Repotase (yang Belum Benar-benar)
Investigasi
Imam Wahyudi
Penggunaan kata “investigasi” pada judul sebuah program
benar mencerminkan karater program tersebut ata sekedar nama yang dipilih
karena eye catching, ear catching,
“berwibawa”, serta berpotensi untuk menarik perhatian pemirsa. Metode dalam
investigasi adalah mencatat atau merekam fakta (menelusuri dokumen, wawancara,
perekaman, termasuk perekaman tesembunyi), peninjauan (penelusuran langsung ke
lapangan, termasuk melakukan penyamaran), dan percobaan (pengecekan silang,
simulasi, tes laboratorium, dan lain-lain). Liputan atau reportase investigasi
bukan sekedar memperoleh informasi terkait unsur 5W+1H (What, Who, Where, Why, When, How) seperti dalam straight news (berita langsung).
Terdapat beberapa konten investigasi yang perlu diragukan
atau dipertanyakan mengenai kebenarannya. Seperti liputan tentang “Hati-hati
Perampok Incar ATM Anda”. Topik ini perlu diungkap mengingat modus-modus pembobolan
rekening melalui ATM korban sampai kini terus berkembang.
Beberapa konten investigasi juga diduga tidak menyediakan
cukup informasi yang bisa membuat penonton yakin bahwa narasumber utama itu
benar-benar kredibel. Nama, wajah, dan suara narasumber utama Reportase
Investigasi disamarkan. Ini digunakan agar melindungi kesalamatan dari
narasumber utama yang telah “membocorkan” informasi rahasia. Namun, hal inilah
yang seperti memaksa penonton untuk percaya bahwa narasumber yang nama, wajah,
suaranya disamarkan memang narasumber utama yang terpercaya.
Bagaimanapun hal yang paling mengejutkan bahwa ada
oknum-oknum yang menawarkan jasa liputan investigasi. Oknum tersebut menawarkan
akan menyediakan segala hal mengenai reportase investigatif palsu termasuk
narasumber palsu.
Rutinitas Berita dan Sinisme
terhadap Buruh
Azhar Irfansyah
Berita tentang menumpuknya sampah yang ditinggalkan para
buruh memicu sikap antipati terhadap aksi buruh. Tuntutan parah buruh pun
seakan tenggelam dalam tumpukan sampah-sampah mereka. Selain itu berita rutin
yang selalu diberitakan selepas aksi buruh adalah kemacetan lalu lintas dan
kerugian akibat aksi. Aksi buruh akhirnya terkesan merugikan semua kalangan
kecuali para buruh peserta aksi itu sendiri. Berita ini pun disambut komentar
pembaca yang juga antipati terhadap tuntutan buruh, bahkan ada yang berkomentar
untuk menyarankan perusahaan untuk memecat buruh yang banyak menuntut.
Berita sinis ini membuat upaya buruh dalam memperjuangkan
nasibnya semakin berat. Dalam berbagai isu, buruh masih mengharapkan atau
bahkan bergantung pada media massa untuk menyebar luaskan aksi dan pernyataan
mereka.
Menurut Shoemaker dan Reese dalam Mediating the Message (1996:60) terdapat beberapa level pengaruh
yang menentukan isi berita suatu media. Secara berturut-turut tingkatan
tersebut yaitu: pengaruh individu pekerja media, pengaruh rutinitas media,
pengaruh organisasi media, pengaruh eksternal media, dan pengaruh ideologi
media. Begitupun corak produksi kapitalis membagi kelas pekerja ke dalam
kategori-kategori hierarkis: terampil, semiterampil, dan tak terampil.
Seorang wartawan yang juga bagian dari kelas pekerja
kemudian lebih menghayati posisinya sebagai pekerja berketerampilan atau kelas
menengah. Ia merasa menjadi bagian dari kelas di dalam kelas. Meskipun hidup
dari menukar tenaganya dengan upah seperti halnya seorang buruh. Namun,
sesungguhnya wartawan memiliki tingkat upah yang rendah daripada wartawan di
negara lain. Kebanggaan wartawan-wartawan Indonesia pada statusnya sebagai
pekerja terampil hanyalah kebanggan semu. Ilusi hierarki keterampilan dan kebanggaan
semua membuat wartawan tak rela upahnya yang pas-pasan tersaingi oleh upah
buruh yang kastanya lebih rendah dalam hierarki keterampilan. Para wartawan
penulis sinis akhirnya harus melawan perjuangan kelasnya sendiri.
Serikat Pekerja Media,
Kekerasan Simbolik, dan Prospek Masa Depan
Satrio Arismunandar
Pekerja di industri media dituntut memiliki kemampuan
beradaptasi yang tinggi terhadap lingkungan yang dinamis dan selalu berubah
cepat. Jika pekerja media mengabaikan atau tidak tanggap dengan tuntutan
lingkungan, dinamika perubahan ini akan menggilas mereka.
Serikat pekerja media bukan sekedar penting bagi
peningkatan kesejahteraan, tapi juga penting bagi kebebasan pers. Pertama,
jurnalisme yang kuat dan bebas tidak akan terwujud manakala para jurnalisnya
sendiri hidup dalam keadaan tidak sejahtera dan ketakutan. Kedua, hanya melalui
serikat pekerja media yang independen, para jurnalis akan memiliki penyuara
yang bisa bicara untuk kepentingan mereka. Ketiga, hanya melalui serikat
pekerja media, para jurnalis dapat mengembangkan rasa aman, yakni suatu
perasaan bahwa mereka memiliki perlindungan yang nyata bagi semua rekan sekerja.
Keberadaan serikat
pekerja jurnalis berkaitan dengan satu hal: rasa hormat, yaitu rasa hormat terhadap
diri sendiri sebagai individu, rasa hormat terhadap profesi dan kerja
jurnalisme yang dilakukan, serta rasa hormat dari publik, pemerintah, dan pihak
majikan.
Pertumbuhan serikat pekerja media sangatlah lamban karena
beberapa alasan, pertama, ada persepsi keliru bahwa orang yang mendirikan media
dianggap mempunyai idealisme dan tujuan luhur, jauh dari pertimbangan bisnis
ekonomis. Namun, ternyata para pemilik media lebih berorientasi profit.
Sehingga kelayakannya hanya diukur dari nilai ekonomi:rating, tiras, dan
pendapatan iklan yang masuk.
Kedua, wartawan dininabobokan atau terkecoh dengan konsep
atau kebanggaan palsu “kaum profesional”, yang dianggap berstatus lebih tinggi
daripada pekerja kasar seperti buruh pabrik, kuli, tukang, dll. Serikat pekerja
dianggap bukan jatah “kaum profesioal”, melainkan hanya cocok untuk para
pekerja kasar.
Ketiga, adanya ketidaksukaan dan hambatan dari pemilik
media terhadap usaha-usaha untuk mendirikan serikat pekerja. Pemilik media
melakukan berbagai bentuk “kekerasan simbolik” yang secara tersirat bisa
dimengerti oleh para pekerja bahwa keberadaan serikat pekerja itu sebenarnya
tidak disukai. Kekerasan simbolik misalnya terjadi perlakuan pilih kasi yang
tidak berdasarkan prestasi kerja melainkan pekerja yang loyal, patuh, dan
mengikuti apa saja semua kemauan pemilik media akan dipromosikan dan
diperlakukan lebih baik, dari segi posisi jabatan, gaji, bonus, dll. Sedangkan
pekerja yang mendukung berdirinya serikat pekerja media biasanya diperlakukan
lebih buruk, tidak diberi posisi jabatan strategis, serta karirnya dihambat.
Kekerasan simbolik yang lain adalah mengembangkan opini di lingkungan
perusahaan bahwa keberadaan serikat pekerja justru akan merusak kinerja
perusahaan, menciptakan konflik yang tidak perlu antara pimpinan dan bawahan,
serta merusak “hubungan baik yang bersifat kekeluargaan” antara pemilik media
dan karyawan.
Demi memajukan serikat pekerja media setidaknya ada tiga
fokus garapan yang harus mereka lakukan, pertama dibentuk serikat pekerja yang
hanya mengurusi soal kebutuhan dan kesejahteraan karyawan. Kedua, serikat
pekerja media yang memfokuskan diri pada hubungan antara karyawan dengan
manajemen perusahaan. Serikat pekerja ini berfungsi sebagai mediator antara
kedua belah pihak, serta menjembatani masalah yang timbul antara karyawan
dengan manajemen perusahaan. Ketiga, serikat pekerja media yang memfokuskan
diri pada isu-isu strategis perusahaan. Serikat pekerja tidak cukup hanya
mengurusi karyawan, tapi juga ikut duduk dengan direksi lain untuk menentukan
arah kebijakan perusahaan. Dengan kata lain, serikat pekerja ikut bermain dalam
tataran politis di perusahaan, termasuk menyetujui atau tidak menyetujui
pimpinan suatu perusahaan.
Serikat pekerja media juga bisa memperjuangkan
independensi redaksi, serta pemberian durasi dan ruang media bagi konten-konten
yang mencerdaskan dan mendidik, yang selama ini sering dikalahkan oleh konten-konten
“sampah”, yang dilandasi oleh orientasi profit ekonomis semata.
Referensi, Remotivi. 2015. Orde Media (Kajian Televisi dan Media di Indonesia Pasca-Orde Baru). Yogyakarta. Penerbit Insistpress