Penulis :
Pramoedya Ananta Toer
Tahun Terbit :
Cetakan 8, Agustus 2015
Penerbit : Lentera Dipantara
Kisah ini bermula ketika tokoh utama (aku) mendapat surat
dari pamannya yang mengabarkan bahwa ayahnya di kampung telah jatuh sakit. Di
dalam surat itu dia diminta agar menyempatkan waktu beberapa hari untuk
menjenguk ayahnya yang sedang berbaring di rumah sakit dan telah beberapa kali
memuntahkan darah. Ia terkejut membaca surat tersebut, dipikirannya terbayang
sosok ayah namun kemudian uang.
Pada saat itu dia baru saja bekerja selama tiga hari di
Balai Pustaka, namun dia memutuskan pulang kampung bersama istrinya untuk
menjenguk ayahnya. Setelah memutari kota Jakarta, akhirnya tokoh aku mendapat
pinjaman uang dari teman-temannya.
Keesokan hari tokoh aku bersama istrinya menuju stasiun
Gambir selanjutnya dengan kereta api mereka menuju ke Blora, kampung halaman
tokoh aku. Sepanjang jalan dari Jakarta menuju Blora si tokoh aku mengenang
peristiwa-peristiwa ketika berjuang melawan penjajah di setiap daerah yang
dilewati kereta api. Namun, bukan hanya peristiwa tersebut yang terus menghiasi
ingatannya tetapi kadang keadaan ayahnya turut muncul.
Setelah beristrahat semalam di kota Semarang, pagi
harinya tokoh aku dan istrinya melanjutkan perjalanannya dengan kereta api
menuju ke kampung halamannya. Diperjalanan kadang mereka menjumpai anak-anak
kecil yang mengulurkan topi untuk mengemis, dan jika ada penumpang yang
melemparkan sisa makanan, mereka akan berebutan. Mereka akhirnya tiba di
stasiun Blora, namun tak ada seorangpun sanak keluarga yang menjemputnya karena
telegram yang berisi tentang kedatanganya tidak sampai. Mereka melanjutkan
perjalan dengan dokar, disepanjang perjalanan dia melihat sisa bangunan yang
menjadi kebanggaan warga kota Blora telah rusak.
Akhirnya dokar yang mereka tumpangi tiba di depan
rumahnya dan mereka disambut riang oleh adik-adiknya. Tokoh aku bersama adiknya
duduk-duduk di ruang depan dan mereka mengobrol tentang Jakarta, Semarang, dan tentang mobil. Kemudian dia
bertanya tenang kesehatan bapaknya, namun semua adiknya berdiam diri. Setelah
bertanya lagi, adiknya yang keempat dengan perlahan menjawab bahwa semua
kiriman kakaknya telah mereka terima namun bapaknya menyuruh mereka untuk
membawa kiriman itu ke rumah mereka. Si tokoh akupun terkejut. Adiknya
meneruskan bahwa kemarin dan kemarin dulu bapaknya tetap tersenyum namun tadi
pagi, ayahnya tidak tersenyum lagi, suaranya telah rendah dan hampir tak
kedengaran. Dan adiknya yang kedua melanjutkan bahwa dokterpun hanya berkata
telah mengetahui penyakit bapaknya, lalu dia disuruh pergi.
Tak berapa lama, adiknya yang keempat memberitahu bahwa
adiknya yang ketiga ada juga di rumah mereka dan dia sedang terbaring sakit di
kamar. Lalu tokoh aku menyuruh adiknya yang keempat untuk menyuruhnya keluarga
kamar, namun setelah masuk di kamar adiknya yang keempat keluar dengan mata
yang berkaca-kaca dan berkata bahwa adiknya yang ketiga sedang tidur. Terbayang
diingatannya ketika dia mengirimkan surat yang pedas kepada ayahnya dahulu
karena membiarkan adiknya yang ketiga sakit. Namun, surat itu dibalas ayahnya
dengan kata-kata yang membuat amarahnya cair dan merasa berdosa kepada ayahnya
hingga kini.
Setelah sejam mengobrol bersama istri dan adik-adiknya,
tokoh aku meminta kepada adiknya yang keenam untuk menengok ke kamar adiknya
yang ketiga, mugkin dia telah bangun, namun adikya yang ketiga tidak keluar.
Adiknya yang kecil membisikkan bahwa adiknya yang ketiga sedang menangis,
akhirnya tokoh aku yang masuk ke dalam kamar dan melihat adiknya sedang
terlentang di atas ranjang besi, yang tiada berkelambu dan berselimut separuh.
Dia merangkul adiknya dan dia menangis begitupun juga dengan adiknya juga
menangis.
Adiknya yang ketiga menceritakan bahwa dia telah lama
sakit, usahanya ke dokter tidak membuahkan kesembuhan, dan anaknya telah tiada
karena pada bulan keenam telah lahir. Merekapun kembali menangis bersama-sama.
Setelah itu dia memperbaiki selimut adiknya dan mencium pipi adiknya dulu
montok namun sekarang kering, lalu dia meninggalkan kamar itu.
Sore itu dengan dokar tokoh aku bersama istri, adiknya
yang keempat dan seorang adiknya yang belum dewasa berangkat ke rumah sakit.
Setibanya dia hanya mendapati rumah sakit yang sepi dan hanya ada beberapa
pasien yang duduk-duduk di bangsal sambil mencari kutu. Mereka menuju ke kamar
13 tempat ayahnya dirawat, setelah membuka pintu, ayahnya tersenyum melihat
mereka telah datang. Mereka mendekati ranjang dan melihat air mata ayahnya
bergelinang disudut mata, tangis yang tiada bertenaga.
Dia melihat badan
ayahnya yang dulu tegap sekarang seperti papan, hanya tinggal kulit dan tulang.
Rambut ayahnya yang dulu hitam sekarang jadi putih, kumis, cambang, dan janggut
menjadi hitam-putih-abu-abu membuat muka ayahnya nampak kotor. Terlihat juga perut
ayahnya terlihat terguncang-guncang jika diserang batuk.
Istri yang telah dinikahi selama 6 bulan ini
diperkenalkan dan ayahnya merestui mereka. Namun, tiba-tiba badai batuk
menyerang dan mereka disuruh agar menjauh setelah reda dan akhirnya lenyap ia
melihat ayahnya meludah, terlihat tempat ludah ayahnya itu nampak ludah baru
yang berwarna merah.
Tokoh aku menangis melihat keadaaan ayahnya dan berpikir
telah kehilangan ayahnya. Dia berniat untuk membawa ayah ke sanatoriumtapi
ayahnya menggelengkan kepala. Setelah mengobrol dengan bapaknya tentang pil
yang dikirimnya, keadaaannya waktu ditawan, keadaan kesehatan, serta nafsu
makan bapaknya, tiba-tiba bapaknya menengok ke arah arlojinya. Adiknya yang
keempat memberitahu bahwa itu adalah isyarat mereka disuruh untuk pulang.
Setelah berpamitan namun adiknya yang ketujuh keluar duluan. Di luar kamar
tokoh aku menyuruh adiknya yang ketujuh untuk masuk berpamitan tetapi setelah
keluar adiknya itu nampak menangis dan adiknya yang keempat memberitahu dia bahwa
setiap pulang dari menjenguk mereka, adiknya akan menenangis.
Pada malam hari mereka mengobrol di ruang depan namun
adiknya yang ketujuh menyendiri di ruang belakang dan masih menangis. Dia
mendekati, merangkul, dan mencium adiknya serta meminanya agar berhenti
menangis namun adiknya lari masuk ke kamar dengan tangisnya. Di ruang depan
mereka mengobrol tentang Jakarta, tentang Semarang, tentang mobil, dan tentang
banyaknya bajing yang ada di Jakarta.
Di waktu itu juga paman dan bibinya datang dan adiknya yang
belum dewasa masuk ke ruang belakang karena seperti yang sudah diadatkan
dikampungnya bahwa anak-anak tak boleh turut dalam percakapan orang dewasa.
Setelah memperkenalkan istrinya, mereka mengobrol sambil diselingi minum kopi,
dan akhirnya tiba ke percakapan mengenai keadaan ayahnya. Pamannya berkata
bahwa ayahnya tidak dapat ditolong lagi dan berniat untuk meminta pertolongan
dukun. Dia tida tega melihat saudaranya yang dulu memiliki badan teguh sekarang
hanya tulang dan suara yang lantang dan selamanya mematahkan pendebat di setiap
permusyawaratan itu kini tak bertenaga lagi. Mereka pun bersepakat untuk
mencari dukun keesokan harinya.
Kelanjutan kisah tokoh aku ketika melihat keadaan ayahnya makin memburuk bisa di baca pada novelnya.
Kelanjutan kisah tokoh aku ketika melihat keadaan ayahnya makin memburuk bisa di baca pada novelnya.