Ritual Panen Tebu Bapak
Siang
itu matahari bersinar lebih panas, angin yang berhembus kencang hanya
menerbangkan debu ke pekarangan rumahku, daun-daun yang telah meranggas dari
rantingya tertiup menyebar meninggalkan batang pohon kakao yang setahun lalu ditanam
bapak di sekitar rumah. “Buah Kakao harganya lebih mahal daripada tanaman tebu,”
Katanya sambil menyeka keringat yang menetes menghampiri bibir hitamnya.
“Trus,
kenapa kebun tebu tidak diganti saja dengan Kakao ?”
“Itu urusan bapak, kau tidak perlu tahu!”
“Aku
kan penerus bapak di keluarga kita.”
“Nanti kalau bapak telah mati, saat itu juga kau
bisa menggantinya tetapi tidak jika bapak masih hidup, tidak, tidak boleh.”
Akupun berlalu meninggalkannya yang masih sibuk
mencangkul tanah yang telah keras karena sudah sebulan hujan tidak turun di
desa kami.
Masih di siang itu, bapak tiba-tiba menggedor-gedor
pintu, hampir saja pintu kayu yang sudah rapuh dimakan rayap itu roboh
dibuatnya.
“Murni, cepat buka pintunya”
Dengan terpontang-panting, ibu bergegas membuka
pintuya.
“Ada apa bang ?” Tanya ibu sambil menatap wajah
bapak yang telah menghitam terbakar sengatan matahari dan wajahnya dipenuhi
keringat pesing khas petani yang baru pulang menggarap kebun.
Bapak terlihat tergesa-gesa mengambil sabit yang
sudah lama tersimpan di bawah kasurnya.
Ibu yang kaget melihat tingkah laku bapak yang aneh mencoba menghadangnya di pintu namun bapak
menabrak tubuh ibu sehingga dia hanya bisa terduduk melihat bapak hilang di
rimbunnya pepohonan.
“Kejar bapakmu itu nak, nanti dia pergi untuk
memenggal kepala orang” teriak ibu yang matanya telah terluka melihat bapak untuk
pertama kalinya berbuat sekasar itu.
Aku pun berlari tanpa menggunakan alas kaki di jalan
setapak berbatu mengikuti langkah bapak yang sangat cepat menghilang di
lebatnya kebun tebu. Namun, aku yang tadinya khawatir melihat tingkah laku
bapak menjadi agak tenang karena bapak hanya ke kebun tebu bukan mencari orang
yang kepalanya akan dipenggal dengan sekali sabetan.
Bapak membabat semua pohon tebu yang ada dikebunnya,
dia tidak memilih tebu masak yang telah siap panen atau tebu yang masih muda.
Semua batang tebuh dipatahkan dari akar-akarnya hanya dalam waktu yang singkat.
Saya yang berdiri di pinggiran kebun tebu hanya bisa melihat bapak meluapkan emosinya
di setiap pohon tebu yang ada di dekatnya. Dia bertindak seperti sedang
memenggal kepala tahanan yang di hukum mati di peperangan. Tiba-tiba lamunanku
terhenti ketika bapak sudah ada di hadapanku dan mendorong badanku yang kurus
ini untuk memunguti batang tebu yang telah meregang nyawa di sabit bapak.
“Cepat kumpulin tebu itu lalu bawa ke gudang
penggilingan”
“Iya bapak” jawabku sambil memunguti tebu.
Kulihat tubuhnya yang sudah renta itu dia hempaskan
ke tanah dengan nafas yang tersengal-sengal seperti manusia yang akan
kehilangan nafas. Matanya yang bulat kosong melihat sekeliling kebunnya telah
rata dengan tanah. Sesekali saya melihat dia meneteskan air mata yang telah
lama tidak tampak di wajah bapak yang menanggung derita karena hanya bekerja
sebagai petani tebu, lalu dia menyekanya dengan lengan baju yang telah dibasahi
keringat.
Entah setan apa yang merasuki bapak hari ini, dia tiba-tiba
memanen semua tebu walaupun yang belum masak. Pertanyaan itu terus menghantui
setiap langkah kaki menulusuri jalan yang menanjak menuju pabrik penggilingan
tebu bersama bapak yang berjalan tergontai-gontai seakan energinya telah
terkuras habis dikoyak oleh tebu yang memenuhi punggunnya.
“Bapak, biarkan ananda yang mengangkat semuanya”
“Tidak usah, bapak masih kuat.” Katanya dengan suara
yang telah bergetar.
Sesampainya di penggilingan bapak hanya meminum
segelas air putih lalu memulai untuk menggiling batang tebu satu per satu. Aku
kebagian tugas untuk mencacah tebu sedangkan bapak yang sedari tadi terlihat
sudah sangat lelah memerah tebu untuk memisahkan nira dan ampas. Nira mentah
yang sudah terkumpul lalu disaring kemudian di masak di atas wajan menggunakan tungku
api yang lebih tua daripada usia bapak. Sambil saya mengaduk-aduk gula yang
telah memerah, bapak menyiapkan cetakan bambu. Gula yang telah mengental lalu dituang
ke dalam cetakan.
Setelah
menunggu selama 15 menit gula merahnya telah mengeras. Bapak pun bergegas
mengambil keranjang untuk membawa semuanya pulang ke rumah. Walaupun bapak sudah
kehabisan energi, dia tetap bersikukuh untuk mengangkat keranjang sendirian.
Aku hanya bisa terdiam dan mengikuti
langkah bapak dari belakang dengan penuh kecemasan melihat kondisinya.
Ternyata bapak tidak pulang ke rumah melainkan berhenti
di tengah kerumunan warga desa yang berkumpul di lapangan menunggu kedatangan
bapak. Sesaat kemudian warga seperti tertiup oleh angin membentuk lingkaran,
aku dan bapak ada di tengah-tengahnya. Dengan teriakan seperti sedang
mengadakan ritual, bapak menumpahkan semua gula yang ada dikeranjang. Bapak
membakar kemenyan di sekitar gula yang berhamburan lalu dia menyiramkan bensin
di atas gula.
“Hidup gula impor!” teriak bapak yang diikuti oleh
seluruh warga desa.
Tubuh bapak pun roboh menghantam tanah yang telah
dipenuhi lelehan gula yang menjadi
sumber penghidupan keluarganya.