Selama ratusan tahun Inggris
sangatlah mudah diserang oleh suku lain. Namun, serangan terakhir mengubah
semuanya. Mereka adalah Normandia,
keturunan dari suku-suku Germanik yang
menyerang sebagian besar wilayah Perancis Utara pada awal abad ke-10. Ketika
raja Inggris, Edward The Confessor,
meninggal tanpa pewaris tahta pada tahun 1066, maka tahta Inggris menjadi
rebutan. Salah satu yang menuntut tahta ialah William, Duke Normandia di Perancis. Ia dengan balatentaranya
mendarat di pantai selatan Inggris, dan berhasil memperoleh kemenangan di Hastings. Pada akhir tahun 1066 William dinobatkan menjadi raja Inggris.
kemudian diberi gelar "The Conqueror"
(Sang Penakluk).
Dia mengumumkan setiap
inci tanah Inggris adalah miliknya. Kebanyakan tanah tersebut diberikan kepada
anak buahnya namun ditukar dengan kesetian penuh terhadap dia. Orang Inggris
yang mempertahankan tanahnya harus membeli tanah tersebut dari raja. Untuk
pengendalian kebijakannya, William
menyusun survei untuk setiap harta yang ada di kepulaun Inggris.
Kemudian dia mengusir
pemimpin-pemimpin Anglo-Saxon dan
menggantinya dengan orang-orangnya dan kaum ningrat Normandia ke Inggris untuk
menduduki tempat kaum ningrat Inggris yang sebagian besar juga telah mati
terbunuh dalam peperangan melawan balatentara Willliam.
Pada saat itu kebanyakan orang
Inggris adalah pelayan (serfs),
pelayan untuk bangsawan Normandia.
Mereka juga wajib untuk patuh, melaksanakan tugas tertentu, dan juga membayar
pajak. Selain itu, terdapat juga bagian yang penting dalam masyarakat, memiliki
jumlah yang banyak dan berpengaruh signifikan, yaitu pendeta (Clergy). Pemilik gereja memiliki
lahan-lahan yang sangat luas, dipelihara dengan sistem hukum sendiri, dan
memiliki pajak (tithes) tersendiri,
dan berkomunikasi langsung dengan pemimpin-pemimpin gereja di Roma dan kontinen
tanpa berkonsultasi dengan raja atau menteri-menteri.
Pada saat itu di dalam
masyarakat Inggris Normandia, William menggagas ada tiga bahasa yang digunakan.
Penguasa atau bangsawan Normandia, berbicara dan menulis dengan bahasa
Perancis. Sedangkan pendeta (Clergy) dan
pengikutnya mengguakan bahasa Latin dalam berbicara dan menulis. Masyarakat
biasa dan mereka yang menggantikan bangsawan Inggris tetap berbicara dengan
bahasa Anglo-Saxon.
Keadaan di atas berlangsung
sampai kira-kira pertngahan abad ke-13. Pada waktu itu timbullah sengketa dan
perpecahan antara kaum ningrat di Inggris dan kaum ningrat di Perancis, yang
berakibat hilangnya semua hak milik kaum ningrat Inggris di daratan Perancis.
Bahkan telah tumbuh pula suatu persaingan tajam antara Inggris dan Perancis
yang memuncak pada perang seratus tahun. Akibat semua ini terhadap keadaan
bahasa di Inggris ialah bahwa bahasa Perancis (Anglo-Normandia) yang digunakan kaum atasan di Inggris
lama-kelamaan luntur dan akhirnya lenyap, dan sejajar dengan itu pula semakin
luaslah penggunaan bahasa Inggris di kalangan atasan, sehingga dalam abad ke-14
bahasa Inggris pulih dalam kedudukannya semula sebagai bahasa tunggal di
Inggris. Namun, bahasa Inggris ini, yang disebut bahasa Inggris Pertengahan (Middle English), telah sangat berbeda
dengan bahasa Inggris kuno (Old English).
Sebagian besar kata-kata asli sudah lenyap dan digantikan oleh kata-kata
pinjaman dari Perancis. Juga tata bahasanya telah berubah karena kehilangan
besar infleksi-infleksinya, sehingga menjadi lebih menyerupai bahasa Inggris
Modern.
Kebanyakan kesusasteraan pada periode
pertengahan telah hilang. Apa yang bertahan memiliki bentuk dan isi yang
beragam dan memberitahu kita tentang hal-hal dalam periode pertengahan. Ada
beberapa karya sastra yang bertahan hingga saat ini, seperti sajak rakyat (Folk Ballads). Ini adalah lirik-lirik
lagu yang mungkin diciptakan oleh penyanyi-penyanyi (Minstrels) keturunan penyanyi (Scops)
pada masa Anglo-Saxon, yang masih
bertahan selama berabad-abad melalui mulut ke mulut (Word by Mouth). Tidak ada yang tahu kapan dan di mana mereka
membuatnya. Namun, sebagian besar telah disusun diantara tahun 1200-1500. Ada
beberapa macam alasan, mengapa sajak rakyat (Folk
Ballads) dapat bertahan, pertama penyanyi merasa bebas untuk mengubah
bagian-bagian sajak untuk menyesuaikan waktu, tempat, dan penontonnya. Kedua,
beberapa penyanyi akan mengubah bagian atau mengembangkan sajak-sajak sesuai
dengan kebutuhan penonton. Sajak rakyat tidak terikat dengan rumitnya alur (Plot), latar (Setting), atau tokoh (Character),
namun sajak rakyat (Folk Ballads) fokus
terhadap kemelut dari kegiatan yang mereka catat, dan bergantung pada
percakapan diantara tokoh-tokoh daripada narator. Temanya bersifat universal
yaitu, cinta (Love), kematian (Death), dendam (Revenge). Sehingga, mudah dimengerti dan diingat oleh penonton karena
pada saat itu mereka belum bisa menulis. Salah satu sajak yang terkenal ialah
sajak-sajak tentang “Robin Hood”.
Puisi
Karya-karya dalam bahasa
Inggris sudah pasti tidak mendapat “pasaran” di antara glongan atasan yang kaya
dan berkuasa. Para pencipta karya-karya itu karenanya tidak mendapatkan
insentif materiil tetapi mereka mendapatkan dorongan yang bersifat spiritual.
Mereka adalah rokhaniawan yang bekerja di tengah-tengah rakyat Inggris dan
karenanya harus menggunakan bahasa yang dipahami rakyat. Ciptaan mereka sudah
pasti bersifat keagamaan ataupun mendidik. Karya-karya berdasarkan Kitab Injil
antara lain adalah “Ormulum” (±1225).
Sedangkan “Ancren Riwle” berisi
nasehat-nasehat tentang cara hidup keagamaan. Selain itu terdapat cerita-cerita
fabel yang berisi pelajaran, misalnya “The
Owl and The Nightingle” (±1195), suatu
perdebatan antara dua ekor burung yang masing-masing mewakili hidup
berdasarkan hukum dan moral agama dan hidup bersenang-senang.
Suatu pengecualian ialah karya Layamon, juga seorang rokhaniawan,
berjudul “Brut” (±1200), yang tidak
bertema agama, melainkan sejarah. Karya Layamon
ini berdasarkan “Roman de Brut”
karangan Wace yang ditulis dalam bahasa
Perancis, dan menceritakan tentang “sejarah” Inggris, yang sesungguhnya lebih
merupakan legenda, di mana raja Arthur serta para satrianya memainkan peranan
penting.
Perpecahan antara kaum ningrat
di Inggris dengan Perancis dalam pertengahan abad ke-13 tercermin pula dalam
kesusasteraan Inggris. Jenis-jenis kesusasteraan yang biasanya ditulis dalam
bahasa Perancis, mulai diterjemahkan atau disadur ke dalam bahasa Inggris.
Jenis paling popular ialah yang disebut “Romance”.
Sebuah “Romance” adalah suatu cerita
tentang perbuatan-perbuatan dan kejadian-kejadian luar biasa yang kebanyakan
sesungguhnya tidak mungkin terjadi dalam penghidupan biasa. Cerita itu biasanya
bertema cinta, kesatriaan, dan agama, serta berkisar sekitar tokoh utama yang
menurut pandangan zaman itu bersifat sempurna, ialah berani, bermoral bersih,
mempunyai rasa hormat kepada wanita, suka menolong kaum lemah, serta setia pada
kawan-kawannya dan atasan-atasannya. Cerita-cerita “Romance” diambil dari Perancis, misalnya “Chanson de Roland” yang mengisahkan kepahlawanan Roland dalam pertempurannya terakhir
melawan orang-orang Saracen di Ronceval. Ada juga yang diambil dari
Yunani dan Romawi, misalnya yang menceritakan tentang kehebatan Iskandar (Alexander). Cerita-cerita dari Inggris
sendiri pun banyak, dan yang paling terkenal adalah cerita-cerita tentang raja Arthur dan satria-satrianya.
Cerita-cerita Arthur ini sesungguhnya
berasal dari orang-orang Kelt (Celtic),
tetapi bentuk kesusasteraannya diberikan oleh penyair Perancis, kemudian
diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Yang paling digemari antara
cerita-cerita Arthur ini ialah “Sir Gawain and The Green Knight”, tidak
saja karena ceritanya, tetapi juga karena bahasanya yang indah. Penyairnya
tidak dikenal, tetapi sudah pasti bahwa ia adalah penyair terbesar zaman itu,
hal mana juga terbukti dalam sajak-sajak ciptaannya yang lain, ialah “Cleanness”, “Patience”, dan “The Pearl”.
Yang terakhir ini adalah sebuah lirik yang sangat humanis dan realistis yang
mengungkapkan kesedihan seorang ayah pada waktu anak perempuannya meninggal.
Pulihnya kembali bahasa Inggris
sebagai bahasa tunggal di Inggris dalam abad ke-14 menyebabkan berkembangnya
suatu kesusasteraan yang merupakan puncak prestasi literer Inggris dalam zaman
pertengahan. Sastrawan utama waktu ialah Geoffrey
Chaucer (±1340-1400) yang menulis sejumlah besar sajak cerita antara lain “Troilus and Criseyde”, sebuah kisah
cinta yang sangat popular dalam zaman pertengahan. Dia tumbuh bersamaan dengan
kemakmuran dan pengaruh Inggris. Chaucer dilatih
di istana dan dekat denga orang-orang cerdas dan berpengaruh pada zamannya. Dia
juga diberikan izin untuk melakukan perjalanan ke seluruh Eropa dan belajar
tentang kesusasteraan Perancis dan Italia. Karyanya yang terbesar adalah “Catenbury Tales”, yang dengan realistis
dan penuh nada humor memberikan kepada kita gambaran tentang tipe-tipe orang
yang ada dalam masyarakat waktu itu, dari seorang sarjana dari Oxford sampai
petani sederhana. Suatu hal baru yang terdapat dalam sajak Chaucer ini ialah realisme.
Bagi mereka mempelajari syair ini akan mengagumi bentuk-bentuk sastra saat itu,
sementara pendengar awam bisa menikmati komedi (comedy), petualangan (adventure)
dan rasa sedih atau penderitaan (pathos).
Hingga saat itu kesusasteraan Inggris biasanya berkisar sekitar:
pahlawan-pahlawan ataupun orang-orang luar biasa yang semuanya bergerak dalam
dunia khayalan. Tokoh-tokoh Chaucer
dalam “Catenbury Tales” ini adalah
orang-orang biasa sebagaimana adanya yang hidup dalam masyarakat biasa pula.
Penyair kenamaan lainnya ialah William Langland (lahir 1332) yang
antara lain menulis “Piers Plowman”,
yaitu sebuah alegori sosial yang memberikan tekanan pada kerja keras dan
kejujuran. Sajak ini terutama ditujukan kepada rakyat jelata, dan tidak untuk
menghibur golongan-golongan atasan seperti kebanyakan sajak pada waktu itu.
Prosa
Minat kepada rakyat kecil ditemukan
pula pada diri John Wyclif (±1324-1348),
ialah seorang pemimpin agama dan seorang sarjana, yang terkenal sebagai
penerjemah Kitab Injil. Terjemahan ini tidak saja mempunyai pengaruh yang luas
dalam segi moral tetapi juga dalam segi bahasa. Jhon Wyclif adalah seorang prosaik ulung, dan melalui terjemahannya
itu tersebarlah gaya bahasa prosanya ke seluruh negeri sehingga sangat membantu
dalam pembentukan bahasa Inggris standar. Pembentukan bahasa standar ini-pun
dibantu oleh sebuah prosa yang sangat baik gaya bahasanya dan yang sangat populer
pada waktu itu, ialah “Voyage and Travail
of Sir Jhon Maundeville” atau lebih terkenal dengan judul “Mandeville’s Travels”, yaitu sebuah
kisah perjalanan ke berbagai negeri yang aslinya ditulis dalam bahasa Perancis.
Pengaruh Perancis
Suatu hal yang perlu disebut
mengenai perkembangan kesusasteraan Inggris dalam Zaman Pertengahan ini ialah
pengaruh Perancis. Pengaruh Perancis tidak saja terlihat dalam bahasanya, yang
meminjam ribuan kata Perancis, dan jenis kesusasteraannya, misalnya “Romance” tetapi juga pada suasana, gaya
serta bentuk. Di antara sifat-sifat yang menonjol dari kesusasteraan Perancis
pada Zaman Pertengahan itu ialah suasananya yang cerah, gaya bahasanya yang
terus terang dan sederhana, serta bentuk-bentuk sajaknya yang beraneka ragam.
Sifat-sifat ini tidak terdapat pada kesusasteraan Inggris kuno yang selalu
bernuansa suram, mempunyai gaya bahasa yang “berat” dan rumit, dan yang bentuk
sajaknya hanya terbatas pada aliterasi. Sifat-sifat Inggris kuno ini hampir tidak
dapat kita jumpai lagi dalam kesusasteraan Inggris Pertengahan, tetapi
sebaliknya sifat-sifat Perancis di atas dapat kita rasakan dan lihat dengan
jelas, lebih-lebih dalam karya-karya Chaucer.
Drama
Satu jenis kesusasteraan yang
mulai tampak di Inggris dalam zaman pertengahan itu ialah drama. Drama
mula-mula tumbuh di dalam gereja sebagai medium yang digunakan para rokhaniawan
untuk lebih memberikan kejelasan kepada khotbah-khotbah mereka. Khotbah-khotbah
pada waktu itu diberikan dalam bahasa Latin yang tidak dipahami oleh sebagian
besar umat. Maka pada kesempatan-kesempatan tertetu para rokhaniawan itu
mempertunjukkan petikan-petikan dari kehidupan Kristus atau adegan-adegan dari
Kitab Injil. Misalnya, pada hari Natal dipertunjukkan lakon kelahiran Kristus,
sedangkan pada hari Paskah disajikan cerita penyaliban dan kebangkitan kembali.
Pertunjukan-pertunjukan ini dilangsungkan di dalam gereja, dan para pelakunya
adalah rokhaniawan sendiri. Bahasa Latin yang masih digunakan dalam pertunjukan-pertunjukan
itu berangsur-angsur diganti dengan bahasa Inggris. Juga lambat laun cerita-ceritanya
semakin berkembang dan memerlukan lebih banyak pelaku, sehingga ruang gereja
tidak lagi dapat menampung. Maka pertunjukan-pertunjukan itu dipindahkan ke
tanah lapang gereja dan ke jalanan. Dengan dipindahkannya tempat pertujukan itu,
maka orang-orang awam-pun ikut bermain, walaupun pimpinan masih dipegang oleh
gereja. Kemudian timbullah tendensi-tendensi sekuler yang mula-mula berupa
adegan-adegan lucu yang digunakan sebagai selingan lakon-lakon keagamaan yang “berat”. Kadang-kadang pertunjukan-pertunjukan itu
diselenggarakan oleh serikat-serikat
pengusaha (Guilds), tetapi masih tetap diawasi oleh gereja. Drama yang
dipertunjukkan ada dua macam. Yang pertama ialah “Miracles” yang melakonkan kehidupan orang-orang suci (Saints), sedangkan yang kedua disebut “Mysteries” yang mengambil tema-tema
dari Kitab Injil. Pertunjukan-pertujukan drama seperti diuraikan di atas
terdapat di seluruh Inggris sejak abad ke-13.