Pramoedya Ananta Toer. Sumber Foto: Geotimes |
Pramoedya Ananta Toer adalah seorang sastrawan Indonesia
yang terkenal di dalam, maupun di luar negeri dan mungkin penulis seperti dia muncul
hanya sekali dalam satu generasi, atau malah dalam satu abad. Dia lahir pada 6
Februari 1925 di Blora, Jawa Tengah yang merupakan anak sulung dari M.Toer
dengan Saidah. Pramoedya menikah pertama kalinya dengan Arfah Iljas pada tahun 15 Januari 1950, namun harus
berpisah pada tahun 1954. Pernikahan keduanya terjadi pada 1955 dengan Maimunah
Thamrin.
Pendidikan formal Pramoedya bermula pada tahun 1929, ia
masuk Sekolah Dasar Perguruan Budi Utomo, Blora. Ia lulus tahun 1939, setelah
10 tahun bersekolah yang semestinya hanya 7 tahun. Selepas itu Pram tidak
bersekolah karena keinginannya ditolak untuk meneruskan ke MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) oleh
ayahnya. Pada tahun 1940 ia mulai dapat belajar di Radio Vakschool, Surabaya dari uang hasil berjualan padi bersama ibunya.
Kemudian ia pergi ke Jakarta lalu masuk Taman Siswa, Taman Dewasa Kelas II
sambil bekerja sebagai juru ketik di Kantor Berita Jepang, Domei, namun pada
saat sudah naik kelas III Jepang membubarkan sekolah tersebut. Pada bulan
Februari 1944, ia mendapat kesempatan untuk bersekolah di sekolah “Stenografi Tjuo Sangiin.” Setalah tamat
pada bulan Maret 1945 Pramoedya menjadi mahasiswa di Sekolah Tinggi Islam
Gondangdia, di sini ia mempelajari filsafat, sosiologi dan psikolog. Pada bulan
Mei 1953, Pram berangkat ke Belanda untuk belajar atas biaya Yayasan Kerja Sama
Kebudayaan Belanda-Indonesia.
Selama tahun 1942 hingga Juni 1945 ia bekerja di Domei
namun ia mengundurkan diri karena merasa diperlakukan tidak adil, karena surat
pengunduran dirinya ditolak, dia memilih melarikan diri ke Jawa Timur hingga ke
kaki gunung Kelut. Di masa perjuangan kemerdekaan ia menjadi anggota BKR (Badan
Keamanan Rakyat) dengan pangkat Letnan II,tetapi ia tak lama dalam tentara
karena menentang keras korupsi dan perdagangan gelap antara Jakarta yang
diduduki Belanda dengan wilayah Republik di sekitarnya. Ia juga kecewa dengan
cara TNI memecat prajurit dengan alasan yang kadang cukup sewenang-wenang. Pada
tahun 1947, ia bekerja sebagai redaktur dan penerjemah di The Voice of Free Indonesia. Kemudian pada tahun 1950 ia bekerja di
penerbit negeri Balai Poestaka sebagai penyunting di bagian sastra modern dan
pernah menjadi redaktur majalah kanak-kanak Kunang-Kunang,
tetapi pada akhir tahun 1951 ia meninggalkannya karena tidak puas dengan cara
kerja pimpinannya. Akhirnya di bulan Januari 1952 ia mendirikan satu agensi
kesusastaraan, yaitu Literary &
Features Agency Duta (L & F Acy Duta) yang pada akhirnya bangkrut
karena pemotongan atas anggaran belanja Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan
(PPK) yang mengakibatkan krisis penerbitan.
Peran Orangtua terhadap Pramoedya
M.Toer adalah seorang nasionalis tulen tetapi tidak
tergolong sayap kiri. Dia mencoret gelar bangsawan “Mas” dari namanya. Ayahnya
terbiasa membeli buku termasuk beberapa karya Multatuli. Ayahnya seorang guru
pada pemerintahan Belanda. Lalu memberi pelajaran di sekolah swasta untuk
anak-anak miskin, termasuk Pram. Namun ia meninggalkan pengajaran karena sering
dirintangi kolonial dan mulai mencari hiburan, berjudi. Sedangkan ibunya dari
kaum feodal yang kaya tetapi perubahan pemikiran dan pendirian politik membuat
ibunya melakukan segala hal sendiri.
Kedua orangtuanya mendidik Pramoedya menjadi manusia
bebas dan tidak malu bekerja. Itu bertentangan dengan situasi ketika saat itu
yang sebagian masyarakat bercita-cita menjadi pegawai negeri, yaitu golongan
priyai. Ibunya pernah berkata “Jangan jadi pegawai negeri, jadilah majikan atas
dirimu sendiri. Jangan makan keringat orang lain, makanlah keringatmu sendiri.
Dan itu dibuktikan dengan kerja. Kalau nanti sudah besar, belajarlah di Eropa.”
Namun, ibu yang disayanginya meninggal pada bulan Mei
1942 ketika berusia 34 Tahun. Sedangkan ayahnya , meninggal pada tahun 1951.
Ideologi dan Pandangan Politik Pramoedya
Pengalaman masa kecil dan masa remaja (keharusan mengurus
saudara-saudaranya sesudah ibunya meninggal) telah memberikannya pandangan
tajam dan membentuknya sebagai individualis yang berpendirian keras. Ia
berpegang teguh pada nilai-nilai demokrasi dan kemanusian. Ia hanya berpihak
pada adil, benar, dan berprikemanusian bukan paham tertentu. Ia merasa sebagai
seorang Renaisans karenanya dia percaya pada keadilan. Pram menganggap dirinya
adalah manusia baik karena ia menginginkannya, bukan karena agama, Undang-Undang,
atau paksaan. Menurutnya itu adalah pengertian humanis. Dia ingin dianggap manusia
baik karena keinginannya, karena nuraninya, bukan karena sesuatu dari luar.
Sifatnya yang keras, menunjukkan bahwa dalam membela
keadilan sosial dan kebenaran proletariat, dia selalu mengambil sikap yang
jelas dan tegas, tanpa merasa malu atau
takut salah, dan menempatkan kebahagian buruh dan tani di atas segala kebahagian
sekelas atau segolongan seperti yang dikenal oleh golongan borjuis.
Dilahirkan sebagai orang Jawa namun ketika umur 17 tahun
ia telah mulai mengkritik budaya Jawa. Pram beranggapan bahwa jika ia mengikuti
budaya Jawa maka ia akan menjadi budak. Budaya Jawa mementingkan kelas. Oleh
sebab itu, ia membenci feodalisme yang dianggapnya sebagai salah satu hambatan
utama untuk pembangunan negara. Dia menganggap golongan feodalisme Jawa ini
menginjak-injak nilai humanisme. Sebagai seorang humanis, Ia memang
bericita-cita untuk memperbaiki nasib rakyat jelata yang sengsara, dan membangun
negara serta bangsa yang jauh ketinggalan dibandingkan dengan negara-negara
lain pada waktu itu.
Pandangan politiknya adalah nasionalis dan selebihnya adalah
individualis. Ia bertanggung jawab terhadap buah pikirannya sendiri. Dia tidak
bergantung pada orang lain. Oleh karena itu ideologi Pramoedya adalah cinta
akan keadilan, kebaikan dan alam serta nasionalisme. Jika ia melakukan
kesalahan, maka ia akan mengakuinya.
Pandangan Pramoedya terhadap Agama
Pramoedya berpendapat bahwa agama adalah pengakuan iman
manusia ketika berhadapan dengan Tuhan. Ia lebih menghargai sisi spiritual dan
sisi pribadi agama daripada organisasi keagamaan yang dogmatis. Agama bagi
kebanyakan orang yang percaya tidak memiliki nilai spiritual dan isi, melainkan
hanya berarti penunaian serangkaian kewajiban sosial. Pramoedya mengakui
dirinya menganut Saminisme, sebab itu ia melakukan apa saja yang dianggapnya
benar.
Pramoedya dan Kepengarangannya
Pada awalnya, Pramoedya menggambarkan kehidupan
disekitarnya, lantas ditinjau dari kurungan Belanda, lalu dari sudut-pandang
seorang penulis miskin yang mengamati lingkungan miskinnya. Kemudian, buku-buku
bernada politik dengan ciri moral yang kuat. Masalah–masalah yang dikupasnya
adalah masalah-masalah dasar manusia; kecintaannya pada keluarga dan bangsa,
kebenciannya pada kebatilan sesama manusia, kebahagian dan cacatnya.
Menurutnya seni bukan gelanggang untuk mengumandangkan
kebebasan diri sendiri, tetapi berfungsi membawa kesejahteraan dan keselamatan
lingkungannya. Salah satu tugas sastra adalah memperjelas dan memperkuat
kebenaran serta keadilan. Pengarang dan seniman merupakan hati nurani
masyarakat dan bangsanya. Apa yang dirasakan, dipikirkan, diharapkan, dan
diinginkan bangsanya adalah bergetar dalam jiwanya.
Pramoedya mengembara dari dunia kekecewaan ke dunia
harapan. Dunia kekecewaan adalah dunia kenyataan yang menjadi halangan,
sedangkan dunia harapan adalah dunia impian yang memberi hasrat atau semangat
rakyat bangsanya sendiri
Pramoedya menyukai penulis seperti John Steinbeck
(1902-1968), William Saroyan (1908-1981), De Saint-Exupery (1900-1944), Lode
Zielems (1901-1944), Maxim Gorki (1868-1936), Multatuli (1820-1887). Sehingga,
tulisannya sedikit-banyak dipengaruhi oleh penulis-penulis di atas.
Karya-karya Pramoedya yang pernah diterbitkan, Kemudian
Runtuhlah Majapahit (1942), Sepuluh Kepala NICA (1946), Kranji-Bekasi Jatuh (1947),
Perburuan (1950), Keluarga Gerilya (1950), Mereka yang Dilumpuhkan (1951),
Bukan Pasar Malam (1951), Di Tepi Kali Bekasi (1951), Cerita dari Blora (1952),
Korupsi (1954), Cerita Calon Arang (1954), Midah Si Manis Bergigi Emas (1955),
Kecapi (1956), Jalan yang Amat Panjang (1956), Cerita dari Jakarta (1957), Sekali
Peristiwa di Banten Selatan (1959), Hoa Kiau di Indonesia (1960), Gadis Pantai (1962),
Panggil Aku Kartini Saja (1962), Madun (1964), Kesempatan yang Kesekian (1965),
Bumi Manusia (1980), Anak Semua Bangsa (1980), Jejak Langkah (1985), Rumah Kaca
(1988), Nyanyi Sunyi Seorang Bisu (1995), Arus Balik (1995), Arok Dedes (1999),
Mangir (2000), Larasati (2000).
Penghargaan yang diperoleh semasa hidup Pramoedya Ananta
Toer, yaitu Freedom to Write Award dari
PEN American Center (1988), Anugrah
dari The Fund for Free Expression (1989), Wertheim Award (1995), Ramon Magsaysay
(1995), UNESCO Madanjeet Singh Prize
(1996), Doctor of Humane Letters
(1999), Chanceller’s Distinguished Honor
Award (1999), Chavalier de l’Ordre
des Arts et des Letters (1999), New
York Foundation for the Arts Award (2000), Fukuoka Cultural Grand Prize (2000), The Norwegian Authors Union (2004), dan Centenario Pablo Neruda (2004).
Pramoedya dan Penjara
Pramoedya menjalani hukuman penjara selama 14 tahun tanpa
proses pengadilan melainkan hanya dengan tuduhan. Pertama kali dia di penjara
pada 21 Juli 1947 oleh tentara Belanda ketika melakukan aksi militer pertama,
namun kemudian dibebaskan 18 Desember 1949 akibat pengakuan kedaulatan
Indonesia oleh Belanda.
Setelah menerbitkan buku Hoa Kiau di Indonesia yang dituduh
berisi pembelaan pedagang-pedagang keturunan Cina, sehingga ia ditangkap dan
tanpa proses pengadilan sehingga dia dipenjara selama 9 bulan.
Pada 13 Oktober 1965 ia dituduh terlibat dalam
kegiatan-kegiatan LEKRA yang dianggap disusupi komunis, dan tanpa proses
pengadilan ia ditahan di Rutan Militer Tangerang hingga bulan Juli 1969. Lalu dipindahkan
ke penjara Karang Tengah, Nusakambangan. Pada 16 Agustus 1969 ia bersama
tahanan politik dikirim ke Pulau Buru. Ia tiba sana pada 10 September 1969. Ia
dipindahkan dari Pulau Buru pada 12 November 1979, dan kemudian di bebaskan
pada 21 Desember 1979 namun ia tetap dikenakan peraturan wajib lapor, dan tidak
mempunyai hak memilih dan dipilih dalam pemilu. Ia merasa telah diperlakukan
sampai titik dasar kehinaan di Indonesia pada masa Orde Baru. Hal itu
disebabkan karena Soeharto baru mengijinkannya menulis pada tahun ke-8 masa
penahanannya dan ketika dia bebas dari penjara buku-buku yang ditulisnya di
sita dari pasaran.
Menurutnya penjara adalah sebuah mikrokosmos bagi dunia :“Penjara
kami adalah dunia kecil yang tersendiri dan terpencil. Buat mereka yang suka
memperhatikan sesuatu, adalah suatu keuntungan hidup dipenjara untuk waktu
pendek. Pendek saja. Kalau terlalu lama, dia sendiri akan terseret dan turut
jadi pemain aktif.”
Hubungan Pramoedya dengan Tiongkok, Komunisme dan Lekra
Pramoedya berkunjung pertama kali ke Tiongkok 1956, ia
melihat anak-anak bermain musik di taman, lalu tahun 1958 ia datang lagi dan
taman itu telah kosong. Terakhir ia datang ke Tiongkok tahun 1960, ia ingin
bertemu dengan sahabatnya dan dilarang sehingga ia tidak ingin menginjakkan
kaki di bumi Tiongkok lagi karena tidak ada lagi segi-segi kemanusian.
Menurutnya komunisme itu ada 2 macam, yaitu sebagai
sistem politik dan ideologi perorangan. Sebagai sistem politik sudah dibuktikan
bahwa komunisme tidak demokratis. Masalahnya adalah apakah manusia hidup untuk
sistem ataukah sistem untuk manusia. Jika manusia dilahirkan untuk sistem, maka
manusia itu akan menderita. Walaupun manusia itu lahir tidak atas kemauannya
sendiri, tapi aturan-aturan dari sistem belum tentu sesuai dengan individu.
Maka karena itu, Pramoedya berpendapat bahwa demokrasi, seberapapun jeleknya
sebagai sistem, tetapi lebih baik daripada komunisme. Manusia memiliki hak
untuk bicara, juga ketika yang diungkapkannya keliru. Kalau hal itu terjadi,
yang lain akan mengoreksinya.
Pramoedya tidak
pernah menjadi anggota partai Komunis, tetapi ikut dalam lembaga yang bernaung
di bawah PKI, yaitu LEKRA (Lembaga Kebudjaan Rakjat). Namun menurutnya tidak
ada jeleknya mempunyai kawan dalam ikatan yang lebih besar, asalkan tidak ada
kejahatan.
Peristiwa Akhir Dan Harapan Pramoedya
Pramoedya meninggal pada usia 81 tahun tanggal 30 April
2006. Ia dianggap pantas meraih penghargaan Nobel Sastra. Ia memiliki pendirian
yang tetap dan sikapnya selalu berkepala tegak, baik pada masa dekolonisasi
Belanda maupun pada pemerintahan Seokarno dan rezim Soeharto. Karya-karyanya
telah menciptakan gambaran tidak terhapuskan tentang tanah-air dan sejarahnya,
dalam masa lalu yang jauh maupun dekat. Inti karyanya adalah nasib rakyat.
Rakyat dalam kehidupan sehari-hari, rakyat yang bertahan untuk mencari nafkah,
rakyat yang dilukiskan dalam ambisi-ambisinya yang sering dikekang.
Ia berharap bahwa apa yang dibaca dalam tulisannya akan
memberikan kekuatan pada pembacanya, memberi kekuatan untuk tetap berpihak yang
benar, pada yang adil, pada yang indah. Pramoedya juga sangat menaruh harapan
pada generasi muda untuk memberikan jawaban atas jalannya sejarah, bagaimana
mereka melakukannya, itu urusan mereka (generasi muda).
Dua bulan sebelum meninggal Pramoedya Ananta Toer berkata
bahwa “Sudah saya menulis apa yang ingin saya tulis. Sudah saya punya apa yang
ingin saya punya”
Sumber referensi
Ananta Toer, Pramoedya. 2015. Bumi Manusia. Jakarta.
Lentera Nusantara.
Snoek Kees dan Augus Hans den Boef. 2008. Saya Ingin
Lihat Semua Ini Berakhir: Esai dan Wawancara
dengan Pramoedya Ananta Toer. Depok: Komunitas Bambu.
Young Hun, Koh. 2011. Pramoedya Menggugat: Melacak Jejak
Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama.
Keren mas
BalasHapus