia menyumpahi Sri Baginda Erlangga. Tiba-tiba dia masuk ke sanggar pemujaan dengan membawa kitabnya. Calon Arang bersama murid-muridnya menuju ke kuburan. Di depan berjlan Weksirsa kemudian Calon Arang dibelakangnya dengan membawa kitab.Di kuburan tersebut mereka berunding mencari jalan untuk menyelamatkan diri karena Sri Baginda Erlangga telah tahu tentang kejahatan mereka.
Salah seorang muridnya memberi pendapat agar mereka melarikan diri ke gunung yang masih diliputi hutan lebat, lalu ada juga yang menyarankan agar mereka pergi kepada seorang pendeta agung untuk meminta dikembalikan ke jalan yang benar agar bisa hidup baik dan tenang. Namun, seorang muridnya menyarankan agar mereka melawan raja dan semua balatentaranya. Dia ingin meneluh semua penduduk di ibukota agar mati semua. Setelah Calon Arang meminta pesetujuan muridnya, Calon Arang bersama muridnya berkumpul dikuburan di tengah malam. Dia kemudian mengambil bangkai mayat lalu dia hidupkan kemudian salah seorang muridnya menebas leher mayat itu. Darah yang menyembur digunakan untuk keramas, ususnya dijadikan selendang dan tubuhnya pakai untuk sesaji kepada Dewi Durga. Ketika sang Dewi Durga muncul, Calon Arang meminta izin membuat penyakit besar-besaran yang dapat masuk ke ibukota hingga ke istana kerajaan. Dewi Durga kemudian mengabulkan permintaan Calon Arang lalu pulanglah dia bersama murid-muridnya ke desa Girah.
Di dusun Lemah Tulis, ibu tiri Wedawati sangat senang karena Wedawati telah pergi. Dia menikmati kebersamaan bersama anaknya. Lalu ketika Sang Empu Baradah pulang, dia memberitahukan bahwa Wedawati telah meninggalkan rumah karena bertengkar dengan adiknya. Setelah mendengar hal tersebut Empu Baradah pergi mencari Wedawati, ia bertanya kepada orang yang dia jumpai di jalan. Seorang anak gembala memberitahu bahwa Wedawati telah keluar dusun berjalan ke arah selatan menuju ke kuburan ibunya.
Empu Baradah menuju ke kuburan mendiang istrinya, di sana dia melihat Wedawati terpekur di tanah samping kuburan mendiang ibunya.
Kisah selanjutnya antara Calon Arang, Sri Baginda Erlangga, Empu Barada, dan Wedawati dapat dibaca dalam buku karya Pramoedya Ananta Toer yang berjudul Calon Arang.


Langkah-langkah menulis kritik karya sastra menurut Maman.S.Mahayana.
            Dalam kritik sastra, ada dua jenis kritik sastra yang media dan sasarannya berbeda. Pertama kritik sastra ilmiah yang berada dalam dunia akademis, meski tidak menutup kemungkinan juga publik dapat menikmati karya-karya ilmiah itu manakala mereka dipublikasikan sebagai buku yang disebarkan ketengah khalayak masyarakat. Dalam kritik akademik, kerangka teoritis dan metode ilmiah mutlak disertakan sebagai landasan argumen. Kedua, kritik sastra umum, sasarannya adalah publik, masyarakat berbagai kalangan dengan latar belakang pendidikan yang beraneka ragam. Media yang digunakannya bisa berupa majalah, surat kabar, buletin yang dicetak atas biaya urunan, atau juga ulasan ringkas sebagai pengantar diskusi di depan khalayak umum. Dalam kritik sastra umum, meski mungkin digunakan juga metode ilmiah dengan kerangka teoritisnya, mengingat sasarannya untuk masyarakat umum, maka boleh jadi penekanan jenis kritik ini, sekedar sebuah apresiasi. Tujuan kritik sastra umum itu adalah apresiasi, ulasan, atau analisis ringan agar khalayak tergoda untuk ikut membaca, mencermati, atau meneliti karya yang dibincangkan. Kritik sastra hendaknya dengan bahasa kaum terdidik dengan semangat yang konstruktif.
Adapun langkah-langkah menulis kritik karya sastra, yaitu ;
Ø  Pertama, baca tuntas karya sastra yang hendak dikritik. Namun, sebelum membaca perlu diketahui bahwa kritik sastra bukanlah caci-maki tetapi kritik sastra adalah apresiasi atas satu (atau beberapa) karya sastra. Uraiannya bisa berupa deskripsi, analisis, atau komparatif. Agar dapat melakukan analisis yang konstruktif, diperlukan pula interpretasi atas unsur instrinsik yang membangun karya sastra tersebut. Sebelum memulai proses pembacaan atas sebuah karya, kita berkewajiban menghilangkan sikap suka atau tidak suka, membuang jauh-jauh prasangka dan syakwsangka, dan menyimpan pandangan apriori, yaitu semacam usaha menyimpulkan sesuatu, sebelum melakukan penelitian atau kajian atas obyeknya. Sementara sikap suka-tidak suka, prasangka dan syakwasangka akan menggelembungkan semangat besar subyeksivitas. Akibatnya, dari awal hingga akhir, tulisan itu akan ditaburi dengan ulasan (dan celotehan) subyektif, meski di sana begitu banyak gincu istilah-istilah keren. Jika ia suka dan punya kesan baik atas sebuah karya, pujiannya cenderung jatuh pada sanjung gombal; puja-puji berlebihan. Sebaliknya, jika ia tidak suka dan punya kesan buruk, kesimpulannnya cenderung menjadi caci-maki. Tugas kritik sastra mesti membongkar terjadinya banyak kesalahpahaman yang sumbernya tidak lain datang dari prasangka dan syakwasangka. Selanjutnya menjauhkan diri dari pemberhalaan pada teori-teori sastra. Jangan sampai ketika mengenal ilmu baru, kita memamerkan ilmu tersebut. Seharusnya teori yang mengikuti karya, dan bukan karya yang mengikuti teori. Oleh karena itu, ketika hendak memulai membaca karya sastra, pengetahuan teoritis yang sudah mendekam dalam tempurung kepala pembaca, sementara “singkirkan” dahulu. Biarkan proses pembacaan karya sastra berlangsung alamiah, mengalir wajar.
Ø  Kedua, jika dalam proses pembacaan itu, kita tidak dapat masuk menyatu dalam dunia yang digambarkan teks sastra yang bersangkutan, itu berarti terjadi hingar (noise). Terjadi rumpang, miskomunikasi, tulalit antara pembaca dan teks. Pembaca sering berhadapan dengan sebuah teks yang mungkin terlalu gelap, sukar dimengerti atau jumpalitan. Bagi puisi, problem itu menjadi sangat serius, lantaran puisi tak memberi ruang bagi penyair melakukan deskripsi panjang lebar. Puisi mengandalkan citraan memaksanya melakukan eksplorasi makna kata dalam membangun diksi atau majas (metafora, analogi, personifikasi, dan seterusnya). Penyair kadang terlalu asyik mengumbar imajinasinya, sehingga larik-larik puisinya laksana kotak besi. Sehingga pembaca dihadapkan pada kegagalan ketika berjuang keras menemukan isinya. Hingar juga bisa terjadi pada puisi yang terang benderang, jika pesannya terlalu gamblang, sehingga tidak diperlukan lagi penafsiran. Puisi propaganda lazimnya termasuk kategori yang terang-benderang. Pembaca tidak diajari untuk menafsir atau tidak diberi ruang untuk berpikir dan memanfaatkan imajinasinya guna menjelajahi konteksnya. Berbeda dengan puisi, novel atau cerpen memberi kesempatan kepada pengarangnya untuk menghadirkan narasi, sehingga pembaca punya banyak peluang untuk berjuang memahami pesannya. Dimulai dari kata yang membentuk kalimat, deretan kalimat yang menghadirkan peristiwa, dan rangkaian peristiwa yang membangun wacana, ditambah dengan dialog-dialog yang berfungsi memperkuat unsur instristik. Novelis dan cerpenis  biasanya juga secara piawai sengaja memberikan fisik dan psikis tokoh, atau peristiwa demi peristiwa tidak sekaligus, melainkan secara perlahan-lahan, sedikit demi sedikit. Dengan begitu, proses penokohan berikut perubahan karakternya, berlangsung secara wajar dan meyakinkan. Demikian juga, rangkaian peristiwa yang dihadirkan lewat konflik memperlihatkan sebuah proses yang logis dan terterima. Namun, jika menghadapi novel-novel atau cerpen yang menggambarkan peristiwa-peristiwa  absurd, dunia jumpalitan, dan kisah di dunia entah-berantah yang terkesan tumpang tindih, bertumpuk-tumpuk, dan simpang siur seolah-olah peristiwa yang satu dengan peristiwa yang lain sama sekali tak ada hubungannya. Langkah utama yang perlu dilakukan adalah baca saja dulu kalimat demi kalimat, nikmati peristiwa demi peristiwa sebagai sebuah dongeng, masuk dan berintegrasi dengan kehidupan yang dikisahkan dalam teks. Jika berhasil menyatu dan berpadu dengan teks, artinya kita sudah memasuki tahap sentuh estetik (aesthetic contact). Setelah membaca karya sastra, muncul sejumlah pertanyaan yang mengganggu intelektualitas dan rasa kemanusian pembaca. Sejumlah pertanyaan itu muncul lantaran karya itu menggoda pembaca untuk berpikir kritis. Itulah tahap yang disebut sentuh kritik (critical contact). Disinilah dimulai peristiwa kritik sastra : mempertanyakan banyak hal yang ditawarkan teks sastra.
Ø  Ketiga, tandailah dan catat bagian-bagian apa pun dari segenap unsur intrinsik yang pembaca anggap penting dan mengganggu pikiran. Jangan abaikan segala ungkapan, kalimat, atau peristiwa yang menarik perhatian yang terdapat dalam teks. Perhatikan dengan benar apa pun yang menonjol, khas, penting, meragukan, dan yang diduga sebagai sinyal-sinyal yang tampaknya digunakan pengarang atau penyair untuk membangun tema atau estetika teks yang bersangkutan. Di tahap ini, pembaca dituntut menjadi pembaca yang kritis (crtical reader). Menyusun semacam daftar pertanyaan tentang teks yang kelak pembaca jawab sendiri.
Ø  Keempat, untuk menulis kritik sastra, pembaca memahami secara lengkap karya tersebut. Artinya, tidak hanya mengetahui kelebihan dan kekurangan karya yang hendak dikritik melainkan juga memahami, di mana dan dalam hal apa kelebihan karya tersebut. Kelebihan itulah yang perlu diungkapkan lebih luas-dan mendalam-dibandingkan mengungkapkan kekurangannya. Penulis kritik karya sastra yang baik seyogyanya membaca karya tersebut sedikitnya dua kali. Tujuan pembacaan ulang terutama, guna menemukan hal lain-makna baru atau aspek lain-yang mungkin luput dalam proses pembacaan pertama.
Ø  Kelima, menandai dan mencatat hal-hal yang penting; membuat daftar pertanyaan tentang berbagai hal yang berkaitan dengan teks karya sastra yang bersangkutan; dan membaca ulang serta menambahkan beberapa hal yang mungkin luput. Karya sastra yang baik cenderung melahirkan teori (baru); karya sastra yang baik, akan melahirkan kritikus (yang baik). Jadi, jika karya itu tidak cocok dianalisis atas dasar pendekatan yang ada maka kita perlu punya keberanian untuk mencari pendekatan yang sesuai. Jika begitu, boleh jadi diperlukan disiplin ilmu lain sebagai alat bantu analisisnya. Inilah yang disebut kritik perspektif, yaitu mencari perspektif dan kemungkinan lain, ketika teori atau pendekatan tertentu tidak dapat atau tidak sesuai diterapkan pada sebuah karya.
Ø   Keenam, mencari teori-teori, pendekatan, atau gagasan dari disiplin ilmu lain yang kita anggap cocok-sesuai untuk menjawab sejumlah pertanyaan yang sebelumnya sudah pembaca  siapkan. Jika sudah menemukan teori, pendekatan, atau gagasan dari disiplin ilmu lain itu, jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu yang kelak bakal menjadi bahan analisis pembaca dalam mengungkapkan kekayaan teks yang diteliti. Pembaca mesti mengutip bagian-bagian teks yang diteliti dan coba menjelaskannya berdasarkan teori, pendekatan, atau disiplin ilmu lain.
Ø  Ketujuh, jika pilihan jatuh pada kritik sastra umum atau kritik apresiatif, langkah pertama yang perlu dilakukan adalah membuat semacam resume, sinopsis atau ikhtisar karya sastra (novel, antologi cerpen, atau kumpulan puisi) yang sudah dibaca. Jika novel, buatlah ikhtisarnya sekitar dua atau tiga paragraf pendek, jika antologi cerpen, deskripsikan ada beberapa cerpen yang dihimpun di sana dan buatlah gambaran umum tentang tema-temanya; demikian juga jika yang dipilih antologi puisi. Hindari pengungkapan tema (novel, cerpen, puisi) yang berkepanjangan. Deskripsi dimaksudkan agar pembaca memperoleh gambaran sedikit tentang karya sastra tersebut beserta isinya. Sertakan juga berbagai hal yang menarik, khas, dan menonjol sebagai isyarat tentang kelebihan karya tersebut.
Ø  Kedelapan, idealnya, praktik kritik sastra berisi empat hal berikut, yaitu deskripsi, analisis, interpretasi, dan evaluasi. Pada tahap deskripsi pembaca baru mencoba memperkenalkan karya itu sebagaimana adanya. Misalnya, data publikasi, posisi pengarang, muatan isi, dan gambaran umum tentang karya tersebut. Porsi uraian kira-kira 10-15 persen dari keseluruhan tulisan kritik sastra itu. Berikutnya adalah analisis, kadang disertai juga penafsiran. Kadangkala penafsiran mendahului analisis. Meskipun urutannya analisis dan kemudian penafsiran, dalam praktiknya keduanya bisa saling mendahului, karena sifatnya saling melengkapi, komplementer. Bagian analisis dan penafsiran mendapat porsi lebih banyak dibandingkan deskripsi dan penilaian. Adapun evaluasi atau penilaian biasanya bergantung pada semangat kritikus yang bersangkutan dalam memperlakukan teks. Karya-karya agung, tanpa penilaian sekalipun, akan tetap tampak keagungannya berdasarkan analisis dan penafsiran kritikus. Namun, ada juga sebagian kritikus yang memandang bahwa hakikat kritik sastra tidak lain adalah penilaian.
Ø  Kesembilan, guna memperkuat analisis dan penafsiran kritikus, gunakan kutipan teks sebagai alat bukti. Demikian juga argumentasi yang kritikus ungkapkan perlu juga menyertakan kutipan-kutipan, baik dari teks karya sastra, maupun dari sumber-sumber teori sastra, pendekatan yang digunakan, dan disiplin ilmu lain sebagai alat bantu mengungkapkan makna dan kekayaan teks.

Sumber : Mahayana, Maman S. Kitab Kritik Sastra. Yayasan Pustaka Obor Indonesia.                           Jakarta.2015