Periode Pertengahan (The Medieval Period) ±1150 - ±1400



Selama ratusan tahun Inggris sangatlah mudah diserang oleh suku lain. Namun, serangan terakhir mengubah semuanya. Mereka adalah Normandia, keturunan dari suku-suku Germanik yang menyerang sebagian besar wilayah Perancis Utara pada awal abad ke-10. Ketika raja Inggris, Edward The Confessor, meninggal tanpa pewaris tahta pada tahun 1066, maka tahta Inggris menjadi rebutan. Salah satu yang menuntut tahta ialah William, Duke Normandia di Perancis. Ia dengan balatentaranya mendarat di pantai selatan Inggris, dan berhasil memperoleh kemenangan di Hastings. Pada akhir tahun 1066 William dinobatkan menjadi raja Inggris. kemudian diberi gelar "The Conqueror" (Sang Penakluk).
 Dia mengumumkan setiap inci tanah Inggris adalah miliknya. Kebanyakan tanah tersebut diberikan kepada anak buahnya namun ditukar dengan kesetian penuh terhadap dia. Orang Inggris yang mempertahankan tanahnya harus membeli tanah tersebut dari raja. Untuk pengendalian kebijakannya, William menyusun survei untuk setiap harta yang ada di kepulaun Inggris.
Kemudian dia mengusir pemimpin-pemimpin Anglo-Saxon dan menggantinya dengan orang-orangnya dan kaum ningrat Normandia ke Inggris untuk menduduki tempat kaum ningrat Inggris yang sebagian besar juga telah mati terbunuh dalam peperangan melawan balatentara Willliam.
Pada saat itu kebanyakan orang Inggris adalah pelayan (serfs), pelayan untuk bangsawan Normandia. Mereka juga wajib untuk patuh, melaksanakan tugas tertentu, dan juga membayar pajak. Selain itu, terdapat juga bagian yang penting dalam masyarakat, memiliki jumlah yang banyak dan berpengaruh signifikan, yaitu pendeta (Clergy). Pemilik gereja memiliki lahan-lahan yang sangat luas, dipelihara dengan sistem hukum sendiri, dan memiliki pajak (tithes) tersendiri, dan berkomunikasi langsung dengan pemimpin-pemimpin gereja di Roma dan kontinen tanpa berkonsultasi dengan raja atau menteri-menteri.
Pada saat itu di dalam masyarakat Inggris Normandia, William menggagas ada tiga bahasa yang digunakan. Penguasa atau bangsawan Normandia, berbicara dan menulis dengan bahasa Perancis. Sedangkan pendeta (Clergy) dan pengikutnya mengguakan bahasa Latin dalam berbicara dan menulis. Masyarakat biasa dan mereka yang menggantikan bangsawan Inggris tetap berbicara dengan bahasa Anglo-Saxon.
Keadaan di atas berlangsung sampai kira-kira pertngahan abad ke-13. Pada waktu itu timbullah sengketa dan perpecahan antara kaum ningrat di Inggris dan kaum ningrat di Perancis, yang berakibat hilangnya semua hak milik kaum ningrat Inggris di daratan Perancis. Bahkan telah tumbuh pula suatu persaingan tajam antara Inggris dan Perancis yang memuncak pada perang seratus tahun. Akibat semua ini terhadap keadaan bahasa di Inggris ialah bahwa bahasa Perancis (Anglo-Normandia) yang digunakan kaum atasan di Inggris lama-kelamaan luntur dan akhirnya lenyap, dan sejajar dengan itu pula semakin luaslah penggunaan bahasa Inggris di kalangan atasan, sehingga dalam abad ke-14 bahasa Inggris pulih dalam kedudukannya semula sebagai bahasa tunggal di Inggris. Namun, bahasa Inggris ini, yang disebut bahasa Inggris Pertengahan (Middle English), telah sangat berbeda dengan bahasa Inggris kuno (Old English). Sebagian besar kata-kata asli sudah lenyap dan digantikan oleh kata-kata pinjaman dari Perancis. Juga tata bahasanya telah berubah karena kehilangan besar infleksi-infleksinya, sehingga menjadi lebih menyerupai bahasa Inggris Modern.
Kebanyakan kesusasteraan pada periode pertengahan telah hilang. Apa yang bertahan memiliki bentuk dan isi yang beragam dan memberitahu kita tentang hal-hal dalam periode pertengahan. Ada beberapa karya sastra yang bertahan hingga saat ini, seperti sajak rakyat (Folk Ballads). Ini adalah lirik-lirik lagu yang mungkin diciptakan oleh penyanyi-penyanyi (Minstrels) keturunan penyanyi (Scops) pada masa Anglo-Saxon, yang masih bertahan selama berabad-abad melalui mulut ke mulut (Word by Mouth). Tidak ada yang tahu kapan dan di mana mereka membuatnya. Namun, sebagian besar telah disusun diantara tahun 1200-1500. Ada beberapa macam alasan, mengapa sajak rakyat (Folk Ballads) dapat bertahan, pertama penyanyi merasa bebas untuk mengubah bagian-bagian sajak untuk menyesuaikan waktu, tempat, dan penontonnya. Kedua, beberapa penyanyi akan mengubah bagian atau mengembangkan sajak-sajak sesuai dengan kebutuhan penonton. Sajak rakyat tidak terikat dengan rumitnya alur (Plot), latar (Setting), atau tokoh (Character), namun sajak rakyat (Folk Ballads) fokus terhadap kemelut dari kegiatan yang mereka catat, dan bergantung pada percakapan diantara tokoh-tokoh daripada narator. Temanya bersifat universal yaitu, cinta (Love), kematian (Death), dendam (Revenge). Sehingga, mudah dimengerti dan diingat oleh penonton karena pada saat itu mereka belum bisa menulis. Salah satu sajak yang terkenal ialah sajak-sajak tentang “Robin Hood”.
Puisi
Karya-karya dalam bahasa Inggris sudah pasti tidak mendapat “pasaran” di antara glongan atasan yang kaya dan berkuasa. Para pencipta karya-karya itu karenanya tidak mendapatkan insentif materiil tetapi mereka mendapatkan dorongan yang bersifat spiritual. Mereka adalah rokhaniawan yang bekerja di tengah-tengah rakyat Inggris dan karenanya harus menggunakan bahasa yang dipahami rakyat. Ciptaan mereka sudah pasti bersifat keagamaan ataupun mendidik. Karya-karya berdasarkan Kitab Injil antara lain adalah “Ormulum” (±1225). Sedangkan “Ancren Riwle” berisi nasehat-nasehat tentang cara hidup keagamaan. Selain itu terdapat cerita-cerita fabel yang berisi pelajaran, misalnya “The Owl and The Nightingle” (±1195), suatu  perdebatan antara dua ekor burung yang masing-masing mewakili hidup berdasarkan hukum dan moral agama dan hidup bersenang-senang.
Suatu pengecualian ialah karya Layamon, juga seorang rokhaniawan, berjudul “Brut” (±1200), yang tidak bertema agama, melainkan sejarah. Karya Layamon ini berdasarkan “Roman de Brut” karangan Wace yang ditulis dalam bahasa Perancis, dan menceritakan tentang “sejarah” Inggris, yang sesungguhnya lebih merupakan legenda, di mana raja Arthur serta para satrianya memainkan peranan penting.
Perpecahan antara kaum ningrat di Inggris dengan Perancis dalam pertengahan abad ke-13 tercermin pula dalam kesusasteraan Inggris. Jenis-jenis kesusasteraan yang biasanya ditulis dalam bahasa Perancis, mulai diterjemahkan atau disadur ke dalam bahasa Inggris. Jenis paling popular ialah yang disebut “Romance”. Sebuah “Romance” adalah suatu cerita tentang perbuatan-perbuatan dan kejadian-kejadian luar biasa yang kebanyakan sesungguhnya tidak mungkin terjadi dalam penghidupan biasa. Cerita itu biasanya bertema cinta, kesatriaan, dan agama, serta berkisar sekitar tokoh utama yang menurut pandangan zaman itu bersifat sempurna, ialah berani, bermoral bersih, mempunyai rasa hormat kepada wanita, suka menolong kaum lemah, serta setia pada kawan-kawannya dan atasan-atasannya. Cerita-cerita “Romance” diambil dari Perancis, misalnya “Chanson de Roland” yang mengisahkan kepahlawanan Roland dalam pertempurannya terakhir melawan orang-orang Saracen di Ronceval. Ada juga yang diambil dari Yunani dan Romawi, misalnya yang menceritakan tentang kehebatan Iskandar (Alexander). Cerita-cerita dari Inggris sendiri pun banyak, dan yang paling terkenal adalah cerita-cerita tentang raja Arthur dan satria-satrianya. Cerita-cerita Arthur ini sesungguhnya berasal dari orang-orang Kelt (Celtic), tetapi bentuk kesusasteraannya diberikan oleh penyair Perancis, kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Yang paling digemari antara cerita-cerita Arthur ini ialah “Sir Gawain and The Green Knight”, tidak saja karena ceritanya, tetapi juga karena bahasanya yang indah. Penyairnya tidak dikenal, tetapi sudah pasti bahwa ia adalah penyair terbesar zaman itu, hal mana juga terbukti dalam sajak-sajak ciptaannya yang lain, ialah “Cleanness”, “Patience”, dan “The Pearl”. Yang terakhir ini adalah sebuah lirik yang sangat humanis dan realistis yang mengungkapkan kesedihan seorang ayah pada waktu anak perempuannya meninggal.
Pulihnya kembali bahasa Inggris sebagai bahasa tunggal di Inggris dalam abad ke-14 menyebabkan berkembangnya suatu kesusasteraan yang merupakan puncak prestasi literer Inggris dalam zaman pertengahan. Sastrawan utama waktu ialah Geoffrey Chaucer (±1340-1400) yang menulis sejumlah besar sajak cerita antara lain “Troilus and Criseyde”, sebuah kisah cinta yang sangat popular dalam zaman pertengahan. Dia tumbuh bersamaan dengan kemakmuran dan pengaruh Inggris. Chaucer dilatih di istana dan dekat denga orang-orang cerdas dan berpengaruh pada zamannya. Dia juga diberikan izin untuk melakukan perjalanan ke seluruh Eropa dan belajar tentang kesusasteraan Perancis dan Italia. Karyanya yang terbesar adalah “Catenbury Tales”, yang dengan realistis dan penuh nada humor memberikan kepada kita gambaran tentang tipe-tipe orang yang ada dalam masyarakat waktu itu, dari seorang sarjana dari Oxford sampai petani sederhana. Suatu hal baru yang terdapat dalam sajak Chaucer ini ialah realisme. Bagi mereka mempelajari syair ini akan mengagumi bentuk-bentuk sastra saat itu, sementara pendengar awam bisa menikmati komedi (comedy), petualangan (adventure) dan rasa sedih atau penderitaan (pathos). Hingga saat itu kesusasteraan Inggris biasanya berkisar sekitar: pahlawan-pahlawan ataupun orang-orang luar biasa yang semuanya bergerak dalam dunia khayalan. Tokoh-tokoh Chaucer dalam “Catenbury Tales” ini adalah orang-orang biasa sebagaimana adanya yang hidup dalam masyarakat biasa pula.
Penyair kenamaan lainnya ialah William Langland (lahir 1332) yang antara lain menulis “Piers Plowman”, yaitu sebuah alegori sosial yang memberikan tekanan pada kerja keras dan kejujuran. Sajak ini terutama ditujukan kepada rakyat jelata, dan tidak untuk menghibur golongan-golongan atasan seperti kebanyakan sajak pada waktu itu.
Prosa
Minat kepada rakyat kecil ditemukan pula pada diri John Wyclif (±1324-1348), ialah seorang pemimpin agama dan seorang sarjana, yang terkenal sebagai penerjemah Kitab Injil. Terjemahan ini tidak saja mempunyai pengaruh yang luas dalam segi moral tetapi juga dalam segi bahasa. Jhon Wyclif adalah seorang prosaik ulung, dan melalui terjemahannya itu tersebarlah gaya bahasa prosanya ke seluruh negeri sehingga sangat membantu dalam pembentukan bahasa Inggris standar. Pembentukan bahasa standar ini-pun dibantu oleh sebuah prosa yang sangat baik gaya bahasanya dan yang sangat populer pada waktu itu, ialah “Voyage and Travail of Sir Jhon Maundeville” atau lebih terkenal dengan judul “Mandeville’s Travels”, yaitu sebuah kisah perjalanan ke berbagai negeri yang aslinya ditulis dalam bahasa Perancis.
Pengaruh Perancis
Suatu hal yang perlu disebut mengenai perkembangan kesusasteraan Inggris dalam Zaman Pertengahan ini ialah pengaruh Perancis. Pengaruh Perancis tidak saja terlihat dalam bahasanya, yang meminjam ribuan kata Perancis, dan jenis kesusasteraannya, misalnya “Romance” tetapi juga pada suasana, gaya serta bentuk. Di antara sifat-sifat yang menonjol dari kesusasteraan Perancis pada Zaman Pertengahan itu ialah suasananya yang cerah, gaya bahasanya yang terus terang dan sederhana, serta bentuk-bentuk sajaknya yang beraneka ragam. Sifat-sifat ini tidak terdapat pada kesusasteraan Inggris kuno yang selalu bernuansa suram, mempunyai gaya bahasa yang “berat” dan rumit, dan yang bentuk sajaknya hanya terbatas pada aliterasi. Sifat-sifat Inggris kuno ini hampir tidak dapat kita jumpai lagi dalam kesusasteraan Inggris Pertengahan, tetapi sebaliknya sifat-sifat Perancis di atas dapat kita rasakan dan lihat dengan jelas, lebih-lebih dalam karya-karya Chaucer.
Drama
Satu jenis kesusasteraan yang mulai tampak di Inggris dalam zaman pertengahan itu ialah drama. Drama mula-mula tumbuh di dalam gereja sebagai medium yang digunakan para rokhaniawan untuk lebih memberikan kejelasan kepada khotbah-khotbah mereka. Khotbah-khotbah pada waktu itu diberikan dalam bahasa Latin yang tidak dipahami oleh sebagian besar umat. Maka pada kesempatan-kesempatan tertetu para rokhaniawan itu mempertunjukkan petikan-petikan dari kehidupan Kristus atau adegan-adegan dari Kitab Injil. Misalnya, pada hari Natal dipertunjukkan lakon kelahiran Kristus, sedangkan pada hari Paskah disajikan cerita penyaliban dan kebangkitan kembali. Pertunjukan-pertunjukan ini dilangsungkan di dalam gereja, dan para pelakunya adalah rokhaniawan sendiri. Bahasa Latin yang masih digunakan dalam pertunjukan-pertunjukan itu berangsur-angsur diganti dengan bahasa Inggris. Juga lambat laun cerita-ceritanya semakin berkembang dan memerlukan lebih banyak pelaku, sehingga ruang gereja tidak lagi dapat menampung. Maka pertunjukan-pertunjukan itu dipindahkan ke tanah lapang gereja dan ke jalanan. Dengan dipindahkannya tempat pertujukan itu, maka orang-orang awam-pun ikut bermain, walaupun pimpinan masih dipegang oleh gereja. Kemudian timbullah tendensi-tendensi sekuler yang mula-mula berupa adegan-adegan lucu yang digunakan sebagai selingan lakon-lakon keagamaan yang “berat”.  Kadang-kadang pertunjukan-pertunjukan itu diselenggarakan oleh serikat-serikat  pengusaha (Guilds), tetapi masih tetap diawasi oleh gereja. Drama yang dipertunjukkan ada dua macam. Yang pertama ialah “Miracles” yang melakonkan kehidupan orang-orang suci (Saints), sedangkan yang kedua disebut “Mysteries” yang mengambil tema-tema dari Kitab Injil. Pertunjukan-pertujukan drama seperti diuraikan di atas terdapat di seluruh Inggris sejak abad ke-13.

0 komentar:

Posting Komentar