Setiap manusia yang dilahirkan di muka bumi ini memiliki hak dan martabat yang sama. Namun, beberapa ras manusia menganggap ras-nya lebih tinggi daripada ras-manusia dari belahan dunia lain. Pemikiran tersebut menimbulkan perlakuan yang tidak adil terhadap ras-yang dianggap lebih rendah seperti penghinaan, kebencian, diskriminasi,  perbudakan, bahkan sering berujung pada kejahatan genosida.
Sejarah kelam perbudakan yang telah berakhir sejak Abilitionism (penghapusan perbudakan) mulai terjadi pada abad 18 dan awal abad 19. Abraham Lincoln adalah tokoh penting yang berupaya untuk menghapuskan perbudakan di Amerika Serikat walaupun akhirnya menyebabkan perang sipil di Amerika. Namun, walaupun perbudakan telah lama berakhir tetapi rasisme masih saja berlangsung hingga kini.
Bangsa Indonesia pun pernah mengalami perbuatan rasis selama Era Kolonialisme. Bangsa kita dianggap lebih rendah oleh mereka (bangsa Eropa) yang memiliki kulit putih. Mereka memperlakukan rakyat Indonesia dengan sangat keji, diskriminasi seperti memberlakukan hukuman yang berbeda antara orang pribumi dan orang Eropa, dan membedakan sekolah untuk orang pribumi dan Eropa.
Setelah bangsa Indonesia merdeka, satu hal yang menjadi harapan para pendiri bangsa ini adalah hilangnya perlakuan rasis terhadap sesama pribumi bangsa Indonesia. Mereka pendiri bangsa ini menjadikan Bhinneka Tunggal Ika (Berbeda-beda tetapi satu jua) sebagai pegangan bangsa. Mereka menyadari bahwa perbedaan suku, budaya, dan bahasa-lah yang membuat bangsa kita menjadi bangsa yang besar dan akan dihargai oleh bangsa lain. Tidak sepantasnya sebagai sesama anak bangsa, kita masih saling mengungkit perbedaan yang akan mencerai-beraikan persatuan yang telah didirikan atas dasar perbedaan.
Perlakuan rasis kepada suatu suku/ras lain akan menimbulkan rasa kebencian, permusuhan, dan pada akhirnya mereka yang merasa mendapatkan perlakuan diskriminasi akan menuntut hak yang setara. Sehingga, akan mengakibatkan kerusuhan antar ras yang berujung pada terpecah-belahnya persatuan bangsa akibat saling menganggap ras-nya lebi tinggi daripada ras/suku lain.



  • Ciri utama kalangan terpelajar adalah mampu menulis. Dengan, tulisan, kalian dapat mengabarkan apa pun kepada mereka yang ada di Eropa atau di mana pun. Gagasan kalian akan abadi, tidak seperti pidato yang bakal hilang terbawa angin.“Engku Guru Nawawi”.
  • Aku tidak butuh jabatan gemerlap untuk hidup. Biarlah gajiku hanya belasan gulden, tetapi dari tanganku kelak akan lahir sosok-sosok yang bakal mengubah wajah Hindia. "Tan Malaka" 
  • Wouters adalah sekeping koin, di depan Tuhan dia seorang Katolik, tetapi dihadapan manusia dia seorang Marxis. Aku yakin sepenuhnya bahwa Wouters telah khatam tentang konsistensi martir Kristus, seorang pengabdi kemanusian. Dia tak merancang kehidupan seperti orang kebanyakan-kapan berkeluarga, rumah macam apa yang akan dibangun, di sekolah mana anak-anaknya akan belajar. Yang ada dibenaknya adalah kesejahteraan kaum buruh. “Pemikiran Tan Malaka terhadap Wouters, seorang pejuang buruh yang ia temui ketika di Belanda”. 
  • Tan Malaka adalah Ibrahim di era kapitalis busuk ini. Tan Malaka adalah simbol perlawanan, simbol kepercayaan kakekkmu bahwa kau akan memperkaya nagarimu, bahwa kau akan mengarahkan bangsamu ke jalan damai sejahtera. Jadi, angkat kapakmu, duhai Tan Malaka, dan hancurkan berhala-berhala kapitalis itu!  “Wouters”.
  • Mereka telah mengajariku makna demokrasi hakiki. Berbeda pendapat boleh saja, tetapi bukan berarti pertentangan emosional mesti ada. Bahkan perbedaan pendapat dalam menganalisa suatu gagasan bukan bermakna tak saling mendukung. Meskipun jalan yang kami tempuh jauh berbeda, sesungguhnya tujuan sama, yaitu kesejahteraan rakyat Hindia. “Pemikiran Tan Malaka terhadap Van Kol dan Brooshoft”. 
  • Setiap orang boleh jadi memiliki pikiran cerdas, tapi semua gagasan itu mubazir kalau cuma terlontar di mulut. Ideologi semestinya bukan hanya mendekam di kepala dan hati, tetapi juga menggerakkan tangan dan kaki. “Alimin”. 
  • Saat ini yang kita perlukan adalah pendidikan yang berbasiskan Rakyat. Maksudku, sistem dan kurikulumnya mesti menentang habis-habisan pendidikan kolonial yang membebek pada kapitalisme. Pendidikan rakyat mesti bertumpu pada tiga tujuan. Pertama, pendidikan keterampilan sebagai bekal untuk berkiprah dalam masyarakat kapitalis, seperti membaca, menulis, berhitung, ilmu alam, bahasa, dan sebagainya. Pendidikan bergaul, berorganisasi, dan berdemokrasi guna membentuk karakter pemuda Hindia yang tangguh, percaya diri, dan penuh harga diri. Dan ketiga, pendidikan yang berorientasi cinta kepada rakyat melarat. “Pemikiran Tan Malaka mengenai pendidikan yang cocok untuk Hindia”. 
  • Zaman sudah berubah. Perdagangan bukan lagi sebatas Hindia, melainkan sampai ke Eropa dan seluruh dunia. Saudara sudah melihat orang-orang dengan beragam warna kulit berjalan-jalan di atas mobil di sekeliling kita. Karena itu tenaga kasar yang dibayar murah lama-lama akan tersisih. Jadi, kalau Saudara ingin bersaing dan mendapatkan sesuatu yang lebih baik, Saudara harus melatih otot lainnya, yang terletak di antara kedua telinga Saudara. Seluruh bangsa ini harus sekolah. Kita harus jadi lebih pandai. Kita mesti belajar keahlian baru. “Pidato Semaun ketik menghadiri Perkumpulan Kaum Buruh Semarang". 
  • Bukan hanya belas iba kepada kaum tertindas yang ditumbuhkan di hati para murid, tetapi juga kesadaran bahwa ketidakadilan ini bukanlah sesuatu yang tergaris di telapak tangan, bukanlah takdir Tuhan. Kewajiban kalangan terpelajar di masa depan: membela berjuta-juta kaum proletar. “Pemikiran Tan Malaka ketika berbincang dengan Semaun mengenai sekolah rakyat yang akan mereka dirikan”. 
  • Di sekolah rakyat, kita juga mesti memberikan hak mereka, hak untuk bermain, hak untuk menikmati masa kanak-kanak. Selanjutnya, yang juga tidak boleh diabaikan adalah murid-murid kelak harus ingat kepada berjuta-juta kaum kromo, yang hidup dalam kemeralatan. Jangan sampai mereka serupa pemuda-pemuda tamatan sekolh-sekolah pemerinah dan partikelir biasa yang bukan hanya melupakan, tetapi bahkan menghina bangsanya sendiri. “Pidato Tan Malaka ketika menjelaskan pendirian sekolah SI Semarang”. 
  • Aku gagal total dari sisi materi, tapi Engku juga tentu tahu, pemimpin yang lembek bukan hanya akan membunuh dirinya sendiri, melainkan juga bakal menghancurkan organisasi. Sepasukan domba yang dipimpin seekor singa lebih baik daripada sepasukan singa yang dipimpin seekor domba. Apakah kita akan mendorong sebongkah batu besar kepuncak gunung hanya untuk membiarkannya jatuh menggelinding? “Perkataan Tan Malaka kepada Haji Agus Salim dan Sumitro ketika ditekan untuk mundur sebagai calon Presiden CSI”. 
  • Para pemegang pena tidak butuh sekolah khusus. Kesadaran dan keparatnya hidup adalah sekolah dan guru mereka. Setiap kali seorang pemegang pena mati, selalu ada yang mencampakkan cangkul dan sabitnya, menggantinya dengan pena dan kertas. “Pendapat Tan Malaka ketika berdebat dengan lelaki yang ingin menangkapnya”. 
  • Di sini (penjara) tak ada serpihan arang, dan sipir telah menyita pena dan buku catatanku. Aku tak dapat lagi menulis. Keterasingan ini benar-benar membunuhku pelan-pelan.”Curahan perasaan Tan Malaka ketika di penjara”. 
  • Kertas dan pena disita, pergaulanku digunting, kegelapan dan rasa dingin yang hebat menyelimuti hari-hariku. Tapi ada yang mereka lupakan-aku adalah raja bagi pikiranku. .”Curahan perasaan Tan Malaka ketika di penjara”. 
  • Revolusi lahir karena berbagai keadaan yang mendukungnya, bukan sekadar karena ada pemimpin dengan semangat dan otak yang luar biasa. Yang kita butuhkan sekarang hanyalah kesadaran dan kesabaran revolusioner sembari membangun aksi massa yang siap diletuskan ketika saatnya tepat. “Ucapan Tan Malaka kepada Usadiningrat mengenai revolusi”. 
  • Kita, sebagai kaum marxis, mesti bertumpu pada kebutuhan, kemauan, dan kekuatan kaum kromo. Jika mereka belum masak-revolusioner dan belum siap menentang musuh dalam dan luar negeri yang sangat terorganisir itu, jangan sampai kita terprovokasi. Kita tak boleh sampai tertipu hingga bertempur pada tempat dan saat yang tidak kita kuasai. “Ucapan Tan Malaka ketika ditangkap dan di tuduh sebagai agen PID”. 
  • Ketika unjuk rasa berlangsung tak berujung karena rakyat sudah kenyang menahan lapar. Ketika rakyat sekedar tertawa saat pentungan ataupeluru polisi datang menghantam. Ketika pengusaha pribumi menolak membayar pajak dan kaum tani merebut kembali tanah-tanah mereka. Ketika serikat buruh kereta dan kapal tanah-tanah mereka. Ketika serikat buruh kereta dan kapal akan menentang pembuangan para pemimpin rakyat. Ketika massa aksi mematahkan jerujui penjara dan para pemimpin rakyat dibebaskan. Ketika para serdadu dimamah perasaan bersalah sampai tidak berani menembak rakyat tak bersenjata. Ketika kulit putih tidur dengan pistol di tangan dan tak berani bersantap sebelum hidangannya diperiksa dokter. “Perdebatan Tan Malaka dengan Anggota PKH yang ingin melakukan pemberontakan”.
  •  Aku menyadari, dalam sebuah perjuangan sangat mungkin ada pengkhianatan. Apalagi lawan yang dihadapi begitu digdaya. Keputusasaan dan godaan berupa uang dan jabatan, di samping ancaman pembunuhan dan intimidasi, bisa mengubah seorang pejuang yang menggebu-gebu menjadi seekor serigala berbulu domba. Keberadaan munafik seperti inilah yang acap kali jauh lebih berbahaya daripada musuh itu sendiri. “Kesadaran Tan Malaka mengenai Usadiningrat”.
  • Penduduk desa di didik untuk patuh dan taat, untuk menerima nasib, dan menertawakan penderitaan. Mereka tak diajari membuka mulut apalagi mengoyak baju di dada. “Isi surat dari Enur, wanita yang berjuang mempertahankan tanahnya dari kaum kapitalis dan feodal”.
Penulis           :HENDRI TEJA
Penerbit         :JAVANICA
Tahun terbit  :APRIL 2016



Penulis           :HENDRI TEJA
Penerbit         :JAVANICA
Tahun terbit  :APRIL 2016

Buku ini terdiri dari 5(lima) bab, pertama “Lelaki yang Merindu Nian”, kedua “Lelaki yang Pergi dengan Riang”, ketiga “Lelaki yang Berlari cepat”, keempat “Lelaki yang mendahului”, terakhir “Lelaki yang Mengatur Perkara”.
Dia dilahirkan di tanah minang, berangkat menuju Belanda untuk mendapatkan pendidikan Eropa. Ia ingin membantu memajukan bangsanya melalui pendidikan sehingga ia bersekolah di sekolah guru. Namun, di sana ia memperoleh kesadaran baru tentang perlakuan penjajah terhadap bangsanya yang tidak adil dan bangsanya berhak untuk merdeka karena ia melihat di negeri Eropa semua orang sederajat dan berhak menentukan hidupnya sendiri tanpa ada tindakan rasis.
Di Negeri Belanda ia belajar berorganisasi, perjuangan  buruh, dan doktrin tentang sosialisme. Namun, setelah organisasinya berkembang, ia disingkirkan oleh Belanda yang merasa bahwa organisasi yang dipimpin oleh Tan Malaka akan membahayakan kedudukan Belanda di negeri jajahannya “Indonesia”.
Tan Malaka juga merasakan keindahan cinta Fenny, seorang wanita Belanda yang sangat peduli dengan dirinya. Namun, di akhir perjalanannya di negeri Belanda mereka harus berpisah karena Tan Malaka memilih jalan untuk berjuang memerdekakan bangsanya dari penjajah.
Pada akhirnya ia memang kembali ke negerinya untuk memperjuangkan kemerdekaan melalu jalan pendidikan, lalu menjadi pemimpin pergerakan/organisasi. Tan Malaka merelakan kehidupan pribadinya untuk memperjuangkan kemerdekaan bangsanya walaupun ia beberapa kali harus ditangkap, kabur dari penjara, orang yang dekat dengan dirinya di bunuh, dan pada akhirnya ia pun mendapatkan malapetaka yang tak pernah ia inginkan dalam hidupnya.