Orde Media (Kajian Televisi dan Media di Indonesia Pasca-Orde Baru) Bagian Pertama



Buku ini berisi tentang kritik terhadap dunia pertelivisian Indonesia yang semakin berkembang seiring berlalunya Era Orde baru ke Era Demokrasi namun masih banyak siaran televisi yang berisi konten-konten yang tidak pantas ataupun berbahaya jika di tonton. Tulisan ini merupakan summary dari buku Orde Media (Kajian Televisi dan Media di Indonesia Pasca-Orde Baru).
Mereka para pemikir beraliran kritis-kaum Marxis-menganggap televisi sebagai alat yang dimanfaatkan para pemilik modal besar untuk melenakan, membuat bodoh, dan mendorong masyarakat enggan berpikir tentang masalah-masalah mendasar terkait penderitaan rakyat banyak. Dengan kata lain, televisi adalah alat yang disengaja dikembangkan para penguasa modal untuk menipu dan membuat masyarakat cuma berpikir tentang hal-hal remeh dan merasa dunia sebenarnya “baik-baik saja”.
Televisi komersial adalah bisnis. Pemiliknya sekedar cari uang. Keuntungan diperoleh dari selisih pemasukan iklan dengan biaya produksi. Realitas bisnislah yang menyebabkan mereka terpaksa melahirkan program-program murahan seperti yang dikeluhkan masyarakat. Banyak program di berbagai stasiun televisi yang mengudara secara nasional di Indonesia memang bukan saja bernilai estetika rendah, melainkan juga merusak masyarakat. Contoh-contohnya terentang dari obrolan mesum, pengobrak-abrikan kebudayaan, gosip yang berpotensi menghancurkan nama baik, pengeksposan kehidupan pribadi, pelecehan perempuan, penghinaan fisik, kekerasan yang berdarah-darah, kebohongan kuis, kebohongan reportase investigatif, propaganda politik pemilik yang terang-terangan dalam berita dan kuis, penyebaran agama yang memecah bangsa, tampilan setan di pagi hari, dan sebagainya.
Orde Media : Sebuah pengantar
Roy Thaniago (Direktur Remotivi 2010-2015)
Keruntuhan suatu rezim fasis atau otoriter selalu disertai dengan harapan akan lenyapnya dominasi, kekerasan, dan manipulasi. Namun, kuasa kaum oligarki seperti halnya perlombaan estafet yang pada gilirannya mengoper tongkat estafet kekuasaan. Tongkat itu kini berada di tangan industri media. Kaum oligarki melalui industri media berkuasa dengan merumuskan percakapan ratusan juta warga Indonesia. Media mengatur apa yang seharusnya dibicarakan dan apa yang dihindari untuk dibicarakan. Ruang publik disesaki oleh kepentingan elite untuk melayani nafsu ekonomi-politiknya. Kerja media dioperasikan dengan bersandar semata-mata pada pasar. Padahal, pasar adalah rimba penaklukan antarspesies.
Informasi yang diproduksi kebanyakan media bukan diproyeksikan untuk memberdayakan, melainkan memperdaya warga agar giat mengonsumsi dan menaruh perhatian pada isu-isu yang diagendakan media, yang sering kali menggeser fokus subtansinya ke remeh-temeh di seputarnya. Warga dijauhkan dari hal-hal subtansial, dan didekatkan pada hal-hal bombastis, karena penonton dipandang sebagai konsumen, bukan warga negara yang punya hak dan akses atas informasi yang benar dan bermutu, yang bisa dipakai sebagai pertimbangan membuat tindakan.
Kekuasaan media terlihat dalam hal politik ketika Pemilu 2014, media telah berkuasa dalam memilihkan pemimpin negara, melancarkan agenda elite politik, mengadonnya menjadi komoditas, dan meraup untung dari pertikaian horizontal yang terjadi di antara para pendukung politik. Semua itu dilakukan media sambil terus mengulang istilah “pendidikan politik”, “pesta rakyat”, atau “partisipasi publik”, seolah ingin meyakinkan bahwa kita sedang mempraktikkan demokrasi. Maka, media tidak saja mengatur selera busana dan mendikte cara mengisi waktu luang, tapi juga memilihkan presiden dan mengarahkan ke mana sebuah kebijakan publik harus bermuara, maka tibalah kita di era Orde Media.
 Metro Tv Effect
Samiaji Bintang
Tulisan ini berisi kritikan tentang bagaimana media televisi bertindak melebihi peran mereka sebagai media informasi. Ketika terjadi bencana alam laporan-laporan wartawan Metro Tv membangkitkan kesadaran dan solidaritas nasional serta partisipasi masyarakat luas. Metro Tv memanfaatkan simpati dan kedermawanan masyarakat dengan membuat program Indonesia Menangis yang menampung dan mengelola sumbangan publik. Hal ini pun di ikuti oleh stasiun TV One dan berbagai stasiun televisi lainnya. Seharusnya, media televisi mengarahkan pemirsa memberi bantuan lewat lembaga-lembaga bantuan yang berpengalaman dan profesional seperti Palang Merah Indonesia.
Jika masing-masing media berita yang semestinya bertugas sebagai “anjing penjaga” sibuk mengumpulkan dan menyalurkan dana bantuan kemanusian, siapa yang akan melaporkan dan memastikan miliaran dana bantuan itu benar-benar sampai ke tangan korban? Media sebagai pelopor dan “anjing penjaga” punya tugas penting: mengawasi proses rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana. Jangan sampai media menjadikan pemberitaan bencana yang intensif hanya trik mendongkrak popularitas dan prestise stasiun televisi berita.
Panggil Aku Wartawan
Indah Wulandari
Seorang produser berita malam Global Tv Agus Mundzir mengatakan bahwa “enggak ada media massa yang tidak memihak. Kalaupun ada, adanya di surga”. Para wartawan seringkali di kontrol oleh pemilik media dalam memberitakan sesuatu hal. Padah sesungguhnya berita itu harus cover both sides, berimbang, dan kerjanya harus berdasar Kode Etik Jurnalistik.
Wartawan juga diperas habis-habisan di lapangan untuk menghasilkan berita. Sesungguhnya menurut Kovach “seorang wartawan adalah makhluk asosial”. Asosial tidak sama dengan anti sosial. Seorang wartawan boleh mengemukakan pendapatnya, tetapi bukan dalam sebuah berita melainkan kolom opini. Setiap wartawan harus bersikap independen terhadap narasumber yang mereka liput atau wawancara.
Objektivitas bukanlah tujuan dari sebuah liputan jurnalistik, melainkan sebuah metode “disiplin dalam melakukan verifikasi”. Objektiv sebagai liputan yang berimbang (balance) tidak berat sebelah (fairness), dan akurat. Balance maupun fairness bukanlah sebuah tujuan, melainkan metode. Liputan yang balance malah bisa mengeruhkan kebenaran. Begitu pula dengan fairness. Prinsip profesionalisme wartawan ditentukan oleh dua hal, pertama sikap independensi wartawan dari setiap narasumbernya. Kedua adalah perlindungan terhadap audiens, pengiklan, dan citizen. Jika terjadi sebuah konflik, maka yang harus dilayani paling dahulu adalah citizen.
Maka, setiap reporter harus mengawal berita yang mereka liput di lapangan hingga ke proses editing. Liputan sebuah peristiwa adalah sebuah karya yang tanggung jawabnya terletak pada tiap indvidu reporter yang meliput.
Politik Media dalam Penyebutan “Ical” atau “ARB”
Kamil Alfi Arifin
Akronim tiga huruf “ARB” dianggap lebih mustajab dan mampu mendatangkan keuntungan dan kekuasaan politik bagi diri dan partainya. Pergantian inisial didasarkan pertimbangan marketing dan strategi politik untuk mendulang dukungan maupun suara pada pemilihan mendatang. Sebutan “Ical” juga identik dengan berbagai kasus-kasus yang bisa menghambat pencapresannya seperti kasus lumpur Lapindo yang sangat identik dengan akronim “Ical”.Sehingga, media-media di bawah kepemilikan Aburizal Bakrie menggunakan sebutan “ARB” bukan lagi “Ical”.
Pada penilaian yang ekstrem, memang tak ada media yang sepenuhnya netral. Netralitas itu hanya mitos. Ataupun jargon semata. Sekarang sudut pandang media menjadi seragam. Seragam dalam mendukung kepentingan satu orang dan golongan saja, yang tak lain para pemilik modal. Fungsi kritis media sebagai anjing penjaga bagi kekuasaan (baik ekonomi dan politik) yang menyimpang, kini malah berbeda. Muncullah anggapan yang pesimistis bahwa media sebagai anjing penjaga sudah dianggap semakin lunak pada majikannya. Ia hanya menggonggong pada orang lain, dan diam di hadapan sang tuan. Anjing-anjing itu sedang lapar, dan menengadah menjulurkan lidahnya pada para pemilik modal.
Noam Chomsky mengatakan bahwa media selalu memiliki bias-bias tertentu dalam dirinya. Media tidak pernah bisa memosikan dirinya seperti layaknya burung onta yang steril. Media pasti berpihak. Sialnya lagi, media berpihak dan loyal pertama-tama bukan pada warga melainkan pada para saudagar. Chomsky menuding media telah memainkan peran partisan dalam politik pencapresan yang menghamba pada kepentingan modal si pemilik media dengan menggunakan bahasa sebagai strategi. Media dengan sempurna menjelma sebagai alat tunggangan politik dan mesin propaganda yang gigih.

Referensi, Remotivi. 2015. Orde Media (Kajian Televisi dan Media di Indonesia Pasca-Orde Baru). Yogyakarta. Penerbit Insistpress

1 komentar:

  1. Terimakasih telah merehal buku INSISTPress. Tulisan ini ikut dilansirkan ke: http://blog.insist.or.id/insistpress/id/arsip/13332

    BalasHapus