Langkah-langkah menulis kritik karya sastra menurut Maman.S.Mahayana.



Langkah-langkah menulis kritik karya sastra menurut Maman.S.Mahayana.
            Dalam kritik sastra, ada dua jenis kritik sastra yang media dan sasarannya berbeda. Pertama kritik sastra ilmiah yang berada dalam dunia akademis, meski tidak menutup kemungkinan juga publik dapat menikmati karya-karya ilmiah itu manakala mereka dipublikasikan sebagai buku yang disebarkan ketengah khalayak masyarakat. Dalam kritik akademik, kerangka teoritis dan metode ilmiah mutlak disertakan sebagai landasan argumen. Kedua, kritik sastra umum, sasarannya adalah publik, masyarakat berbagai kalangan dengan latar belakang pendidikan yang beraneka ragam. Media yang digunakannya bisa berupa majalah, surat kabar, buletin yang dicetak atas biaya urunan, atau juga ulasan ringkas sebagai pengantar diskusi di depan khalayak umum. Dalam kritik sastra umum, meski mungkin digunakan juga metode ilmiah dengan kerangka teoritisnya, mengingat sasarannya untuk masyarakat umum, maka boleh jadi penekanan jenis kritik ini, sekedar sebuah apresiasi. Tujuan kritik sastra umum itu adalah apresiasi, ulasan, atau analisis ringan agar khalayak tergoda untuk ikut membaca, mencermati, atau meneliti karya yang dibincangkan. Kritik sastra hendaknya dengan bahasa kaum terdidik dengan semangat yang konstruktif.
Adapun langkah-langkah menulis kritik karya sastra, yaitu ;
Ø  Pertama, baca tuntas karya sastra yang hendak dikritik. Namun, sebelum membaca perlu diketahui bahwa kritik sastra bukanlah caci-maki tetapi kritik sastra adalah apresiasi atas satu (atau beberapa) karya sastra. Uraiannya bisa berupa deskripsi, analisis, atau komparatif. Agar dapat melakukan analisis yang konstruktif, diperlukan pula interpretasi atas unsur instrinsik yang membangun karya sastra tersebut. Sebelum memulai proses pembacaan atas sebuah karya, kita berkewajiban menghilangkan sikap suka atau tidak suka, membuang jauh-jauh prasangka dan syakwsangka, dan menyimpan pandangan apriori, yaitu semacam usaha menyimpulkan sesuatu, sebelum melakukan penelitian atau kajian atas obyeknya. Sementara sikap suka-tidak suka, prasangka dan syakwasangka akan menggelembungkan semangat besar subyeksivitas. Akibatnya, dari awal hingga akhir, tulisan itu akan ditaburi dengan ulasan (dan celotehan) subyektif, meski di sana begitu banyak gincu istilah-istilah keren. Jika ia suka dan punya kesan baik atas sebuah karya, pujiannya cenderung jatuh pada sanjung gombal; puja-puji berlebihan. Sebaliknya, jika ia tidak suka dan punya kesan buruk, kesimpulannnya cenderung menjadi caci-maki. Tugas kritik sastra mesti membongkar terjadinya banyak kesalahpahaman yang sumbernya tidak lain datang dari prasangka dan syakwasangka. Selanjutnya menjauhkan diri dari pemberhalaan pada teori-teori sastra. Jangan sampai ketika mengenal ilmu baru, kita memamerkan ilmu tersebut. Seharusnya teori yang mengikuti karya, dan bukan karya yang mengikuti teori. Oleh karena itu, ketika hendak memulai membaca karya sastra, pengetahuan teoritis yang sudah mendekam dalam tempurung kepala pembaca, sementara “singkirkan” dahulu. Biarkan proses pembacaan karya sastra berlangsung alamiah, mengalir wajar.
Ø  Kedua, jika dalam proses pembacaan itu, kita tidak dapat masuk menyatu dalam dunia yang digambarkan teks sastra yang bersangkutan, itu berarti terjadi hingar (noise). Terjadi rumpang, miskomunikasi, tulalit antara pembaca dan teks. Pembaca sering berhadapan dengan sebuah teks yang mungkin terlalu gelap, sukar dimengerti atau jumpalitan. Bagi puisi, problem itu menjadi sangat serius, lantaran puisi tak memberi ruang bagi penyair melakukan deskripsi panjang lebar. Puisi mengandalkan citraan memaksanya melakukan eksplorasi makna kata dalam membangun diksi atau majas (metafora, analogi, personifikasi, dan seterusnya). Penyair kadang terlalu asyik mengumbar imajinasinya, sehingga larik-larik puisinya laksana kotak besi. Sehingga pembaca dihadapkan pada kegagalan ketika berjuang keras menemukan isinya. Hingar juga bisa terjadi pada puisi yang terang benderang, jika pesannya terlalu gamblang, sehingga tidak diperlukan lagi penafsiran. Puisi propaganda lazimnya termasuk kategori yang terang-benderang. Pembaca tidak diajari untuk menafsir atau tidak diberi ruang untuk berpikir dan memanfaatkan imajinasinya guna menjelajahi konteksnya. Berbeda dengan puisi, novel atau cerpen memberi kesempatan kepada pengarangnya untuk menghadirkan narasi, sehingga pembaca punya banyak peluang untuk berjuang memahami pesannya. Dimulai dari kata yang membentuk kalimat, deretan kalimat yang menghadirkan peristiwa, dan rangkaian peristiwa yang membangun wacana, ditambah dengan dialog-dialog yang berfungsi memperkuat unsur instristik. Novelis dan cerpenis  biasanya juga secara piawai sengaja memberikan fisik dan psikis tokoh, atau peristiwa demi peristiwa tidak sekaligus, melainkan secara perlahan-lahan, sedikit demi sedikit. Dengan begitu, proses penokohan berikut perubahan karakternya, berlangsung secara wajar dan meyakinkan. Demikian juga, rangkaian peristiwa yang dihadirkan lewat konflik memperlihatkan sebuah proses yang logis dan terterima. Namun, jika menghadapi novel-novel atau cerpen yang menggambarkan peristiwa-peristiwa  absurd, dunia jumpalitan, dan kisah di dunia entah-berantah yang terkesan tumpang tindih, bertumpuk-tumpuk, dan simpang siur seolah-olah peristiwa yang satu dengan peristiwa yang lain sama sekali tak ada hubungannya. Langkah utama yang perlu dilakukan adalah baca saja dulu kalimat demi kalimat, nikmati peristiwa demi peristiwa sebagai sebuah dongeng, masuk dan berintegrasi dengan kehidupan yang dikisahkan dalam teks. Jika berhasil menyatu dan berpadu dengan teks, artinya kita sudah memasuki tahap sentuh estetik (aesthetic contact). Setelah membaca karya sastra, muncul sejumlah pertanyaan yang mengganggu intelektualitas dan rasa kemanusian pembaca. Sejumlah pertanyaan itu muncul lantaran karya itu menggoda pembaca untuk berpikir kritis. Itulah tahap yang disebut sentuh kritik (critical contact). Disinilah dimulai peristiwa kritik sastra : mempertanyakan banyak hal yang ditawarkan teks sastra.
Ø  Ketiga, tandailah dan catat bagian-bagian apa pun dari segenap unsur intrinsik yang pembaca anggap penting dan mengganggu pikiran. Jangan abaikan segala ungkapan, kalimat, atau peristiwa yang menarik perhatian yang terdapat dalam teks. Perhatikan dengan benar apa pun yang menonjol, khas, penting, meragukan, dan yang diduga sebagai sinyal-sinyal yang tampaknya digunakan pengarang atau penyair untuk membangun tema atau estetika teks yang bersangkutan. Di tahap ini, pembaca dituntut menjadi pembaca yang kritis (crtical reader). Menyusun semacam daftar pertanyaan tentang teks yang kelak pembaca jawab sendiri.
Ø  Keempat, untuk menulis kritik sastra, pembaca memahami secara lengkap karya tersebut. Artinya, tidak hanya mengetahui kelebihan dan kekurangan karya yang hendak dikritik melainkan juga memahami, di mana dan dalam hal apa kelebihan karya tersebut. Kelebihan itulah yang perlu diungkapkan lebih luas-dan mendalam-dibandingkan mengungkapkan kekurangannya. Penulis kritik karya sastra yang baik seyogyanya membaca karya tersebut sedikitnya dua kali. Tujuan pembacaan ulang terutama, guna menemukan hal lain-makna baru atau aspek lain-yang mungkin luput dalam proses pembacaan pertama.
Ø  Kelima, menandai dan mencatat hal-hal yang penting; membuat daftar pertanyaan tentang berbagai hal yang berkaitan dengan teks karya sastra yang bersangkutan; dan membaca ulang serta menambahkan beberapa hal yang mungkin luput. Karya sastra yang baik cenderung melahirkan teori (baru); karya sastra yang baik, akan melahirkan kritikus (yang baik). Jadi, jika karya itu tidak cocok dianalisis atas dasar pendekatan yang ada maka kita perlu punya keberanian untuk mencari pendekatan yang sesuai. Jika begitu, boleh jadi diperlukan disiplin ilmu lain sebagai alat bantu analisisnya. Inilah yang disebut kritik perspektif, yaitu mencari perspektif dan kemungkinan lain, ketika teori atau pendekatan tertentu tidak dapat atau tidak sesuai diterapkan pada sebuah karya.
Ø   Keenam, mencari teori-teori, pendekatan, atau gagasan dari disiplin ilmu lain yang kita anggap cocok-sesuai untuk menjawab sejumlah pertanyaan yang sebelumnya sudah pembaca  siapkan. Jika sudah menemukan teori, pendekatan, atau gagasan dari disiplin ilmu lain itu, jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu yang kelak bakal menjadi bahan analisis pembaca dalam mengungkapkan kekayaan teks yang diteliti. Pembaca mesti mengutip bagian-bagian teks yang diteliti dan coba menjelaskannya berdasarkan teori, pendekatan, atau disiplin ilmu lain.
Ø  Ketujuh, jika pilihan jatuh pada kritik sastra umum atau kritik apresiatif, langkah pertama yang perlu dilakukan adalah membuat semacam resume, sinopsis atau ikhtisar karya sastra (novel, antologi cerpen, atau kumpulan puisi) yang sudah dibaca. Jika novel, buatlah ikhtisarnya sekitar dua atau tiga paragraf pendek, jika antologi cerpen, deskripsikan ada beberapa cerpen yang dihimpun di sana dan buatlah gambaran umum tentang tema-temanya; demikian juga jika yang dipilih antologi puisi. Hindari pengungkapan tema (novel, cerpen, puisi) yang berkepanjangan. Deskripsi dimaksudkan agar pembaca memperoleh gambaran sedikit tentang karya sastra tersebut beserta isinya. Sertakan juga berbagai hal yang menarik, khas, dan menonjol sebagai isyarat tentang kelebihan karya tersebut.
Ø  Kedelapan, idealnya, praktik kritik sastra berisi empat hal berikut, yaitu deskripsi, analisis, interpretasi, dan evaluasi. Pada tahap deskripsi pembaca baru mencoba memperkenalkan karya itu sebagaimana adanya. Misalnya, data publikasi, posisi pengarang, muatan isi, dan gambaran umum tentang karya tersebut. Porsi uraian kira-kira 10-15 persen dari keseluruhan tulisan kritik sastra itu. Berikutnya adalah analisis, kadang disertai juga penafsiran. Kadangkala penafsiran mendahului analisis. Meskipun urutannya analisis dan kemudian penafsiran, dalam praktiknya keduanya bisa saling mendahului, karena sifatnya saling melengkapi, komplementer. Bagian analisis dan penafsiran mendapat porsi lebih banyak dibandingkan deskripsi dan penilaian. Adapun evaluasi atau penilaian biasanya bergantung pada semangat kritikus yang bersangkutan dalam memperlakukan teks. Karya-karya agung, tanpa penilaian sekalipun, akan tetap tampak keagungannya berdasarkan analisis dan penafsiran kritikus. Namun, ada juga sebagian kritikus yang memandang bahwa hakikat kritik sastra tidak lain adalah penilaian.
Ø  Kesembilan, guna memperkuat analisis dan penafsiran kritikus, gunakan kutipan teks sebagai alat bukti. Demikian juga argumentasi yang kritikus ungkapkan perlu juga menyertakan kutipan-kutipan, baik dari teks karya sastra, maupun dari sumber-sumber teori sastra, pendekatan yang digunakan, dan disiplin ilmu lain sebagai alat bantu mengungkapkan makna dan kekayaan teks.

Sumber : Mahayana, Maman S. Kitab Kritik Sastra. Yayasan Pustaka Obor Indonesia.                           Jakarta.2015

1 komentar: