Orde Media (Kajian Televisi dan Media di Indonesia Pasca-Orde Baru) Bagian Kedua



Repotase (yang Belum Benar-benar) Investigasi
Imam Wahyudi
Penggunaan kata “investigasi” pada judul sebuah program benar mencerminkan karater program tersebut ata sekedar nama yang dipilih karena eye catching, ear catching, “berwibawa”, serta berpotensi untuk menarik perhatian pemirsa. Metode dalam investigasi adalah mencatat atau merekam fakta (menelusuri dokumen, wawancara, perekaman, termasuk perekaman tesembunyi), peninjauan (penelusuran langsung ke lapangan, termasuk melakukan penyamaran), dan percobaan (pengecekan silang, simulasi, tes laboratorium, dan lain-lain). Liputan atau reportase investigasi bukan sekedar memperoleh informasi terkait unsur 5W+1H (What, Who, Where, Why, When, How) seperti dalam straight news (berita langsung).
Terdapat beberapa konten investigasi yang perlu diragukan atau dipertanyakan mengenai kebenarannya. Seperti liputan tentang “Hati-hati Perampok Incar ATM Anda”. Topik ini perlu diungkap mengingat modus-modus pembobolan rekening melalui ATM korban sampai kini terus berkembang.
Beberapa konten investigasi juga diduga tidak menyediakan cukup informasi yang bisa membuat penonton yakin bahwa narasumber utama itu benar-benar kredibel. Nama, wajah, dan suara narasumber utama Reportase Investigasi disamarkan. Ini digunakan agar melindungi kesalamatan dari narasumber utama yang telah “membocorkan” informasi rahasia. Namun, hal inilah yang seperti memaksa penonton untuk percaya bahwa narasumber yang nama, wajah, suaranya disamarkan memang narasumber utama yang terpercaya.
Bagaimanapun hal yang paling mengejutkan bahwa ada oknum-oknum yang menawarkan jasa liputan investigasi. Oknum tersebut menawarkan akan menyediakan segala hal mengenai reportase investigatif palsu termasuk narasumber palsu.
Rutinitas Berita dan Sinisme terhadap Buruh
Azhar Irfansyah
Berita tentang menumpuknya sampah yang ditinggalkan para buruh memicu sikap antipati terhadap aksi buruh. Tuntutan parah buruh pun seakan tenggelam dalam tumpukan sampah-sampah mereka. Selain itu berita rutin yang selalu diberitakan selepas aksi buruh adalah kemacetan lalu lintas dan kerugian akibat aksi. Aksi buruh akhirnya terkesan merugikan semua kalangan kecuali para buruh peserta aksi itu sendiri. Berita ini pun disambut komentar pembaca yang juga antipati terhadap tuntutan buruh, bahkan ada yang berkomentar untuk menyarankan perusahaan untuk memecat buruh yang banyak menuntut.
Berita sinis ini membuat upaya buruh dalam memperjuangkan nasibnya semakin berat. Dalam berbagai isu, buruh masih mengharapkan atau bahkan bergantung pada media massa untuk menyebar luaskan aksi dan pernyataan mereka.
Menurut Shoemaker dan Reese dalam Mediating the Message (1996:60) terdapat beberapa level pengaruh yang menentukan isi berita suatu media. Secara berturut-turut tingkatan tersebut yaitu: pengaruh individu pekerja media, pengaruh rutinitas media, pengaruh organisasi media, pengaruh eksternal media, dan pengaruh ideologi media. Begitupun corak produksi kapitalis membagi kelas pekerja ke dalam kategori-kategori hierarkis: terampil, semiterampil, dan tak terampil.
Seorang wartawan yang juga bagian dari kelas pekerja kemudian lebih menghayati posisinya sebagai pekerja berketerampilan atau kelas menengah. Ia merasa menjadi bagian dari kelas di dalam kelas. Meskipun hidup dari menukar tenaganya dengan upah seperti halnya seorang buruh. Namun, sesungguhnya wartawan memiliki tingkat upah yang rendah daripada wartawan di negara lain. Kebanggaan wartawan-wartawan Indonesia pada statusnya sebagai pekerja terampil hanyalah kebanggan semu. Ilusi hierarki keterampilan dan kebanggaan semua membuat wartawan tak rela upahnya yang pas-pasan tersaingi oleh upah buruh yang kastanya lebih rendah dalam hierarki keterampilan. Para wartawan penulis sinis akhirnya harus melawan perjuangan kelasnya sendiri.
Serikat Pekerja Media, Kekerasan Simbolik, dan Prospek Masa Depan
Satrio Arismunandar
Pekerja di industri media dituntut memiliki kemampuan beradaptasi yang tinggi terhadap lingkungan yang dinamis dan selalu berubah cepat. Jika pekerja media mengabaikan atau tidak tanggap dengan tuntutan lingkungan, dinamika perubahan ini akan menggilas mereka.
Serikat pekerja media bukan sekedar penting bagi peningkatan kesejahteraan, tapi juga penting bagi kebebasan pers. Pertama, jurnalisme yang kuat dan bebas tidak akan terwujud manakala para jurnalisnya sendiri hidup dalam keadaan tidak sejahtera dan ketakutan. Kedua, hanya melalui serikat pekerja media yang independen, para jurnalis akan memiliki penyuara yang bisa bicara untuk kepentingan mereka. Ketiga, hanya melalui serikat pekerja media, para jurnalis dapat mengembangkan rasa aman, yakni suatu perasaan bahwa mereka memiliki perlindungan yang nyata bagi semua rekan sekerja.
Keberadaan  serikat pekerja jurnalis berkaitan dengan satu hal: rasa hormat, yaitu rasa hormat terhadap diri sendiri sebagai individu, rasa hormat terhadap profesi dan kerja jurnalisme yang dilakukan, serta rasa hormat dari publik, pemerintah, dan pihak majikan.
Pertumbuhan serikat pekerja media sangatlah lamban karena beberapa alasan, pertama, ada persepsi keliru bahwa orang yang mendirikan media dianggap mempunyai idealisme dan tujuan luhur, jauh dari pertimbangan bisnis ekonomis. Namun, ternyata para pemilik media lebih berorientasi profit. Sehingga kelayakannya hanya diukur dari nilai ekonomi:rating, tiras, dan pendapatan iklan yang masuk.
Kedua, wartawan dininabobokan atau terkecoh dengan konsep atau kebanggaan palsu “kaum profesional”, yang dianggap berstatus lebih tinggi daripada pekerja kasar seperti buruh pabrik, kuli, tukang, dll. Serikat pekerja dianggap bukan jatah “kaum profesioal”, melainkan hanya cocok untuk para pekerja kasar.
Ketiga, adanya ketidaksukaan dan hambatan dari pemilik media terhadap usaha-usaha untuk mendirikan serikat pekerja. Pemilik media melakukan berbagai bentuk “kekerasan simbolik” yang secara tersirat bisa dimengerti oleh para pekerja bahwa keberadaan serikat pekerja itu sebenarnya tidak disukai. Kekerasan simbolik misalnya terjadi perlakuan pilih kasi yang tidak berdasarkan prestasi kerja melainkan pekerja yang loyal, patuh, dan mengikuti apa saja semua kemauan pemilik media akan dipromosikan dan diperlakukan lebih baik, dari segi posisi jabatan, gaji, bonus, dll. Sedangkan pekerja yang mendukung berdirinya serikat pekerja media biasanya diperlakukan lebih buruk, tidak diberi posisi jabatan strategis, serta karirnya dihambat. Kekerasan simbolik yang lain adalah mengembangkan opini di lingkungan perusahaan bahwa keberadaan serikat pekerja justru akan merusak kinerja perusahaan, menciptakan konflik yang tidak perlu antara pimpinan dan bawahan, serta merusak “hubungan baik yang bersifat kekeluargaan” antara pemilik media dan karyawan.
Demi memajukan serikat pekerja media setidaknya ada tiga fokus garapan yang harus mereka lakukan, pertama dibentuk serikat pekerja yang hanya mengurusi soal kebutuhan dan kesejahteraan karyawan. Kedua, serikat pekerja media yang memfokuskan diri pada hubungan antara karyawan dengan manajemen perusahaan. Serikat pekerja ini berfungsi sebagai mediator antara kedua belah pihak, serta menjembatani masalah yang timbul antara karyawan dengan manajemen perusahaan. Ketiga, serikat pekerja media yang memfokuskan diri pada isu-isu strategis perusahaan. Serikat pekerja tidak cukup hanya mengurusi karyawan, tapi juga ikut duduk dengan direksi lain untuk menentukan arah kebijakan perusahaan. Dengan kata lain, serikat pekerja ikut bermain dalam tataran politis di perusahaan, termasuk menyetujui atau tidak menyetujui pimpinan suatu perusahaan.
Serikat pekerja media juga bisa memperjuangkan independensi redaksi, serta pemberian durasi dan ruang media bagi konten-konten yang mencerdaskan dan mendidik, yang selama ini sering dikalahkan oleh konten-konten “sampah”, yang dilandasi oleh orientasi profit ekonomis semata.

Referensi, Remotivi. 2015. Orde Media (Kajian Televisi dan Media di Indonesia Pasca-Orde Baru). Yogyakarta. Penerbit Insistpress

0 komentar:

Posting Komentar