Selama ratusan tahun Inggris sangatlah mudah diserang oleh suku lain. Namun, serangan terakhir mengubah semuanya. Mereka adalah Normandia, keturunan dari suku-suku Germanik yang menyerang sebagian besar wilayah Perancis Utara pada awal abad ke-10. Ketika raja Inggris, Edward The Confessor, meninggal tanpa pewaris tahta pada tahun 1066, maka tahta Inggris menjadi rebutan. Salah satu yang menuntut tahta ialah William, Duke Normandia di Perancis. Ia dengan balatentaranya mendarat di pantai selatan Inggris, dan berhasil memperoleh kemenangan di Hastings. Pada akhir tahun 1066 William dinobatkan menjadi raja Inggris. kemudian diberi gelar "The Conqueror" (Sang Penakluk).
 Dia mengumumkan setiap inci tanah Inggris adalah miliknya. Kebanyakan tanah tersebut diberikan kepada anak buahnya namun ditukar dengan kesetian penuh terhadap dia. Orang Inggris yang mempertahankan tanahnya harus membeli tanah tersebut dari raja. Untuk pengendalian kebijakannya, William menyusun survei untuk setiap harta yang ada di kepulaun Inggris.
Kemudian dia mengusir pemimpin-pemimpin Anglo-Saxon dan menggantinya dengan orang-orangnya dan kaum ningrat Normandia ke Inggris untuk menduduki tempat kaum ningrat Inggris yang sebagian besar juga telah mati terbunuh dalam peperangan melawan balatentara Willliam.
Pada saat itu kebanyakan orang Inggris adalah pelayan (serfs), pelayan untuk bangsawan Normandia. Mereka juga wajib untuk patuh, melaksanakan tugas tertentu, dan juga membayar pajak. Selain itu, terdapat juga bagian yang penting dalam masyarakat, memiliki jumlah yang banyak dan berpengaruh signifikan, yaitu pendeta (Clergy). Pemilik gereja memiliki lahan-lahan yang sangat luas, dipelihara dengan sistem hukum sendiri, dan memiliki pajak (tithes) tersendiri, dan berkomunikasi langsung dengan pemimpin-pemimpin gereja di Roma dan kontinen tanpa berkonsultasi dengan raja atau menteri-menteri.
Pada saat itu di dalam masyarakat Inggris Normandia, William menggagas ada tiga bahasa yang digunakan. Penguasa atau bangsawan Normandia, berbicara dan menulis dengan bahasa Perancis. Sedangkan pendeta (Clergy) dan pengikutnya mengguakan bahasa Latin dalam berbicara dan menulis. Masyarakat biasa dan mereka yang menggantikan bangsawan Inggris tetap berbicara dengan bahasa Anglo-Saxon.
Keadaan di atas berlangsung sampai kira-kira pertngahan abad ke-13. Pada waktu itu timbullah sengketa dan perpecahan antara kaum ningrat di Inggris dan kaum ningrat di Perancis, yang berakibat hilangnya semua hak milik kaum ningrat Inggris di daratan Perancis. Bahkan telah tumbuh pula suatu persaingan tajam antara Inggris dan Perancis yang memuncak pada perang seratus tahun. Akibat semua ini terhadap keadaan bahasa di Inggris ialah bahwa bahasa Perancis (Anglo-Normandia) yang digunakan kaum atasan di Inggris lama-kelamaan luntur dan akhirnya lenyap, dan sejajar dengan itu pula semakin luaslah penggunaan bahasa Inggris di kalangan atasan, sehingga dalam abad ke-14 bahasa Inggris pulih dalam kedudukannya semula sebagai bahasa tunggal di Inggris. Namun, bahasa Inggris ini, yang disebut bahasa Inggris Pertengahan (Middle English), telah sangat berbeda dengan bahasa Inggris kuno (Old English). Sebagian besar kata-kata asli sudah lenyap dan digantikan oleh kata-kata pinjaman dari Perancis. Juga tata bahasanya telah berubah karena kehilangan besar infleksi-infleksinya, sehingga menjadi lebih menyerupai bahasa Inggris Modern.
Kebanyakan kesusasteraan pada periode pertengahan telah hilang. Apa yang bertahan memiliki bentuk dan isi yang beragam dan memberitahu kita tentang hal-hal dalam periode pertengahan. Ada beberapa karya sastra yang bertahan hingga saat ini, seperti sajak rakyat (Folk Ballads). Ini adalah lirik-lirik lagu yang mungkin diciptakan oleh penyanyi-penyanyi (Minstrels) keturunan penyanyi (Scops) pada masa Anglo-Saxon, yang masih bertahan selama berabad-abad melalui mulut ke mulut (Word by Mouth). Tidak ada yang tahu kapan dan di mana mereka membuatnya. Namun, sebagian besar telah disusun diantara tahun 1200-1500. Ada beberapa macam alasan, mengapa sajak rakyat (Folk Ballads) dapat bertahan, pertama penyanyi merasa bebas untuk mengubah bagian-bagian sajak untuk menyesuaikan waktu, tempat, dan penontonnya. Kedua, beberapa penyanyi akan mengubah bagian atau mengembangkan sajak-sajak sesuai dengan kebutuhan penonton. Sajak rakyat tidak terikat dengan rumitnya alur (Plot), latar (Setting), atau tokoh (Character), namun sajak rakyat (Folk Ballads) fokus terhadap kemelut dari kegiatan yang mereka catat, dan bergantung pada percakapan diantara tokoh-tokoh daripada narator. Temanya bersifat universal yaitu, cinta (Love), kematian (Death), dendam (Revenge). Sehingga, mudah dimengerti dan diingat oleh penonton karena pada saat itu mereka belum bisa menulis. Salah satu sajak yang terkenal ialah sajak-sajak tentang “Robin Hood”.
Puisi
Karya-karya dalam bahasa Inggris sudah pasti tidak mendapat “pasaran” di antara glongan atasan yang kaya dan berkuasa. Para pencipta karya-karya itu karenanya tidak mendapatkan insentif materiil tetapi mereka mendapatkan dorongan yang bersifat spiritual. Mereka adalah rokhaniawan yang bekerja di tengah-tengah rakyat Inggris dan karenanya harus menggunakan bahasa yang dipahami rakyat. Ciptaan mereka sudah pasti bersifat keagamaan ataupun mendidik. Karya-karya berdasarkan Kitab Injil antara lain adalah “Ormulum” (±1225). Sedangkan “Ancren Riwle” berisi nasehat-nasehat tentang cara hidup keagamaan. Selain itu terdapat cerita-cerita fabel yang berisi pelajaran, misalnya “The Owl and The Nightingle” (±1195), suatu  perdebatan antara dua ekor burung yang masing-masing mewakili hidup berdasarkan hukum dan moral agama dan hidup bersenang-senang.
Suatu pengecualian ialah karya Layamon, juga seorang rokhaniawan, berjudul “Brut” (±1200), yang tidak bertema agama, melainkan sejarah. Karya Layamon ini berdasarkan “Roman de Brut” karangan Wace yang ditulis dalam bahasa Perancis, dan menceritakan tentang “sejarah” Inggris, yang sesungguhnya lebih merupakan legenda, di mana raja Arthur serta para satrianya memainkan peranan penting.
Perpecahan antara kaum ningrat di Inggris dengan Perancis dalam pertengahan abad ke-13 tercermin pula dalam kesusasteraan Inggris. Jenis-jenis kesusasteraan yang biasanya ditulis dalam bahasa Perancis, mulai diterjemahkan atau disadur ke dalam bahasa Inggris. Jenis paling popular ialah yang disebut “Romance”. Sebuah “Romance” adalah suatu cerita tentang perbuatan-perbuatan dan kejadian-kejadian luar biasa yang kebanyakan sesungguhnya tidak mungkin terjadi dalam penghidupan biasa. Cerita itu biasanya bertema cinta, kesatriaan, dan agama, serta berkisar sekitar tokoh utama yang menurut pandangan zaman itu bersifat sempurna, ialah berani, bermoral bersih, mempunyai rasa hormat kepada wanita, suka menolong kaum lemah, serta setia pada kawan-kawannya dan atasan-atasannya. Cerita-cerita “Romance” diambil dari Perancis, misalnya “Chanson de Roland” yang mengisahkan kepahlawanan Roland dalam pertempurannya terakhir melawan orang-orang Saracen di Ronceval. Ada juga yang diambil dari Yunani dan Romawi, misalnya yang menceritakan tentang kehebatan Iskandar (Alexander). Cerita-cerita dari Inggris sendiri pun banyak, dan yang paling terkenal adalah cerita-cerita tentang raja Arthur dan satria-satrianya. Cerita-cerita Arthur ini sesungguhnya berasal dari orang-orang Kelt (Celtic), tetapi bentuk kesusasteraannya diberikan oleh penyair Perancis, kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Yang paling digemari antara cerita-cerita Arthur ini ialah “Sir Gawain and The Green Knight”, tidak saja karena ceritanya, tetapi juga karena bahasanya yang indah. Penyairnya tidak dikenal, tetapi sudah pasti bahwa ia adalah penyair terbesar zaman itu, hal mana juga terbukti dalam sajak-sajak ciptaannya yang lain, ialah “Cleanness”, “Patience”, dan “The Pearl”. Yang terakhir ini adalah sebuah lirik yang sangat humanis dan realistis yang mengungkapkan kesedihan seorang ayah pada waktu anak perempuannya meninggal.
Pulihnya kembali bahasa Inggris sebagai bahasa tunggal di Inggris dalam abad ke-14 menyebabkan berkembangnya suatu kesusasteraan yang merupakan puncak prestasi literer Inggris dalam zaman pertengahan. Sastrawan utama waktu ialah Geoffrey Chaucer (±1340-1400) yang menulis sejumlah besar sajak cerita antara lain “Troilus and Criseyde”, sebuah kisah cinta yang sangat popular dalam zaman pertengahan. Dia tumbuh bersamaan dengan kemakmuran dan pengaruh Inggris. Chaucer dilatih di istana dan dekat denga orang-orang cerdas dan berpengaruh pada zamannya. Dia juga diberikan izin untuk melakukan perjalanan ke seluruh Eropa dan belajar tentang kesusasteraan Perancis dan Italia. Karyanya yang terbesar adalah “Catenbury Tales”, yang dengan realistis dan penuh nada humor memberikan kepada kita gambaran tentang tipe-tipe orang yang ada dalam masyarakat waktu itu, dari seorang sarjana dari Oxford sampai petani sederhana. Suatu hal baru yang terdapat dalam sajak Chaucer ini ialah realisme. Bagi mereka mempelajari syair ini akan mengagumi bentuk-bentuk sastra saat itu, sementara pendengar awam bisa menikmati komedi (comedy), petualangan (adventure) dan rasa sedih atau penderitaan (pathos). Hingga saat itu kesusasteraan Inggris biasanya berkisar sekitar: pahlawan-pahlawan ataupun orang-orang luar biasa yang semuanya bergerak dalam dunia khayalan. Tokoh-tokoh Chaucer dalam “Catenbury Tales” ini adalah orang-orang biasa sebagaimana adanya yang hidup dalam masyarakat biasa pula.
Penyair kenamaan lainnya ialah William Langland (lahir 1332) yang antara lain menulis “Piers Plowman”, yaitu sebuah alegori sosial yang memberikan tekanan pada kerja keras dan kejujuran. Sajak ini terutama ditujukan kepada rakyat jelata, dan tidak untuk menghibur golongan-golongan atasan seperti kebanyakan sajak pada waktu itu.
Prosa
Minat kepada rakyat kecil ditemukan pula pada diri John Wyclif (±1324-1348), ialah seorang pemimpin agama dan seorang sarjana, yang terkenal sebagai penerjemah Kitab Injil. Terjemahan ini tidak saja mempunyai pengaruh yang luas dalam segi moral tetapi juga dalam segi bahasa. Jhon Wyclif adalah seorang prosaik ulung, dan melalui terjemahannya itu tersebarlah gaya bahasa prosanya ke seluruh negeri sehingga sangat membantu dalam pembentukan bahasa Inggris standar. Pembentukan bahasa standar ini-pun dibantu oleh sebuah prosa yang sangat baik gaya bahasanya dan yang sangat populer pada waktu itu, ialah “Voyage and Travail of Sir Jhon Maundeville” atau lebih terkenal dengan judul “Mandeville’s Travels”, yaitu sebuah kisah perjalanan ke berbagai negeri yang aslinya ditulis dalam bahasa Perancis.
Pengaruh Perancis
Suatu hal yang perlu disebut mengenai perkembangan kesusasteraan Inggris dalam Zaman Pertengahan ini ialah pengaruh Perancis. Pengaruh Perancis tidak saja terlihat dalam bahasanya, yang meminjam ribuan kata Perancis, dan jenis kesusasteraannya, misalnya “Romance” tetapi juga pada suasana, gaya serta bentuk. Di antara sifat-sifat yang menonjol dari kesusasteraan Perancis pada Zaman Pertengahan itu ialah suasananya yang cerah, gaya bahasanya yang terus terang dan sederhana, serta bentuk-bentuk sajaknya yang beraneka ragam. Sifat-sifat ini tidak terdapat pada kesusasteraan Inggris kuno yang selalu bernuansa suram, mempunyai gaya bahasa yang “berat” dan rumit, dan yang bentuk sajaknya hanya terbatas pada aliterasi. Sifat-sifat Inggris kuno ini hampir tidak dapat kita jumpai lagi dalam kesusasteraan Inggris Pertengahan, tetapi sebaliknya sifat-sifat Perancis di atas dapat kita rasakan dan lihat dengan jelas, lebih-lebih dalam karya-karya Chaucer.
Drama
Satu jenis kesusasteraan yang mulai tampak di Inggris dalam zaman pertengahan itu ialah drama. Drama mula-mula tumbuh di dalam gereja sebagai medium yang digunakan para rokhaniawan untuk lebih memberikan kejelasan kepada khotbah-khotbah mereka. Khotbah-khotbah pada waktu itu diberikan dalam bahasa Latin yang tidak dipahami oleh sebagian besar umat. Maka pada kesempatan-kesempatan tertetu para rokhaniawan itu mempertunjukkan petikan-petikan dari kehidupan Kristus atau adegan-adegan dari Kitab Injil. Misalnya, pada hari Natal dipertunjukkan lakon kelahiran Kristus, sedangkan pada hari Paskah disajikan cerita penyaliban dan kebangkitan kembali. Pertunjukan-pertunjukan ini dilangsungkan di dalam gereja, dan para pelakunya adalah rokhaniawan sendiri. Bahasa Latin yang masih digunakan dalam pertunjukan-pertunjukan itu berangsur-angsur diganti dengan bahasa Inggris. Juga lambat laun cerita-ceritanya semakin berkembang dan memerlukan lebih banyak pelaku, sehingga ruang gereja tidak lagi dapat menampung. Maka pertunjukan-pertunjukan itu dipindahkan ke tanah lapang gereja dan ke jalanan. Dengan dipindahkannya tempat pertujukan itu, maka orang-orang awam-pun ikut bermain, walaupun pimpinan masih dipegang oleh gereja. Kemudian timbullah tendensi-tendensi sekuler yang mula-mula berupa adegan-adegan lucu yang digunakan sebagai selingan lakon-lakon keagamaan yang “berat”.  Kadang-kadang pertunjukan-pertunjukan itu diselenggarakan oleh serikat-serikat  pengusaha (Guilds), tetapi masih tetap diawasi oleh gereja. Drama yang dipertunjukkan ada dua macam. Yang pertama ialah “Miracles” yang melakonkan kehidupan orang-orang suci (Saints), sedangkan yang kedua disebut “Mysteries” yang mengambil tema-tema dari Kitab Injil. Pertunjukan-pertujukan drama seperti diuraikan di atas terdapat di seluruh Inggris sejak abad ke-13.
Dia adalah seorang laki-laki yang hampir berumur 50 tahunan. Memakai kacamata minus yang berbentuk kotak, gagangnya yang hitam melingkari kelopak matanya yang cukup sipit untuk ukuran orang Indonesia hingga bersandar di atas telinganya. Tiba-tiba dia datang dan duduk berhadapan dengan saya di warung kopi yang sudah sesak. Dia terlihat menghisap rokoknya dalam-dalam lalu menghembuskan sisa pembakarannya ke udara yang telah disesaki dengan asap polusi kendaraan. Tangannya silih berganti memegang batang rokok sebesar paku beton yang dia hisap, ada guratan kegelisahan di setiap gerakan ketika memindakan batang rokoknya ataupun sekedar gerakan badanya. Dia hanya terdiam melihat keadaan disekelilingnya yang sibuk dengan kehidupan masing-masing di depan laptop, itulah keadaan mereka yang hidup di dunia yang tanpa batas ini. Dia ingin berbicara tetapi tak ada yang menegurnya dan mungkin dia malu untuk menegur pertama karena adat yang menciptakan aturan konyol, seharusnya mereka yang lebih muda menyapa yang lebih tua dahulu. Rokoknya sudah hampir bergumul dengan bibirnya tetapi dia tetap saja mengisapnya dalam-dalam. Sepertinya dia ingin merasakan sensasi berciuman dengan ujung api rokok. Di telinganya ada benda yang sangat mudah diperoleh di zaman yang serba modern, alat yang membuat kalian tidak akan mendengar suara selain kemauan kalian, suara yang hanya kalian yang mendengarnya. Untuk lelaki seumurannya alat secanggih itu kelihatan aneh menggantung di telinganya. Mungkin ketika dia remaja dahulu, dia tak pernah menjumpai alat semacam itu walaupun Walkman pernah populer tetapi umurnya kelihatan lebih tua daripada musim Walkman. Matanya liar melihat ke sekeliling warung kopi, seperti mencari sesuatu yang dia tidak pernah dapatkan selain di tempat ini. Sekarang dia mulai mengisap batang kedua, dengan isapan yang lebih halus dan lebih bermartabat daripada isapan batang rokok pertama, dia terlihat lebih tenang daripada saat pertama datang. Mungkin inilah disebut seseorang memang harus beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya dahulu. Sesekali dia melihat jamnya, mungkin dia kesini untuk membunuh waktu atau berjumpa dengan kawan lama atau yang paling pahit bagi keluarganya dia ingin berkasih dengan seorang wanita. Kopi susunya hanya tinggal setengah mungkin hanya cukup untuk dua kali tegukan. Tatapannya sangat tajam tetapi penuh dengan kegelisahan yang hanya dia dan penciptanya yang tahu. Untuk lelaki seusianya mungkin kegelisahannya meliputi urusan keluarga ataupu pekerjaan atau seperti masalah seluruh orang di dunia yaitu, uang. Rokok kedua lebih lama habis karena tanganya lebih lama memegang batang rokok sambil melihat sekeliling daripada menjejalnya menghisapnya. Dia masih tanpa suara, mungkin dia bisu atau dia tidak memang sudah lupa untuk bersuara. Di batang ketiga dia telah berhasil membunuh waktu walaupun luka bakar di jari telunjuk dan tengahnya akan dia bawa hingga bercumbu dengan istri atau kekasih gelapnya atau mungkin berakhir sebagai pecandu masturbasi.
     Britania sebagai tempat pertama kali disebut oleh penulis-penulis Yunani Kuno. Oleh orang Yunani, Britain merupakan tempat yang terpencil dan misterius. Orang Romawi yang menemukan pulau tersebut dihuni oleh suku Celtic Britons, yang memiliki hubungan dengan orang-orang Celtic di Eropa Barat yang telah ditaklukkan orang Romawi. Pada abad ke 5 ketika Kekaisaran Romawi runtuh, kemudian mereka meninggalkan orang-orang Celtic.
    Orang-orang Celtic yang telah terbiasa dilindungi oleh tentara Romawi tidak mampu mempertahankan  diri dari berbagai serangan musuh terutama suku-suku Jerman dari wilayah laut utara. Suku-suku bangsa ini adalah Jutes, Angles, dan Saxons. Mereka inilah nenek moyang sebagian besar orang Inggris sekarang. Bahasa mereka adalah bahasa Inggris kuno yang juga disebut Anglo-Saxon. Bahasa ini kemudian tumbuh menjadi bahasa Inggris Pertengahan (1100-1500) dan akhirnya bahasa Inggris Modern (1500-sekarang).
     Ketika suku Anglo-Saxon datang ke Inggris, mereka membawa masyarakat yang lebih terorganisir disekitar keluarga (The Family), marga (The Clan), suku (The tribe), dan terakhir kerajaan (The Kingdom). Strata sosial pada suku Anglo-Saxon terbagi atas dua, yaitu The eorls adalah kelas yang berkuasa, dan The ceorls adalah budak yang nenek moyangnya merupakan mantan tawanan suku. Walaupun raja dianggap sebagai penguasa yang mutlak, raja sangat bergantung pada nasehat dari dewan (council) yang disebut The witan (wise man). Contohnya sebelum King Edwin berubah menjadi pengikut ajaran agama Kristen dia berkonsultasi dahulu dengan witan.
     Pusat kehidupan sosial suku Anglo-Saxon adalah di Mead Hall. Sebagai bagian dari perayaan di Mead Hall, di sana ada penyanyi atau penyair profesional yang disebut scops, yang menghibur dengan menceritakan kisah-kisah keberanian pahlawan dan melayani sebagai penyair penduduk dan penulis sejarah raja dan suku-sukunya. Dia bertanggungjawab untuk melestarika kesusasteraan seumur hidupnya hingga pendeta di gereja Kristen datang ke Inggris.
     Hingga akhir abad ke 6, suku Anglo-Saxon menyembah bermacam-macam dewa (pagan gods).
Hingga akhirnya datanglah misionaris Augustine yang dikirim oleh King Ethelbert dari Kent 597. Sejak itu ajaran kristen menyebar kesuluruh wilayah Inggris. Bersama dengan menyebarnya ajaran Kristen, misionaris membawa pendidikan dan kebudayaan. Sekolah-sekolah berdiri seperti halnya biara-biara mulai dibangun. Pemuda suku Anglo-Saxon tidak hanya belajar kitab injil (Scriptures) tetapi juga Roman Virgil dan Ancient Greeks (Yunani Kuno). Kedatangan ajaran kristen memiliki pengaruh nyata terhadap kesusasteraan. sebagai biarawan di biara, mereka juga mencatat puisi/syair yang telah diwariskan secara lisan dari generasi ke generasi oleh penyair di Mead Hall. 
     Kesusasteraan Inggris kuno dapat dibagi menjadi dua bagian. golongan pertama ialah kesusasteraan yang dibawa oleh suku-suku Germanik yang berbentuk lisan. Golongan ini masih menunjukkan unsur- unsur pagan yang kuat. Karya terbesar dalam kesusasteraan Inggris kuno ialah "Beowulf". Karya ini adalah sajak yang terdiri atas 3000 baris dan termasuk jenis epik rakyat, yaitu sebuah cerita kepahlawanan yang lama hidup dikalangan rakyat dan yang penciptanya tidak diketahui lagi. Sajak ini adalah sebuah cerita mengenai pengalaman-pengalaman serta tidakan-tindakan herois seorang pahlawan muda bernama Beowulf. Ia mengalahkan dan membunuh suatu makhluk dahsyat, penghuni rawa-rawa pantai, bernama Grendel yang telah membuat tidak aman negeri King Hrothgar. Bertahun-tahun kemudian Beowulf sendiri terbunuh dalam perjuangannya menyelamatkan negerinya dari musuh yang sama dahsyatnya, ialah seekor ular naga bernafaskan api.
     Bagi seorang pembeca zaman sekarang cerita sajak ini terasa mustahil. Namun sifat sang pahlawan, kondisi-kondisi sosial yang digambarkan, serta pelukisan motif-motif dan ideal-ideal yang menggerakkan orang-orang Germanik itu, membuat sajak ini sangat berharga sebagai refleksi hidup zaman itu. Hidup pada masa itu seperti yang dilukiskan dalam "Beowulf" sangat tidak mudah dan memerlukan ketahanan fisik, keberanian yang taktergoyahkan, kesadaran akan kewajiban, kesetian, serta rasa hormat diri.
     Pada umunya sajak-sajak Anglo-Saxon merupakn ekspresi perasaaan orang-orang Germanik terhadap hal-hal yang menyentuh jiwa mereka seperti, perang, laut yang dahsyat tetapi mempesona, reruntuhan sebuah kota, hidup sebagai buangan, dan penghidupan seorang penyanyi (minstrel). 
       "The battle of Maldon" dan "The battle of Brunanburgh, misalnya melukiskan dengan penuh rasa patriotis pertempuran-pertempuran yang dilakukan oleh orang-orang Anglo-Saxon yang herois baik dalam kemenangan maupun kekalahan. Kedua karya epik ini menceritakan kembali perang antara English  dan Viking Danes. "The Seafarer" merupakan suatu monolog dimana penyairnya melukiskan bahaya-bahaya serta kesukaran-kesukaran di lautan, namun ia selalu ingin kembali melawan tantangan-tantangan itu. Dalam "The Ruin" penyair merenungkan reruntuhan sebuah kota yang dahulu pernah makmur dan mengesankan, tetapi sekarang tinggal puing-puing yang tragis. "Deor" adalah salah satu sajak tentang seorang penyanyi (minstrel) yang selama bertahun-tahun menghamba kepada tuannya, tetapi sekarang dibuang karena sudah menjadi cara hidup mereka. Pada umumnya puisi mereka bernada serius dan muram. 
      Golongan kedua kesusasteraan yang diciptakan sesudah suku-suku itu menetap di kepulauan Inggris. Lebih dari separuh puisi Anglo-Saxon merupakan puisi keagamaan. Sebagian besar puisi ini merupakan terjemahan dan saduran dari kitab-kitab perjanjian lama dan baru, kisah orang-orang suci, dan sajak-sajak kebangkitan dan didaktik. Sajak-sajak yang paling utama berasal dari daerah-daerah Northumbria dam Mercia dan diciptakan dalam abad-abad ke-7 dan ke-8.
     Penyair Inggris paling awal adalah Cadmon, seorang penghuni biara Whitby. Menciptakan sajak-sajak indah dalam bahasa Inggris yang indah berdasarkan kisah-kisah di Injil. Karya terbesar yang menurut anggapan ditulis oleh Cadmon adalah "Paraphrase" yang berisi cerita-cerita "Genesis", "Exodus", dan sebagian dari "Daniel".
     Pada abad ke 8, seorang penyair dari daerah Anglia yang bernama Cynewulf, juga menulis syair-syair keagamaan, antara lain : "The Christ", "Juliana", "The Fates of the Apostles", dan "Elene". Ia adalah satu-satnya penyair Inggris kuno yang mencantumkan nama pada karya-karyanya.
     Pada akhir abad ke-8 orang-orang Skandinavia menyerbu daerah-daerah pantai Inggris dan menghancurkan Northumbria bersama hasil kebudayaan tang telah di capai pada waktu itu termasuk kesusastreannya. Dengan punahnya kesusasteraan Northumbria itu maka berakhirlah periode puisi kesusasteraan Anglo-Saxon. Tetapi tampilnya King Alfred dari West Saxon ata Wessex, terbitlah zaman baru dalam kesusasteraan Anglo-Saxon, ialah periode prosa.
      Prosa muncul jauh sesudah puisi. Sajak lebih mudah diteruskan dari mulut ke mulut dan lebih mudah dihafal. Sifat ini sangat penting pada zaman itu karena sebagaian besar masyarakatnya tidak dapat membaca dan menulis. Pada masa pemerintahan Alfred, dia berusaha untuk mengembalikan Inggris ke tingkat kebudayaan yang pernah dicapai sebelum serangan Scandinavia. Ia menempuh dengan jalan pendidikan, dan untuk itu diperlukan buku-buku dalam bahasa Inggris. Dalam usia yang cukup lanjut ia sendiri belajar bahasa Latin agar dapat menerjemahkan buku-buku ke dalam bahasa rakyatnya. Begitu pulah dia memerintahkan kepada para sarjana untuk menerjemahkan buku-buku bermutu. Maka, yang pertama diterjemahkan adala "Pastoral Care" karangan Paus Gregorius, agar dapat dipakai sebagai penuntun para rohaniawan yang pada waktu itu banyak yang kurang pengetahuan. Agar rakyat dapat mengetahui sejarah bangsanya, maka Alfred menerjemahkan "Ecclesiastical History of the English people" karangan Bede, yang aslinya ditulis dalam bahasa Latin. Terjemahan-terjemahan berkat jasa Alfred yang lainnya adalah "Universal History and Geography" karangan Orosius yang merupakan karya sejarah utama pada zaman itu, dan "Consolations of Philosophy" karangan Boethius, ialah karya filsafat yang sangat digemari dalam zaman pertengahan itu.
     Kemudian dia juga memerintahkan mengumpulkan, menghimpun. dan mencatat kejadian-kejadian penting dalam kerajaannya, dan  catatan-catatan ini diteruskan hingga dua abad setelah King Alfred meninggal. Catatan-catatan ini adalah "Anglo-Saxon Chronicle" (Sejarah Anglo-Saxon). 
King Alfred ialah peletak batu pertama prosa Inggris. Tradisi prosa Inggris ini kemudian dilanjutkan oleh Aelfric dan Wulfstan, terutama menulis buku-buku keagamaan.
     Karena kesusasteraan Anglo-Saxon dilestarikan dengan sangat cara yang tidak terorganisir sehingga banyak yang tidak pernah ditulis dan hanya ada empat manuscript puisi/syair yang bertahan, banyak dari kehidupan dan kesusteraan masyarakat yang mendiami Inggris kira-kira pada abad ke-6 masih tetap menjadi misteri. Seperti pertanyaan tentang peran atau tugas biarawan pada pencatatan dokumen kesusasteraan. Dan apakah catatan mereka atau kesusasteraan digunakan untuk menanamkan dasar-dasar dan nilai-nilai ajaran Kristen.

Sumber : 
"England in Literature" , Helen McDonnell, Neil E. Nakadate, John Pfordresher, Thomas E. Shoemate. 1982. Scoot, Foresman, and Company. USA.
Ikhtisar Sejarah Kesusasteraan Inggris. Samekto, S.S (U.I), M.A(Exet). 1976. PT.Gramedia. Jakarta.