Repotase (yang Belum Benar-benar) Investigasi
Imam Wahyudi
Penggunaan kata “investigasi” pada judul sebuah program benar mencerminkan karater program tersebut ata sekedar nama yang dipilih karena eye catching, ear catching, “berwibawa”, serta berpotensi untuk menarik perhatian pemirsa. Metode dalam investigasi adalah mencatat atau merekam fakta (menelusuri dokumen, wawancara, perekaman, termasuk perekaman tesembunyi), peninjauan (penelusuran langsung ke lapangan, termasuk melakukan penyamaran), dan percobaan (pengecekan silang, simulasi, tes laboratorium, dan lain-lain). Liputan atau reportase investigasi bukan sekedar memperoleh informasi terkait unsur 5W+1H (What, Who, Where, Why, When, How) seperti dalam straight news (berita langsung).
Terdapat beberapa konten investigasi yang perlu diragukan atau dipertanyakan mengenai kebenarannya. Seperti liputan tentang “Hati-hati Perampok Incar ATM Anda”. Topik ini perlu diungkap mengingat modus-modus pembobolan rekening melalui ATM korban sampai kini terus berkembang.
Beberapa konten investigasi juga diduga tidak menyediakan cukup informasi yang bisa membuat penonton yakin bahwa narasumber utama itu benar-benar kredibel. Nama, wajah, dan suara narasumber utama Reportase Investigasi disamarkan. Ini digunakan agar melindungi kesalamatan dari narasumber utama yang telah “membocorkan” informasi rahasia. Namun, hal inilah yang seperti memaksa penonton untuk percaya bahwa narasumber yang nama, wajah, suaranya disamarkan memang narasumber utama yang terpercaya.
Bagaimanapun hal yang paling mengejutkan bahwa ada oknum-oknum yang menawarkan jasa liputan investigasi. Oknum tersebut menawarkan akan menyediakan segala hal mengenai reportase investigatif palsu termasuk narasumber palsu.
Rutinitas Berita dan Sinisme terhadap Buruh
Azhar Irfansyah
Berita tentang menumpuknya sampah yang ditinggalkan para buruh memicu sikap antipati terhadap aksi buruh. Tuntutan parah buruh pun seakan tenggelam dalam tumpukan sampah-sampah mereka. Selain itu berita rutin yang selalu diberitakan selepas aksi buruh adalah kemacetan lalu lintas dan kerugian akibat aksi. Aksi buruh akhirnya terkesan merugikan semua kalangan kecuali para buruh peserta aksi itu sendiri. Berita ini pun disambut komentar pembaca yang juga antipati terhadap tuntutan buruh, bahkan ada yang berkomentar untuk menyarankan perusahaan untuk memecat buruh yang banyak menuntut.
Berita sinis ini membuat upaya buruh dalam memperjuangkan nasibnya semakin berat. Dalam berbagai isu, buruh masih mengharapkan atau bahkan bergantung pada media massa untuk menyebar luaskan aksi dan pernyataan mereka.
Menurut Shoemaker dan Reese dalam Mediating the Message (1996:60) terdapat beberapa level pengaruh yang menentukan isi berita suatu media. Secara berturut-turut tingkatan tersebut yaitu: pengaruh individu pekerja media, pengaruh rutinitas media, pengaruh organisasi media, pengaruh eksternal media, dan pengaruh ideologi media. Begitupun corak produksi kapitalis membagi kelas pekerja ke dalam kategori-kategori hierarkis: terampil, semiterampil, dan tak terampil.
Seorang wartawan yang juga bagian dari kelas pekerja kemudian lebih menghayati posisinya sebagai pekerja berketerampilan atau kelas menengah. Ia merasa menjadi bagian dari kelas di dalam kelas. Meskipun hidup dari menukar tenaganya dengan upah seperti halnya seorang buruh. Namun, sesungguhnya wartawan memiliki tingkat upah yang rendah daripada wartawan di negara lain. Kebanggaan wartawan-wartawan Indonesia pada statusnya sebagai pekerja terampil hanyalah kebanggan semu. Ilusi hierarki keterampilan dan kebanggaan semua membuat wartawan tak rela upahnya yang pas-pasan tersaingi oleh upah buruh yang kastanya lebih rendah dalam hierarki keterampilan. Para wartawan penulis sinis akhirnya harus melawan perjuangan kelasnya sendiri.
Serikat Pekerja Media, Kekerasan Simbolik, dan Prospek Masa Depan
Satrio Arismunandar
Pekerja di industri media dituntut memiliki kemampuan beradaptasi yang tinggi terhadap lingkungan yang dinamis dan selalu berubah cepat. Jika pekerja media mengabaikan atau tidak tanggap dengan tuntutan lingkungan, dinamika perubahan ini akan menggilas mereka.
Serikat pekerja media bukan sekedar penting bagi peningkatan kesejahteraan, tapi juga penting bagi kebebasan pers. Pertama, jurnalisme yang kuat dan bebas tidak akan terwujud manakala para jurnalisnya sendiri hidup dalam keadaan tidak sejahtera dan ketakutan. Kedua, hanya melalui serikat pekerja media yang independen, para jurnalis akan memiliki penyuara yang bisa bicara untuk kepentingan mereka. Ketiga, hanya melalui serikat pekerja media, para jurnalis dapat mengembangkan rasa aman, yakni suatu perasaan bahwa mereka memiliki perlindungan yang nyata bagi semua rekan sekerja.
Keberadaan  serikat pekerja jurnalis berkaitan dengan satu hal: rasa hormat, yaitu rasa hormat terhadap diri sendiri sebagai individu, rasa hormat terhadap profesi dan kerja jurnalisme yang dilakukan, serta rasa hormat dari publik, pemerintah, dan pihak majikan.
Pertumbuhan serikat pekerja media sangatlah lamban karena beberapa alasan, pertama, ada persepsi keliru bahwa orang yang mendirikan media dianggap mempunyai idealisme dan tujuan luhur, jauh dari pertimbangan bisnis ekonomis. Namun, ternyata para pemilik media lebih berorientasi profit. Sehingga kelayakannya hanya diukur dari nilai ekonomi:rating, tiras, dan pendapatan iklan yang masuk.
Kedua, wartawan dininabobokan atau terkecoh dengan konsep atau kebanggaan palsu “kaum profesional”, yang dianggap berstatus lebih tinggi daripada pekerja kasar seperti buruh pabrik, kuli, tukang, dll. Serikat pekerja dianggap bukan jatah “kaum profesioal”, melainkan hanya cocok untuk para pekerja kasar.
Ketiga, adanya ketidaksukaan dan hambatan dari pemilik media terhadap usaha-usaha untuk mendirikan serikat pekerja. Pemilik media melakukan berbagai bentuk “kekerasan simbolik” yang secara tersirat bisa dimengerti oleh para pekerja bahwa keberadaan serikat pekerja itu sebenarnya tidak disukai. Kekerasan simbolik misalnya terjadi perlakuan pilih kasi yang tidak berdasarkan prestasi kerja melainkan pekerja yang loyal, patuh, dan mengikuti apa saja semua kemauan pemilik media akan dipromosikan dan diperlakukan lebih baik, dari segi posisi jabatan, gaji, bonus, dll. Sedangkan pekerja yang mendukung berdirinya serikat pekerja media biasanya diperlakukan lebih buruk, tidak diberi posisi jabatan strategis, serta karirnya dihambat. Kekerasan simbolik yang lain adalah mengembangkan opini di lingkungan perusahaan bahwa keberadaan serikat pekerja justru akan merusak kinerja perusahaan, menciptakan konflik yang tidak perlu antara pimpinan dan bawahan, serta merusak “hubungan baik yang bersifat kekeluargaan” antara pemilik media dan karyawan.
Demi memajukan serikat pekerja media setidaknya ada tiga fokus garapan yang harus mereka lakukan, pertama dibentuk serikat pekerja yang hanya mengurusi soal kebutuhan dan kesejahteraan karyawan. Kedua, serikat pekerja media yang memfokuskan diri pada hubungan antara karyawan dengan manajemen perusahaan. Serikat pekerja ini berfungsi sebagai mediator antara kedua belah pihak, serta menjembatani masalah yang timbul antara karyawan dengan manajemen perusahaan. Ketiga, serikat pekerja media yang memfokuskan diri pada isu-isu strategis perusahaan. Serikat pekerja tidak cukup hanya mengurusi karyawan, tapi juga ikut duduk dengan direksi lain untuk menentukan arah kebijakan perusahaan. Dengan kata lain, serikat pekerja ikut bermain dalam tataran politis di perusahaan, termasuk menyetujui atau tidak menyetujui pimpinan suatu perusahaan.
Serikat pekerja media juga bisa memperjuangkan independensi redaksi, serta pemberian durasi dan ruang media bagi konten-konten yang mencerdaskan dan mendidik, yang selama ini sering dikalahkan oleh konten-konten “sampah”, yang dilandasi oleh orientasi profit ekonomis semata.

Referensi, Remotivi. 2015. Orde Media (Kajian Televisi dan Media di Indonesia Pasca-Orde Baru). Yogyakarta. Penerbit Insistpress


Buku ini berisi tentang kritik terhadap dunia pertelivisian Indonesia yang semakin berkembang seiring berlalunya Era Orde baru ke Era Demokrasi namun masih banyak siaran televisi yang berisi konten-konten yang tidak pantas ataupun berbahaya jika di tonton. Tulisan ini merupakan summary dari buku Orde Media (Kajian Televisi dan Media di Indonesia Pasca-Orde Baru).
Mereka para pemikir beraliran kritis-kaum Marxis-menganggap televisi sebagai alat yang dimanfaatkan para pemilik modal besar untuk melenakan, membuat bodoh, dan mendorong masyarakat enggan berpikir tentang masalah-masalah mendasar terkait penderitaan rakyat banyak. Dengan kata lain, televisi adalah alat yang disengaja dikembangkan para penguasa modal untuk menipu dan membuat masyarakat cuma berpikir tentang hal-hal remeh dan merasa dunia sebenarnya “baik-baik saja”.
Televisi komersial adalah bisnis. Pemiliknya sekedar cari uang. Keuntungan diperoleh dari selisih pemasukan iklan dengan biaya produksi. Realitas bisnislah yang menyebabkan mereka terpaksa melahirkan program-program murahan seperti yang dikeluhkan masyarakat. Banyak program di berbagai stasiun televisi yang mengudara secara nasional di Indonesia memang bukan saja bernilai estetika rendah, melainkan juga merusak masyarakat. Contoh-contohnya terentang dari obrolan mesum, pengobrak-abrikan kebudayaan, gosip yang berpotensi menghancurkan nama baik, pengeksposan kehidupan pribadi, pelecehan perempuan, penghinaan fisik, kekerasan yang berdarah-darah, kebohongan kuis, kebohongan reportase investigatif, propaganda politik pemilik yang terang-terangan dalam berita dan kuis, penyebaran agama yang memecah bangsa, tampilan setan di pagi hari, dan sebagainya.
Orde Media : Sebuah pengantar
Roy Thaniago (Direktur Remotivi 2010-2015)
Keruntuhan suatu rezim fasis atau otoriter selalu disertai dengan harapan akan lenyapnya dominasi, kekerasan, dan manipulasi. Namun, kuasa kaum oligarki seperti halnya perlombaan estafet yang pada gilirannya mengoper tongkat estafet kekuasaan. Tongkat itu kini berada di tangan industri media. Kaum oligarki melalui industri media berkuasa dengan merumuskan percakapan ratusan juta warga Indonesia. Media mengatur apa yang seharusnya dibicarakan dan apa yang dihindari untuk dibicarakan. Ruang publik disesaki oleh kepentingan elite untuk melayani nafsu ekonomi-politiknya. Kerja media dioperasikan dengan bersandar semata-mata pada pasar. Padahal, pasar adalah rimba penaklukan antarspesies.
Informasi yang diproduksi kebanyakan media bukan diproyeksikan untuk memberdayakan, melainkan memperdaya warga agar giat mengonsumsi dan menaruh perhatian pada isu-isu yang diagendakan media, yang sering kali menggeser fokus subtansinya ke remeh-temeh di seputarnya. Warga dijauhkan dari hal-hal subtansial, dan didekatkan pada hal-hal bombastis, karena penonton dipandang sebagai konsumen, bukan warga negara yang punya hak dan akses atas informasi yang benar dan bermutu, yang bisa dipakai sebagai pertimbangan membuat tindakan.
Kekuasaan media terlihat dalam hal politik ketika Pemilu 2014, media telah berkuasa dalam memilihkan pemimpin negara, melancarkan agenda elite politik, mengadonnya menjadi komoditas, dan meraup untung dari pertikaian horizontal yang terjadi di antara para pendukung politik. Semua itu dilakukan media sambil terus mengulang istilah “pendidikan politik”, “pesta rakyat”, atau “partisipasi publik”, seolah ingin meyakinkan bahwa kita sedang mempraktikkan demokrasi. Maka, media tidak saja mengatur selera busana dan mendikte cara mengisi waktu luang, tapi juga memilihkan presiden dan mengarahkan ke mana sebuah kebijakan publik harus bermuara, maka tibalah kita di era Orde Media.
 Metro Tv Effect
Samiaji Bintang
Tulisan ini berisi kritikan tentang bagaimana media televisi bertindak melebihi peran mereka sebagai media informasi. Ketika terjadi bencana alam laporan-laporan wartawan Metro Tv membangkitkan kesadaran dan solidaritas nasional serta partisipasi masyarakat luas. Metro Tv memanfaatkan simpati dan kedermawanan masyarakat dengan membuat program Indonesia Menangis yang menampung dan mengelola sumbangan publik. Hal ini pun di ikuti oleh stasiun TV One dan berbagai stasiun televisi lainnya. Seharusnya, media televisi mengarahkan pemirsa memberi bantuan lewat lembaga-lembaga bantuan yang berpengalaman dan profesional seperti Palang Merah Indonesia.
Jika masing-masing media berita yang semestinya bertugas sebagai “anjing penjaga” sibuk mengumpulkan dan menyalurkan dana bantuan kemanusian, siapa yang akan melaporkan dan memastikan miliaran dana bantuan itu benar-benar sampai ke tangan korban? Media sebagai pelopor dan “anjing penjaga” punya tugas penting: mengawasi proses rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana. Jangan sampai media menjadikan pemberitaan bencana yang intensif hanya trik mendongkrak popularitas dan prestise stasiun televisi berita.
Panggil Aku Wartawan
Indah Wulandari
Seorang produser berita malam Global Tv Agus Mundzir mengatakan bahwa “enggak ada media massa yang tidak memihak. Kalaupun ada, adanya di surga”. Para wartawan seringkali di kontrol oleh pemilik media dalam memberitakan sesuatu hal. Padah sesungguhnya berita itu harus cover both sides, berimbang, dan kerjanya harus berdasar Kode Etik Jurnalistik.
Wartawan juga diperas habis-habisan di lapangan untuk menghasilkan berita. Sesungguhnya menurut Kovach “seorang wartawan adalah makhluk asosial”. Asosial tidak sama dengan anti sosial. Seorang wartawan boleh mengemukakan pendapatnya, tetapi bukan dalam sebuah berita melainkan kolom opini. Setiap wartawan harus bersikap independen terhadap narasumber yang mereka liput atau wawancara.
Objektivitas bukanlah tujuan dari sebuah liputan jurnalistik, melainkan sebuah metode “disiplin dalam melakukan verifikasi”. Objektiv sebagai liputan yang berimbang (balance) tidak berat sebelah (fairness), dan akurat. Balance maupun fairness bukanlah sebuah tujuan, melainkan metode. Liputan yang balance malah bisa mengeruhkan kebenaran. Begitu pula dengan fairness. Prinsip profesionalisme wartawan ditentukan oleh dua hal, pertama sikap independensi wartawan dari setiap narasumbernya. Kedua adalah perlindungan terhadap audiens, pengiklan, dan citizen. Jika terjadi sebuah konflik, maka yang harus dilayani paling dahulu adalah citizen.
Maka, setiap reporter harus mengawal berita yang mereka liput di lapangan hingga ke proses editing. Liputan sebuah peristiwa adalah sebuah karya yang tanggung jawabnya terletak pada tiap indvidu reporter yang meliput.
Politik Media dalam Penyebutan “Ical” atau “ARB”
Kamil Alfi Arifin
Akronim tiga huruf “ARB” dianggap lebih mustajab dan mampu mendatangkan keuntungan dan kekuasaan politik bagi diri dan partainya. Pergantian inisial didasarkan pertimbangan marketing dan strategi politik untuk mendulang dukungan maupun suara pada pemilihan mendatang. Sebutan “Ical” juga identik dengan berbagai kasus-kasus yang bisa menghambat pencapresannya seperti kasus lumpur Lapindo yang sangat identik dengan akronim “Ical”.Sehingga, media-media di bawah kepemilikan Aburizal Bakrie menggunakan sebutan “ARB” bukan lagi “Ical”.
Pada penilaian yang ekstrem, memang tak ada media yang sepenuhnya netral. Netralitas itu hanya mitos. Ataupun jargon semata. Sekarang sudut pandang media menjadi seragam. Seragam dalam mendukung kepentingan satu orang dan golongan saja, yang tak lain para pemilik modal. Fungsi kritis media sebagai anjing penjaga bagi kekuasaan (baik ekonomi dan politik) yang menyimpang, kini malah berbeda. Muncullah anggapan yang pesimistis bahwa media sebagai anjing penjaga sudah dianggap semakin lunak pada majikannya. Ia hanya menggonggong pada orang lain, dan diam di hadapan sang tuan. Anjing-anjing itu sedang lapar, dan menengadah menjulurkan lidahnya pada para pemilik modal.
Noam Chomsky mengatakan bahwa media selalu memiliki bias-bias tertentu dalam dirinya. Media tidak pernah bisa memosikan dirinya seperti layaknya burung onta yang steril. Media pasti berpihak. Sialnya lagi, media berpihak dan loyal pertama-tama bukan pada warga melainkan pada para saudagar. Chomsky menuding media telah memainkan peran partisan dalam politik pencapresan yang menghamba pada kepentingan modal si pemilik media dengan menggunakan bahasa sebagai strategi. Media dengan sempurna menjelma sebagai alat tunggangan politik dan mesin propaganda yang gigih.

Referensi, Remotivi. 2015. Orde Media (Kajian Televisi dan Media di Indonesia Pasca-Orde Baru). Yogyakarta. Penerbit Insistpress


Novel ini merupakan karya Pramoedya Ananta Toer setelah melakukan reportase singkat di wilayah Banten Selatan pada akhir tahun 1957.
Novel ini menceritakan kehidupan seorang pemuda bernama Ranta bersama istrinya Ireng dalam menghadapi kesusahan hidup yang telah begitu lama mereka alami. Setiap hari mereka hidup serba kekurangan yang menyebabkan anak-anak mereka tak mampu bertahan hidup karena cacingan. Namun, di tengah kesulitan mereka ada saja yang tetap menindas mereka, dia adalah seorang Lurah di daerahnya yang bernama Juragan Musa. Ranta selalu diberikan perintah untuk mencuri bibit karet dengan upah yang sedikit, sebenarnya ia tidak ingin melakukan pekerjaan buruk itu namun karena takut oleh kekuasaan Juragan Musa dan kemiskinannya maka ia melakukannya dengan upah seringgit.
Suatu malam setelah melakukan pekerjaan Ranta pulang dengan tangan yang berdarah. Ireng sangat ketakutan melihat keadaan suaminya, untunglah ada dua orang singgah bermalam di bale di depan rumahnya dan Ranta pun dipapah oleh kedua orang petani singkong tersebut. Ranta menceritakan bahwa ia telah dipukuli oleh anak buah Juragan Musa setelah mencuri karena ia meminta upah namun ia balik dituduh telah mencuri bibit si Juragan Musa. Ranta berkata kepada istrinya bahwa mereka telah hidup dalam kesakitan melulu, kalau bukan daging yang sakit, yaa hati yang sakit. Kedua orang tersebut melihat Ranta yang sangat tegar menghadapi segala kesulitan, setelah keadaan Ranta membaik mereka memohon untuk pergi. Sebelum pergi Ranta meminta mereka untuk datang kembali dan mengajak kawannya yang lain.
Tidak lama setelah kepergiaan kedua orang tersebut, datanglah Juragan Musa berteriak memanggil Ranta, karena yang dipanggil tidak keluar maka Juragan Musa mengancam akan melaporkan Ranta kepada polisi. Sehingga, Ranta pun akhirnya keluar menemui Juragan Musa yang sudah terlihat marah. Namun, Ranta tak kalah marah seperti akan menerkam Juragan Musa. Perasaan ketakutan melihat Ranta seperti binatang buas membuat Juragan Musa melompat mundur sehingga aktentas dan tongkatnya terjatuh ke tanah dan dia sendiri lari terbirit-birit.
Tidak disangka kedua orang petani singkong itu datang bersama satu temannya yang pernah juga dipukuli oleh anggota Juragan Musa, dari orang ini mereka ketahui bahwa Juragan Musa merupakan anggota kelompok DI yang selalu menyebar teror di daerah mereka. Ranta dan keempat tamunya lalu berunding untuk melaporkan Juragan Musa kepada Komandan yang bertugas menjaga desa mereka. Setelah berkemas-kemas Ranta, istrinya Ireng, dan ketiga orang tersebut menuju ke markas komandan untuk membawa aktentas dan tongkat Juragan Musa sebagai bukti bahwa dia adalah anggota DI sehingga tidak pernah diteror oleh DI.
Juragan Musa dengan penuh ketakutan tiba di rumahnya yang disambut oleh istri mudanya yang sedang khawatir karena untuk pertama kali suaminya telat pulang. Dengan gusarnya Juragan Musa berteriak mencari bujangnya Rodjali, istrinya memberitahu bahwa Rodjali ua suruh pergi menyusul Juragan Musa. Mendengar hal itu Juragan Musa memarahi istrinya bahkan menuduh istrinya sebagai pembawa sial lalu ia masuk ke kamar mengambil keris pusakanya. Juragan berniat untuk pergi membunuh Ranta. Tibalah Rodjali yang kemudian di suruh oleh Juragan Musa untuk memanggil para anak buahnya yang merupakan anggota DI untuk berkumpul di rumahnya. Tak lama muncullah anak buah Juragan Musa yang diperintahkan mencari Ranta untuk dibunuh.
Juragan Musa yang ditinggal berdua dengan istrinya kemudian terlibat pertengkaran yang berujung penganiayaan terhadap istrinya. Namun, tak lama datang prajurit bersama Komandannya disertai dengan Ranta datang untuk menangkap Juragan Musa dengan bukti-bukti yang ditemukan di dalam tasnya. Juragan Musa tetap menolak dituduh sebagai anggota DI namun komandan terus mendesaknya agar mengaku. Tak lama kemudian Komandan mendapat kode dari anak buahnya jika ada orang yang datang. Komandan dan prajuritnya bersembunyi dan menyuruh Juragan Musa beserta istrinya bertingkah seperti biasanya. Tamu-tamu yang datang membuktikan bahwa Juragan Musa adalah seorang petinggi DI, ia akhirnya ditangkap oleh Komandan lalu di bawa ke Markas.
Ranta lalu diangkat menjadi Lurah sementara karena telah membantu Komandan mengamankan daerahnya. Sementara waktu Ranta bersama istrinya tinggal di rumah Juragan Musa karena rumahnya telah dibakar oleh anak buah Juragan Musa. Keesokan harinya ia bercerita kepada Rodjali bahwa jika seluruh warga bersatu maka semua bisa dikerjakan dan diperlukan persatuan agar desa mereka tetap aman dari para pemberontak yang telah sewaktu-waktu datang untuk memangsa mereka.
Datanglah Komandan bersama prajuritnya meminta bantuan Ranta agar mengerahkan warganya untuk melawan para pemberontak yang telah datang untuk menyerang kembali. Tetapi sebelum mereka berangkat istri Juragan Musa meminta diri untuk kembali ke kampungnya. Ranta mencegah dengan memperingatkan bahwa pemberontak telah bersiap menyerang dan sangat berbahaya jika dia tetap ingin keluar dari kampung. Namun, istri Juragan Musa tetap bersikeras pergi tanpa menghiraukan peringatan Ranta. Rodjali di suruh menyusul mantan majikannya agar istri Juragan Musa tetap aman.
Setelah malam tiba terjadilah pertempuran antara prajurit-prajurit bersama warga melawan pemberontak yang ingin membalas dendam atas ditangkapnya Juragan Musa. Akhirnya, pemberontak berhasil dikalahkan oleh persatuan antara prajurit dan warga. Hanya saja istri Juragan Musa yang menderita karena mendapat siksaan oleh pemberontak ketika ia sedang menunggu truk.
Kampung mereka kembali aman dibawah pimpinan Lurah Ranta. Komandan sangat berterimakasih atas bantuan Ranta beserta warganya dalam membantu memberantas pemberontak yang selalu menyebar ancaman. Lurah Ranta, Komandan, prajurit, dan warga bergotong-royong dalam membangun desa mereka kembali setelah porak-poranda akibat penindasan pemberontak DI. Istri Juragan Musa yang telah sehat kembali juga ingin turut membantu dalam menyejahterahkan desanya dengan membantu mengajar membaca dan menulis untuk anak-anak gadis dan istri-istri di desanya. Seluruh warga desa larut dalam kebahagian untuk menyejahterahkan hidup mereka dan juga untuk keturunan mereka.

Referensi :
Pramoedya. Ananta Toer. 2015. Sekali Peristiwa Di Banten Selatan. Jakarta. Lentera Dipantara.
Pramoedya Ananta Toer.                                       Sumber Foto: Geotimes


Pramoedya Ananta Toer adalah seorang sastrawan Indonesia yang terkenal di dalam, maupun di luar negeri dan mungkin penulis seperti dia muncul hanya sekali dalam satu generasi, atau malah dalam satu abad. Dia lahir pada 6 Februari 1925 di Blora, Jawa Tengah yang merupakan anak sulung dari M.Toer dengan Saidah. Pramoedya menikah pertama kalinya dengan Arfah Iljas  pada tahun 15 Januari 1950, namun harus berpisah pada tahun 1954. Pernikahan keduanya terjadi pada 1955 dengan Maimunah Thamrin.
Pendidikan formal Pramoedya bermula pada tahun 1929, ia masuk Sekolah Dasar Perguruan Budi Utomo, Blora. Ia lulus tahun 1939, setelah 10 tahun bersekolah yang semestinya hanya 7 tahun. Selepas itu Pram tidak bersekolah karena keinginannya ditolak untuk meneruskan ke MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) oleh ayahnya. Pada tahun 1940 ia mulai dapat belajar di Radio Vakschool, Surabaya dari uang hasil berjualan padi bersama ibunya. Kemudian ia pergi ke Jakarta lalu masuk Taman Siswa, Taman Dewasa Kelas II sambil bekerja sebagai juru ketik di Kantor Berita Jepang, Domei, namun pada saat sudah naik kelas III Jepang membubarkan sekolah tersebut. Pada bulan Februari 1944, ia mendapat kesempatan untuk bersekolah di sekolah “Stenografi Tjuo Sangiin.” Setalah tamat pada bulan Maret 1945 Pramoedya menjadi mahasiswa di Sekolah Tinggi Islam Gondangdia, di sini ia mempelajari filsafat, sosiologi dan psikolog. Pada bulan Mei 1953, Pram berangkat ke Belanda untuk belajar atas biaya Yayasan Kerja Sama Kebudayaan Belanda-Indonesia.
Selama tahun 1942 hingga Juni 1945 ia bekerja di Domei namun ia mengundurkan diri karena merasa diperlakukan tidak adil, karena surat pengunduran dirinya ditolak, dia memilih melarikan diri ke Jawa Timur hingga ke kaki gunung Kelut. Di masa perjuangan kemerdekaan ia menjadi anggota BKR (Badan Keamanan Rakyat) dengan pangkat Letnan II,tetapi ia tak lama dalam tentara karena menentang keras korupsi dan perdagangan gelap antara Jakarta yang diduduki Belanda dengan wilayah Republik di sekitarnya. Ia juga kecewa dengan cara TNI memecat prajurit dengan alasan yang kadang cukup sewenang-wenang. Pada tahun 1947, ia bekerja sebagai redaktur dan penerjemah di The Voice of Free Indonesia. Kemudian pada tahun 1950 ia bekerja di penerbit negeri Balai Poestaka sebagai penyunting di bagian sastra modern dan pernah menjadi redaktur majalah kanak-kanak Kunang-Kunang, tetapi pada akhir tahun 1951 ia meninggalkannya karena tidak puas dengan cara kerja pimpinannya. Akhirnya di bulan Januari 1952 ia mendirikan satu agensi kesusastaraan, yaitu Literary & Features Agency Duta (L & F Acy Duta) yang pada akhirnya bangkrut karena pemotongan atas anggaran belanja Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan (PPK) yang mengakibatkan krisis penerbitan.


Peran Orangtua terhadap Pramoedya
M.Toer adalah seorang nasionalis tulen tetapi tidak tergolong sayap kiri. Dia mencoret gelar bangsawan “Mas” dari namanya. Ayahnya terbiasa membeli buku termasuk beberapa karya Multatuli. Ayahnya seorang guru pada pemerintahan Belanda. Lalu memberi pelajaran di sekolah swasta untuk anak-anak miskin, termasuk Pram. Namun ia meninggalkan pengajaran karena sering dirintangi kolonial dan mulai mencari hiburan, berjudi. Sedangkan ibunya dari kaum feodal yang kaya tetapi perubahan pemikiran dan pendirian politik membuat ibunya melakukan segala hal sendiri.
Kedua orangtuanya mendidik Pramoedya menjadi manusia bebas dan tidak malu bekerja. Itu bertentangan dengan situasi ketika saat itu yang sebagian masyarakat bercita-cita menjadi pegawai negeri, yaitu golongan priyai. Ibunya pernah berkata “Jangan jadi pegawai negeri, jadilah majikan atas dirimu sendiri. Jangan makan keringat orang lain, makanlah keringatmu sendiri. Dan itu dibuktikan dengan kerja. Kalau nanti sudah besar, belajarlah di Eropa.”
Namun, ibu yang disayanginya meninggal pada bulan Mei 1942 ketika berusia 34 Tahun. Sedangkan ayahnya , meninggal pada tahun 1951.
Ideologi dan Pandangan Politik Pramoedya
Pengalaman masa kecil dan masa remaja (keharusan mengurus saudara-saudaranya sesudah ibunya meninggal) telah memberikannya pandangan tajam dan membentuknya sebagai individualis yang berpendirian keras. Ia berpegang teguh pada nilai-nilai demokrasi dan kemanusian. Ia hanya berpihak pada adil, benar, dan berprikemanusian bukan paham tertentu. Ia merasa sebagai seorang Renaisans karenanya dia percaya pada keadilan. Pram menganggap dirinya adalah manusia baik karena ia menginginkannya, bukan karena agama, Undang-Undang, atau paksaan. Menurutnya itu adalah pengertian humanis. Dia ingin dianggap manusia baik karena keinginannya, karena nuraninya, bukan karena sesuatu dari luar.
Sifatnya yang keras, menunjukkan bahwa dalam membela keadilan sosial dan kebenaran proletariat, dia selalu mengambil sikap yang jelas dan tegas,  tanpa merasa malu atau takut salah, dan menempatkan kebahagian buruh dan tani di atas segala kebahagian sekelas atau segolongan seperti yang dikenal oleh golongan borjuis.
Dilahirkan sebagai orang Jawa namun ketika umur 17 tahun ia telah mulai mengkritik budaya Jawa. Pram beranggapan bahwa jika ia mengikuti budaya Jawa maka ia akan menjadi budak. Budaya Jawa mementingkan kelas. Oleh sebab itu, ia membenci feodalisme yang dianggapnya sebagai salah satu hambatan utama untuk pembangunan negara. Dia menganggap golongan feodalisme Jawa ini menginjak-injak nilai humanisme. Sebagai seorang humanis, Ia memang bericita-cita untuk memperbaiki nasib rakyat jelata yang sengsara, dan membangun negara serta bangsa yang jauh ketinggalan dibandingkan dengan negara-negara lain pada waktu itu.
Pandangan politiknya adalah nasionalis dan selebihnya adalah individualis. Ia bertanggung jawab terhadap buah pikirannya sendiri. Dia tidak bergantung pada orang lain. Oleh karena itu ideologi Pramoedya adalah cinta akan keadilan, kebaikan dan alam serta nasionalisme. Jika ia melakukan kesalahan, maka ia akan mengakuinya.
Pandangan Pramoedya terhadap Agama
Pramoedya berpendapat bahwa agama adalah pengakuan iman manusia ketika berhadapan dengan Tuhan. Ia lebih menghargai sisi spiritual dan sisi pribadi agama daripada organisasi keagamaan yang dogmatis. Agama bagi kebanyakan orang yang percaya tidak memiliki nilai spiritual dan isi, melainkan hanya berarti penunaian serangkaian kewajiban sosial. Pramoedya mengakui dirinya menganut Saminisme, sebab itu ia melakukan apa saja yang dianggapnya benar.
Pramoedya dan Kepengarangannya
Pada awalnya, Pramoedya menggambarkan kehidupan disekitarnya, lantas ditinjau dari kurungan Belanda, lalu dari sudut-pandang seorang penulis miskin yang mengamati lingkungan miskinnya. Kemudian, buku-buku bernada politik dengan ciri moral yang kuat. Masalah–masalah yang dikupasnya adalah masalah-masalah dasar manusia; kecintaannya pada keluarga dan bangsa, kebenciannya pada kebatilan sesama manusia, kebahagian dan cacatnya.
Menurutnya seni bukan gelanggang untuk mengumandangkan kebebasan diri sendiri, tetapi berfungsi membawa kesejahteraan dan keselamatan lingkungannya. Salah satu tugas sastra adalah memperjelas dan memperkuat kebenaran serta keadilan. Pengarang dan seniman merupakan hati nurani masyarakat dan bangsanya. Apa yang dirasakan, dipikirkan, diharapkan, dan diinginkan bangsanya adalah bergetar dalam jiwanya.
Pramoedya mengembara dari dunia kekecewaan ke dunia harapan. Dunia kekecewaan adalah dunia kenyataan yang menjadi halangan, sedangkan dunia harapan adalah dunia impian yang memberi hasrat atau semangat rakyat bangsanya sendiri
Pramoedya menyukai penulis seperti John Steinbeck (1902-1968), William Saroyan (1908-1981), De Saint-Exupery (1900-1944), Lode Zielems (1901-1944), Maxim Gorki (1868-1936), Multatuli (1820-1887). Sehingga, tulisannya sedikit-banyak dipengaruhi oleh penulis-penulis di atas.
Karya-karya Pramoedya yang pernah diterbitkan, Kemudian Runtuhlah Majapahit (1942), Sepuluh Kepala NICA (1946), Kranji-Bekasi Jatuh (1947), Perburuan (1950), Keluarga Gerilya (1950), Mereka yang Dilumpuhkan (1951), Bukan Pasar Malam (1951), Di Tepi Kali Bekasi (1951), Cerita dari Blora (1952), Korupsi (1954), Cerita Calon Arang (1954), Midah Si Manis Bergigi Emas (1955), Kecapi (1956), Jalan yang Amat Panjang (1956), Cerita dari Jakarta (1957), Sekali Peristiwa di Banten Selatan (1959), Hoa Kiau di Indonesia (1960), Gadis Pantai (1962), Panggil Aku Kartini Saja (1962), Madun (1964), Kesempatan yang Kesekian (1965), Bumi Manusia (1980), Anak Semua Bangsa (1980), Jejak Langkah (1985), Rumah Kaca (1988), Nyanyi Sunyi Seorang Bisu (1995), Arus Balik (1995), Arok Dedes (1999), Mangir (2000), Larasati (2000).
Penghargaan yang diperoleh semasa hidup Pramoedya Ananta Toer, yaitu Freedom to Write Award dari PEN American Center (1988), Anugrah dari The Fund for Free Expression (1989), Wertheim Award (1995), Ramon Magsaysay (1995), UNESCO Madanjeet Singh Prize (1996), Doctor of Humane Letters (1999), Chanceller’s Distinguished Honor Award (1999), Chavalier de l’Ordre des Arts et des Letters (1999), New York Foundation for the Arts Award (2000), Fukuoka Cultural Grand Prize (2000), The Norwegian Authors Union (2004), dan Centenario Pablo Neruda (2004).
Pramoedya dan Penjara
Pramoedya menjalani hukuman penjara selama 14 tahun tanpa proses pengadilan melainkan hanya dengan tuduhan. Pertama kali dia di penjara pada 21 Juli 1947 oleh tentara Belanda ketika melakukan aksi militer pertama, namun kemudian dibebaskan 18 Desember 1949 akibat pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda.
Setelah menerbitkan buku Hoa Kiau di Indonesia yang dituduh berisi pembelaan pedagang-pedagang keturunan Cina, sehingga ia ditangkap dan tanpa proses pengadilan sehingga dia dipenjara selama 9 bulan.
Pada 13 Oktober 1965 ia dituduh terlibat dalam kegiatan-kegiatan LEKRA yang dianggap disusupi komunis, dan tanpa proses pengadilan ia ditahan di Rutan Militer Tangerang hingga bulan Juli 1969. Lalu dipindahkan ke penjara Karang Tengah, Nusakambangan. Pada 16 Agustus 1969 ia bersama tahanan politik dikirim ke Pulau Buru. Ia tiba sana pada 10 September 1969. Ia dipindahkan dari Pulau Buru pada 12 November 1979, dan kemudian di bebaskan pada 21 Desember 1979 namun ia tetap dikenakan peraturan wajib lapor, dan tidak mempunyai hak memilih dan dipilih dalam pemilu. Ia merasa telah diperlakukan sampai titik dasar kehinaan di Indonesia pada masa Orde Baru. Hal itu disebabkan karena Soeharto baru mengijinkannya menulis pada tahun ke-8 masa penahanannya dan ketika dia bebas dari penjara buku-buku yang ditulisnya di sita dari pasaran.
Menurutnya penjara adalah sebuah mikrokosmos bagi dunia :“Penjara kami adalah dunia kecil yang tersendiri dan terpencil. Buat mereka yang suka memperhatikan sesuatu, adalah suatu keuntungan hidup dipenjara untuk waktu pendek. Pendek saja. Kalau terlalu lama, dia sendiri akan terseret dan turut jadi pemain aktif.”

Hubungan Pramoedya dengan Tiongkok, Komunisme dan Lekra
Pramoedya berkunjung pertama kali ke Tiongkok 1956, ia melihat anak-anak bermain musik di taman, lalu tahun 1958 ia datang lagi dan taman itu telah kosong. Terakhir ia datang ke Tiongkok tahun 1960, ia ingin bertemu dengan sahabatnya dan dilarang sehingga ia tidak ingin menginjakkan kaki di bumi Tiongkok lagi karena tidak ada lagi segi-segi kemanusian.
Menurutnya komunisme itu ada 2 macam, yaitu sebagai sistem politik dan ideologi perorangan. Sebagai sistem politik sudah dibuktikan bahwa komunisme tidak demokratis. Masalahnya adalah apakah manusia hidup untuk sistem ataukah sistem untuk manusia. Jika manusia dilahirkan untuk sistem, maka manusia itu akan menderita. Walaupun manusia itu lahir tidak atas kemauannya sendiri, tapi aturan-aturan dari sistem belum tentu sesuai dengan individu. Maka karena itu, Pramoedya berpendapat bahwa demokrasi, seberapapun jeleknya sebagai sistem, tetapi lebih baik daripada komunisme. Manusia memiliki hak untuk bicara, juga ketika yang diungkapkannya keliru. Kalau hal itu terjadi, yang lain akan mengoreksinya.
Pramoedya  tidak pernah menjadi anggota partai Komunis, tetapi ikut dalam lembaga yang bernaung di bawah PKI, yaitu LEKRA (Lembaga Kebudjaan Rakjat). Namun menurutnya tidak ada jeleknya mempunyai kawan dalam ikatan yang lebih besar, asalkan tidak ada kejahatan.
Peristiwa Akhir Dan Harapan Pramoedya
Pramoedya meninggal pada usia 81 tahun tanggal 30 April 2006. Ia dianggap pantas meraih penghargaan Nobel Sastra. Ia memiliki pendirian yang tetap dan sikapnya selalu berkepala tegak, baik pada masa dekolonisasi Belanda maupun pada pemerintahan Seokarno dan rezim Soeharto. Karya-karyanya telah menciptakan gambaran tidak terhapuskan tentang tanah-air dan sejarahnya, dalam masa lalu yang jauh maupun dekat. Inti karyanya adalah nasib rakyat. Rakyat dalam kehidupan sehari-hari, rakyat yang bertahan untuk mencari nafkah, rakyat yang dilukiskan dalam ambisi-ambisinya yang sering dikekang.
Ia berharap bahwa apa yang dibaca dalam tulisannya akan memberikan kekuatan pada pembacanya, memberi kekuatan untuk tetap berpihak yang benar, pada yang adil, pada yang indah. Pramoedya juga sangat menaruh harapan pada generasi muda untuk memberikan jawaban atas jalannya sejarah, bagaimana mereka melakukannya, itu urusan mereka (generasi muda).
Dua bulan sebelum meninggal Pramoedya Ananta Toer berkata bahwa “Sudah saya menulis apa yang ingin saya tulis. Sudah saya punya apa yang ingin saya punya”



Sumber referensi
Ananta Toer, Pramoedya. 2015. Bumi Manusia. Jakarta. Lentera Nusantara.
Snoek Kees dan Augus Hans den Boef. 2008. Saya Ingin Lihat Semua Ini Berakhir: Esai dan              Wawancara dengan Pramoedya Ananta Toer. Depok: Komunitas Bambu.
Young Hun, Koh. 2011. Pramoedya Menggugat: Melacak Jejak Indonesia. Jakarta: PT.            Gramedia Pustaka Utama.