Cerita Calon Arang karya Pramoedya Ananta Toer



Ringkasan.
Semua manusia bersaudara satu sama lain. Karena itu tiap orang yang membutuhkan pertolongan harus memperoleh pertolongan. Tiap orang keluar dari satu turunan, karena itu satu sama lain adalah saudara. –Pramoedya Ananta Toer-
Kisah ini berawal dari sebuah kerajaan yang bernama Daha, namun sekarang disebut Kediri. Penduduk kerajaan kebanyakan makmur. Tanaman pertanian sangat jarang dirusak hama. Kerajaan juga aman, tidak ada kejahatan karena penduduknya hidup makmur. Penyakit tidak menjangkiti penduduknya karena mereka makan secara teratur.
Kerajaan Daha diperintah oleh raja Erlangga yang terkenal dengan kebijaksanaannya dan berbudi. Seluruh raktyatnya dia lindungi. Istana raja Erlangga seperti surga Dewa Indera, tidak ada istana yang menandinginya. Tiap tahun negara yang takluk akan mengirimkan upeti kepada raja.
Sang raja memperhatikan seluruh wilayah kerajaannya sehingga dia mengunjungi seluruh wilayah hingga ke pelosok-pelosok, dia tidak hanya mengutamakan ibukota kerajaan. Keramahan dan sering memperlihatkan rakyatanya maka sang Raja sangat dicintai oleh mereka.
Namun, keadaan tiba-tiba berubah karena tersiar kabar bahwa musuh akan datang, namun musuhnya bukanlah balatentara kerajaan lain tetapi penyakit hebat yang dikirim oleh seorang pendeta perempuan di Candi Dewi Durga yang bernama Calon Arang dari dusun Girah. Dia memiliki banyak murid dan pengikut. Dia adalah seorang janda setengah tua yang memiliki anak perempuan berusia 25 tahun bernama Ratna Manggali yang ia sangat sayangi.
Ratna Manggali seorang gadis yang cantik namun tidak ada pemuda yang datang meminangnya karena takut kepada Calon Arang yang terkenal memiliki perilaku yang buruk. Ia senang menganiaya sesama manusia, membunuh, merampas dan menyakiti. Ia memiliki ilmu teluh dan banyak ilmu ajaib untuk membunuh orang.
Semua penduduk di dusun Girah takut kepada Ratna Manggali dan ibunya namun nama mereka sungguh busuk sebagai tukang sihir yang menyebar penyakit dan merusak bagi sesama manusia. Dia sangat marah karena tidak ada yang suka padanya dan salah seorang muridnya melapor bahwa Ratna Manggali menjadi percakapan karena tidak diperistri orang. Dia sangat marah sehingga berniat ingin membunuh orang sebanyak-banyaknya agar dia puas.
Berangkatlah Calon Arang bersama murid-muridnya ke candi Durga. Durga disebut Bagawati adalah dewi yang mengehendaki kerusakan. Setelah mengucapkan mantra dan membakar pendupaan. Muridnya menari-nari seperti kawanan orang gila. Tak lama kemudian muncullah Dewi Durga, kemudian Calon Arang meminta izin untuk membangkitkan penyakit untuk membunuh sebanyak-banyaknya. Dewi Durga memberikannya izin namun dia tidak diizinkan untuk meratakan penyakit tersebut hingga ibukota kerajaan. Mendengar izin tersebut Calon Arang dan muridnya sangatlah senang, lalu dia menyembah lagi bersama murid-muridnya.
Di dusun lain yang bernama Lemah Tulis, hiduplah seorang pertapa yang bergelar empu atau guru. Ia bernama Baradah atau Empu Baradah. Dia sangat taat pada agamanya, ramah dan senang menolong orang sengsara serta tidak pernah menolak bila orang datang minta tolong sehingga penduduk dusun sujud terhadapnya. Karena kebaikannya penduduk menyamakan dia seperti dewa-dewa dan ada yang menganggap dia adalah dewa yang menjelma menjadi manusia.
Si empu Baradah memiliki seorang putri bernama Wedawati, ia adalah bunga semerbak di Lemah Tulis karena kecantikan dan keramahannya terhadap penduduk dusun. Ia ingin membahagiakan semua orang jika dia bisa. Namun, pada suatu hari Ibu Wedawati jatuh sakit kemudian beberapa hari kemudian meninggal. Ia sangat sedih dan menangis karena ditinggal oleh ibu yang sangat dia cintai, ia memohon kepada dewata agar mati bersama ibunya namun dewata tidak mengabulkannya.
Beberapa waktu kemudia Empu Baradah menikah lagi dan dari ibu barunya Wedawati memperoleh seorang adik laki-laki. Wedawati sangat senang karena dia punya teman bermain do taman. Namun, Ibu tirinya sangat sayang kepada adiknya berbeda dengan dia yang tidak disuka.
Suatu hari Empu Baradah pergi ke pertapaan Wisamuka untuk mengajar murid-muridnya. Di Lemah Tulis, Wedawati bekerja, dia tidak suka bermalas-malasan apalagi bertopang dagu dan tak tentu yang dipikirkan. Ibu titinya yang sudah lama menginginkan dia meninggalkan rumah mencari alasan untuk memarahi Wedawati. Ibu tirinya terus memarahinya dan dia memutuskan untuk meninggalkan rumahnya dan berjalan keluar desa ke kuburan ibunya. Beberapa anak gembala yang dilewatinya hendak menolong namun dia menolaknya dan terus saja berjalan sambil menangis.
Diperjalanan dia terkejut melihat tiga orang mayat dan disampingnya ada anak kecil yang merangkak mencari susu ibunya yang telah menjadi mayat. Melihat keadaaan itu lenyaplah kesedihannya. Namun ia menangis lagi karena melihat nasib anak kecil itu lalu dia bawa anak kecil itu ke rumah terdekat sedangkan mayat tersebut diambil oleh warga lalu disucikan. Sebenarnya mayat tersebut melarikan dari daerah teluh Calon Arang.
Akhirnya, Wedawati kembali menuju ke kuburan ibunya dan duduk disamping kuburan. Walaupun kuburan menjadi sunyi dia tidak juga bangkit dari tempat duduknya.
Di dusun lain, Calon Arang merasa sangat berbahagia dan bersenang-senang merayakan kemenangan jika orang-orang yang dibencinya telah mati. Tiap waktu muridnya harus berkeramas dengan darah manusia sehingga rambut mereka lengket-lengket dan tebal. Jika berpesta mereka tak ubahnya dengan sekawanan hewan buas. Jika ada yang mengintip mereka menyeretnya lalu dibunuh dan darahnya digunakan untuk keramas. Penduduk dusun pun hidup dalam ketakutan terhada Calon Arang dan murid-muridnya.
Dusun menjadi sunyi, jika Calon Arang dan ada muridnya yang tidur tidak ada yang berani berseru atau tertawa-tawa. Kalau berani membuat gaduh, matilah ia diteluh.
Pada suatu malam Calon Arang bersama murid-muridnya berjalan menuju ke perempatan jalan. Calon Arang membaca kitabnya sedangan muridnya Weksirsa membakar pendupaan sambil menandak-nandak gila dan yang lain menari-nari. Di tengah-tengah perempatan mereka menanamkan teluh agar penyakitnya tersebar di empat mata angin. Tidak lama kemudian timbullah penyakit di seluruh negeri yang tidak ada obatnya. Hanya di ibukota penyakit itu tidak membunuh orang.
Penduduk Daha kian lama kian sedikit. Banyak prajurit yang meninggal di luar ibukota karena teluh Calon Arang bukan kena senjata di medan perang. Jika musuh hendak merobohkan Daha, robohlah negara yang Agung itu. Penyakit yang diteluhkan oleh Calon Arang kian lama kian melebar, tambah banyak orang mati dimakan penyakit. Pendeta-pendeta yang baik hati mencoba menolak teluh Calon Arang namun itu semua sia-sia.
Berita tentang meluasnya teluh Calon Arang akhirnya sampai kepada Sri Baginda Erlangga. Dia merasa sangat sedih mendengar penderitaan rakyatnya sehingga memanggil semua menteri, pendeta, dan para johan pahlawan yang mengepalai pasukan-pasukan tentara Daha. Mereka melaporkan bahwa janda dari Girahlah yang memunculkan keenoran dan bencana itu.
Sri Baginda Erlangga menyuruh mengirimkan balatentara ke dusun Girah untuk menangkap Calon Arang, jika dia melawan raja membolehkannya untuk di bunuh bersama murid-muridnya. Mendengar keputusan Raja, seluruh penduduk merasa bahagia.
Sepasukan balatentara Raja menuju desa Girah untuk menumpas Calon Arang. Mereka disambut meriah di setiap daerah yang mereka lewati. Sesampainya di desa Girah, kepala pasukan bersama dua orang anggotanya masuk ke dalam rumah janda tukang sihir itu. Mereka mendapati Calon Arang sedang tidur lalu kepala pasukan menjambak rambut si tukang sihir sedangkan dua anggotanya mengacungkan pedang terhunus di atas tubuh  Calon Arang. Namun yang terjadi kemudian ketiganya menjadi kaku terkena teluh Calon Arang. Melihat ketiga prajurit itu, amarahnya meluap lalu matanya, hidung, kuping, mulutnya mengeluarkan api yang menjilat ketiga tubuh prajurit itu hingga hangus dan mati di situ. Prajurit yang lain lari menuju kudanya kembali ke ibukota.
Sesampai di ibu kota pasukan menyampaikan kepada Sri Baginda Erlangga bahwa kepala pasukan telah mati kena teluh Calon Arang. Mendengar laporan tersebut sang raja termenung-menung mendengar kesaktian tukang sihir wanita itu. Seluruh pendeta dan prawira-prawira yang hadir terdiam. Seluruh negeri Daha berkabung mendengar kekalahan pasukana balatentara Raja. Mereka tidak dikalahkan oleh senjata tetapi kesaktian ilmu sihir.
Setelah sidang dibubarkan, Sri Baginda Erlangga masuk ke sanggar pemujaan. Dia meminta petunjuk kepada dewanya untuk memberantas penyakit yang telah begitu banyak membunuh rakyatnya . Namun, tidak ada yang datang melalui asap pendupaanya. Dengan hati sedih ditinggalkan sanggar pemujaan itu.
Sri Baginda Erlangga lau berjalan-jalan di taman hingga matahari lenyap di balik gunung, kemudian kembali dia masuk ke sanggar pemujaan dan bersujud di depan arca Dewa Guru, tetapi dewa juga tidak datang. Baginda meninggalkan lagi sanggar dan berjalan memutari taman hingga matahari terbit.
Di dusun Girah, Calon sangat marah, dendam mengamuk di hatinya, muka dan matanya merah. Sebenta-sebentar dia menyumpahi Sri Baginda Erlangga. Tiba-tiba dia masuk ke sanggar pemujaan dengan membawa kitabnya. Calon Arang bersama murid-muridnya menuju ke kuburan. Di depan berjlan Weksirsa kemudian Calon Arang dibelakangnya dengan membawa kitab.Di kuburan tersebut mereka berunding mencari jalan untuk menyelamatkan diri karena Sri Baginda Erlangga telah tahu tentang kejahatan mereka.
Salah seorang muridnya memberi pendapat agar mereka melarikan diri ke gunung yang masih diliputi hutan lebat, lalu ada juga yang menyarankan agar mereka pergi kepada seorang pendeta agung untuk meminta dikembalikan ke jalan yang benar agar bisa hidup baik dan tenang. Namun, seorang muridnya menyarankan agar mereka melawan raja dan semua balatentaranya. Dia ingin meneluh semua penduduk di ibukota agar mati semua. Setelah Calon Arang meminta pesetujuan muridnya, Calon Arang bersama muridnya berkumpul dikuburan di tengah malam. Dia kemudian mengambil bangkai mayat lalu dia hidupkan kemudian salah seorang muridnya menebas leher mayat itu. Darah yang menyembur digunakan untuk keramas, ususnya dijadikan selendang dan tubuhnya pakai untuk sesaji kepada Dewi Durga. Ketika sang Dewi Durga muncul, Calon Arang meminta izin membuat penyakit besar-besaran yang dapat masuk ke ibukota hingga ke istana kerajaan. Dewi Durga kemudian mengabulkan permintaan Calon Arang lalu pulanglah dia bersama murid-muridnya ke desa Girah.
Di dusun Lemah Tulis, ibu tiri Wedawati sangat senang karena Wedawati telah pergi. Dia menikmati kebersamaan bersama anaknya. Lalu ketika Sang Empu Baradah pulang, dia memberitahukan bahwa Wedawati telah meninggalkan rumah karena bertengkar dengan adiknya. Setelah mendengar hal tersebut Empu Baradah pergi mencari Wedawati, ia bertanya kepada orang yang dia jumpai di jalan. Seorang anak gembala memberitahu bahwa Wedawati telah keluar dusun berjalan ke arah selatan menuju ke kuburan ibunya.
Empu Baradah menuju ke kuburan mendiang istrinya, di sana dia melihat Wedawati terpekur di tanah samping kuburan mendiang ibunya.
Kisah selanjutnya antara Calon Arang, Sri Baginda Erlangga, Empu Barada, dan Wedawati dapat dibaca dalam buku karya Pramoedya Ananta Toer yang berjudul Calon Arang.

0 komentar:

Posting Komentar