Mau hidup enak-enak!
Ketika masih sekolah SD di tahun 90-an, guru paling sering bertanya, “Anto, kalau sudah besar mau jadi apa?”. Spontan aku jawab, “Pegawai Bank, bu”. Wajar saja saya mau jadi pegawai Bank karena dikeluarga hanya ada dua jenis pekerjaan, pertama jadi seperti Bapak, seorang pegawai bank yang selalu tampil dengan baju kemeja dan berdasi, kerja di depan komputer, punya kendaraan motor dinas Honda Wing, sebelum ke kantor sepatu di lap sampai kinclong. Kedua, seperti Ibu, seorang guru SD yang mengajar di pelosok desa, kalau musim hujan harus libur karena sekolahnya kebanjiran. Kebanggaan terbesar seorang guru kalau memakai pakaian Korpri saat upacara bendera 17 Agustus, selebihnya hidup seorang guru terlihat memperihatinkan karena harus berurusan dengan koperasi.
Sebenarnya, terkadang ingin jadi guru seperti ibu, mengabdi untuk kemajuan anak bangsa tetapi penampilan seorang karyawan Bank selalu lebih menggiurkan di mata seorang anak kecil apalagi saat belajar bahasa Inggris, kalau nyebut karyawan Bank harus Bank Officer daripada Teacher, it is too simple in my ears. Jadilah, saya seorang anak kecil yang bermimpi kelak bisa berpakaian necis kayak bapak.
Tetapi, semua berubah ketika masuk SMP, terkadang ada teman yang berpikiran out of the box, kalau ditanya cita-cita dia tidak menjawab sebuah pekerjaan tetapi dia menyampaikan sebuah harapan yang mungkin sangat tidak mungkin dikabulkan, kalaupun dikabulkan hanya satu dari satu milyar penduduk bumi ini. Jawaban temanku ini unik tetapi sangat menarik hatiku, dia bakal menjawab, aku ingin muda foya-foya, tua kaya raya, mati masuk surga. Betapa mulia cita-cita anak ini. Kadang aku berpikir, “ Brengsek, kok dia bisa kepikiran cita-cita begitu.” Semenjak saat itu aku telah tertular dengan cita-cita “mission impossible’.
Perkembangan teknologi membawa perubahan besar terhadap pemikiran anak-anak yang lahir di Era 90-an keatas, sekarang mereka sering disebut generasi Y atau Milenial. Saat masih SMP dan SMA bahkan sampai sekarang televisi sebagai media informasi terbesar yang ditonton oleh sebagaian besar anak-anak termasuk saya, saya sudah bisa menonton seorang yang terlahir miskin, tiba-tiba menjadi kaya karena bertemu dengan perempuan cantik dari keluarga kaya. Tutorial orang dewasa berpacaran atau pertengkaran-pertengkaran yang bisa timbul jika berkeluarga, terkadang aku juga senang melihat artis-artis yang saling tuding menuding penyebab perceraian mereka. Tetapi satu hal kekecewaan ketika masih kanak-kanak, kok kakak-kakak JKT 48 belum muncul, yaaa. Mungkin aku akan menjadi fans garis kerasnya.
Ingin menjadi orang kaya ketika masih tua menjadi misiku ketika beranjak dewasa, untuk foya-foya di masa muda sudah tidak mungkin terjadi karena penghasilan orangtua hanya cukup untuk membiayai warisan satu-satunya, yaitu pendidikan. Waktu itu dipikiran saya untuk jadi orang kaya hanya ada beberapa pekerjaan, pertama menjadi seorang pedagang, karena modal tidak ada jadilah saya mencoret kemungkinan itu, kedua menjadi seorang bupati, entah kenapa setiap bupati itu terlihat kaya dan mungkin memang kaya, ada yang kaya sebelum menjabat, adapula kaya setelah menjabat. Kemarin saja saya baru sadar setelah mendengar perkataan Bapak Menteri dalam Negeri mengatakan, bahwa “selama KPK ada sudah 351 kepala daerah yang tertangkap”. Untuk menjadi seorang Bupati, aku mundur karena merasa masih terlalu muda dan pusing dengan politik, sepertinya perlu modal juga. Jadilah saya mendaftar di Universitas memilih jurusan Kedokteran sebanyak dua kali, aku lihat dokter-dokter di daerahku termasuk dalam daftar orang kaya, kalau aku sakit, dokternya cuma nanya kurang lebih 5 menit, ibuku bakal membayar Rp.50ribu. Aku kadang heran, hanya dengan menjawab pertanyaan, seorang dokter bisa tahu penyakitku dan akan sembuh tetapi uang ibuku akan berpindah tangan. Sakit adalah hal menakutkan bagiku karena uang belanja ibu akan berkurang. Kali ini bukan saya yang menolak jadi dokter, tetapi sebaliknya, kemampuanku tidak mampu lulus tes masuknya, untuk jadi seorang dokter harus menjawab tes Matematika, Fisika, dan Kimia, kalau sekarang kebanyakan orang  meneriakkan anti komunis maka aku anti sama ketiganya. Jadilah, aku anak ekonomi yang berharap kuliah santai tetapi kalau sarjana jadi Manajer Perusahaan Ternama di bursa Efek Indonesia. Itulah cita-cita mulia seorang anak ekonomi untuk mereka yang telah memiliki perusahaan keluarga, sedangkan aku tetap pada “mission impossible”.
Pagi tadi, ada hiruk pikuk di salah satu postingan Instagram, si mimin mengupload mengenai captured berita online yang menampilkan sebuah perkiraan gaji seorang karyawan BUMN dalam sebulan. Hanya perkiraan, yang tahu pasti hanyalah mereka yang menerima struk gaji sebenarnya. Di kolom komentar terdapat, beberapa nyinyiran karyawan, “7 jutaan iyaa emangnyaa? sambil tag beberapa temannya. Ada juga netizen yang ngomen, “Di Papua gak sampe 7 juta”.
Saking penasarannya saya stalking akun Intsgaram mereka seperti waktu suka jadi Polisi Sosial Media mantan, ternyata mereka yang nyinyir itu termasuk adalah pegawai yang masih sangat baru, belum cukup setahun kerja. Mereka salah satu contoh generasi Y (Milenial) dan salah satu karakteristik generasi Y (Milenial) adalah mudah tergiur dengan uang karena mereka sangat mempertimbangkan keadaan finansilanya. Kalau kalian jadi generasi Y tetapi tidak memiliki barang-barang bermerk, makan di café-café yang lagi hits, ataupun tidak pernah liburan ke luar kota atau luar negeri. Berarti kamu termasuk golongan generasi Y yang “cupu”.
Sebenarnya, kebutuhan yang banyak dapat membuat seorang calon pekerja menjadi lebih termotivasi untuk semakin meningkatkan pengetahuan dan keterampilan agar bisa bersaing mencari pekerjaan yang mengiming-imingkan gaji tinggi. Tetapi, akan menjadi bumerang jika ternyata gaji yang dijanjikan tidak sesuai dengan perkiraannya atau informasi penghasilan dari situs-situs di dunia maya yang nggak jelas sumber informasinya (yang penting banyak dikunjungin). Beban kerja yang tinggi dan penghasilan yang dirasa kurang akan menurunkan motivasi seorang pekerja atau bahkan akan sibuk mencari pekerjaan lain yang lebih menjanjikan gaji tinggi. Seringkali mereka akan mengeluh dengan keadaan yang menimpanya sejak bergabung di perusahaan tempatnya bekerja, namun mereka lupa bersyukur bisa makan, mengirimkan uang ke kampung dan pulang lebaran dari gaji perusahaanya. Belum tentu di perusahaan lain kamu bisa berbuat begitu apalagi berpikir untuk beli sepatu bermerk dan liburan ke luar negeri. Hahahaha Anak muda sekarang mau gaji tinggi tetapi sering mengeluh, seolah-olah hanya hidupnya yang paling susah.
Seperti kata temanku waktu SMP, “Muda Foya-foya, tua kaya raya, mati masuk surga”. Sekarang semboyan itu seperti, “it’s bullshit man”. Nikmati saja gaji yang sekarang sambil berusaha menemukan kebahagian apalagi buat yang masih jomblo.

Nelayan di sekitar Tanjung Lesung

Secara umum cerpen-cerpen ini berisi sebuah kisah yang lahir dari sebuah kehidupan yang sederhana, lahir dari kekelaman, kekejaman dan ketidakadilan, walaupun begitu tokoh-tokohnya tetap berdiri kokoh untuk bertahan dan melawan.

Kumpulan Cerpen Seekor Bebek yang Mati di Pinggir Kali karya Puthut EA berisi 15 cerpen, cerpen pertama yang berjudul sama dengan judul bukunya menampilkan sebuah cerita yang sulit ditebak bagian akhir alur ceritanya, semakin jauh dibaca semakin timbul rasa penasaran mengenai arah pembicaraan antar tokohnya. Latar ceritanya dibuat sederhana di stasiun kereta yang jika pembaca menggunakan imajinasinya, ia akan merasakan suasana sunyi di stasiun kereta api bahkan hingga seakan menghirup bau besi tua dari rel atapun kursi-kursi besi yang telah berkarat. Namun, menurut saya yang menjadi bahasan utama dalam cerpen Seekor Bebek yang Mati di Pinggir Kali adalah sebuah prasangka/cap sebagai komunis sangatlah tidak adil bagi mereka yang tidak tahu menahu mengenai paham tersebut seperti yang dialami oleh tokoh Ia yang hidupnya sengsara karena ayahnya dianggap seorang Komunis. Aku teringat masa ketika masih anak-anak dari perbincangan keluargaku dulu (zaman orde baru) kudengar jika mereka yang orangtua atau keluarganya dianggap komunis tidak bisa menjadi pegawai negeri sipil seperti halnya yang dikisahkan oleh Puthut EA. Mereka yang dianggap “komunis” seperti orang yang terkena virus atau penyakit menular yang mematikan sehingga orang-orang menjadi takut mendekat kepadanya. Cerpen ini juga tidak lupa menampilkan keseharian mereka yang terpinggirkan seperti gelandangan yang tidur di stasiun dan buku karangan Pramoedya yang ditulis di pulau Buru, di sela-sela karyanya ia menyebut karya orang lain yang menurutku memang pantas mendapat promosi sebagai bacaan karena sudah mulai banyak dilupakan oleh generasi Milenial dan generasi Z. Mungkin dengan disebutkannya sulitnya mendapatkan buku ini ketika masa orde baru akan menimbulkan rasa penasaran kepada generasi sekarang.

Kehidupan yang bermasalah adalah kehidupan orang-orang yang di kota, mereka (orang-orang kota) hidupnya sangat bergantung dengan keadaan perekonomian berbeda dengan masyarakat yang hidup di desa yang jika terjadi krisis masih dapat mencukupi hidupnya dengan hasil lahan-lahan pertanian/perkebunan. Pada cerpen berjudul KAWAN KECIL, Puthut EA menampilkan kisah antara dua kehidupan yang saling berkontradiksi, kehidupan orang kota dan kehidupan orang desa. Di kisah ini dia menyampaikan kritiknya dengan sangat indah melalui percakapan dua orang sahabat mengenai kehidupan orang-orang kota tak terkecuali tentang orang-orang desa yang ber-urbanisasi ke kota dengan mengorbankan kehidupan orang-orang di desa. Tiap tahun kita dapat menyaksikan bagaimana urbanisasi ke kota-kota besar selalu terjadi, kata mereka jika ditanya alasan ke kota “saya ingin mengadu nasib, kata orang pekerjaan di kota banyak dan bisa membuat seseorang menjadi kaya”. Pemikiran yang sangatlah optimis dan positif tetapi dibalik pernyataan tersebut terbersit kata “mengadu nasib” ada dua kemungkinan beruntung atau buntung (celaka). Di balik kepergian mereka ke kota mereka harus mengorbankan harta yang dimilikinya, banyak diantara mereka menjual lahan-lahan pertanian yang telah dikelola turun-temurun. Sehingga, ketika ternyata di kota yang menghampiri mereka adalah “nasib yang celaka” maka mereka akan hidup nelangsa di tengah kota. Walaupun begitu kehidupan di desa juga tak lepas dari kritiknya, permasalahan media untuk membaca yang tidak ada. Puthut EA menyelipkan kata “CD Orisinal dari berbagai album Slank”, ini seperti sebuah kampanye yang edukatif kepada masyarakat yang sudah sepatutnya para penikmat musik dan buku membeli karya-karya yang orisinal bukan bajakan. 

Sumber :  Judul Seekor Bebek yang Mati di Pinggir Kali, Penerbit Buku Mojok, Tahun 2016






Dengan menulis, ingatan tentang kakek yang biasa aku panggil “Bapak Lato” akan tetap abadi. Aku tidak ingin jika ingatanku telah senja aku melupakannya walaupun cara berceritaku tidak sepandai dan sepuitis para penyair.
Aku tidak akan melupakan “Bapak Lato”, seorang laki-laki beruban yang selalu tersenyum ketika tersenyum nampak giginya yang rata dan putih. Suaranya tidak pernah terdengar keras. Ia sangat sayang kepada semua cucu-cucunya. Ketika aku dan sepupuku masih kanak-kanak ia selalu bercerita sebelum kami tidur, sesekali menyanyikan lagu-lagu perjuangan, maklum dia lahir ketika bangsa Indonesia  baru merdeka, tanggal dan bulannya tak pasti. Setiap aku bertanya kapan ia lahir, jawabannya “Dia lahir ketika gerombolan “gorilla” masuk ke hutan.” Gorilla ini merujuk kepada pemberontak-pemberontak ketika Indonesia telah merdeka.
Kakek mengajukan pensiun dini dari tugas sebagai guru sekolah pertama, keputusannya bukan karena lelah mengajar tetapi ia merasa sudah cukup pengabdiannya sebagai guru dan ingin mengurusi kebun warisan dari ayahnya. Ia selalu kelihatan bersemangat pergi berkebun, kakekku memiliki kebun yang jauhnya sekitar 5 km dari rumah. Dia pergi dengan mengendarai sepeda motor bermerek Suzuki Jet Cooled yang sudah tua juga bersama nenekku yang biasa kami panggil “Mama Aji”. Ketika aku dan sepupuku liburan dan mengunjunginya, kami sering diajak untuk ikut berkebun. Pengalaman berkebun dengan usia yang masih kanak-kanak tidak akan pernah terlupakan. Kami pergi dengan mengendarai angkutan umum. Sebelum berangkat kami mempersiapkan bekal dirantang bersusun, isinya nasi putih, sayur, ikan, dan sambal. Bekal ini akan menjadi makan siang kami di rumah kebun.
Setelah turun dari angkutan umum, kami harus berjalan melewati kuburan, lalu memasuki kebun-kebun orang lain beberapa ratus meter untuk mencapai bibir sungai, kami kemudian naik perahu kecil yang hanya muat untuk empat hingga lima orang saja namun ketika musim kemarau panjang, kami bisa berjalan kaki diatas pasir-pasir sungai dan kerang-kerang sungai yang telah mengering. Kakekku akan berteriak memanggil keponakannya yang tinggal diseberang sungai yang sedang menjala ikan untuk menyeberangkan kami. Sungai merupakan jantung kehidupan masyarakat, selain sebagai sumber makanan dan minum, airnya juga  dialirkan naik untuk irigasi kebun-kebun jika sedang kemarau.
Saat naik ke perahu rasa bahagia mengalahkan ketakutan jika perahu tenggelam, di umurku yang masih sangat muda tidak pernah terpikir hal-hal yang buruk padahal aku sama sekali tidak bisa berenang. Namun mungkin rasa percaya kepada pengayuh perahu dan kakekku, aku tetap merasa aman. Hingga sekarang umurku yang sudah 25 tahun, bau air sungai yang kecoklatan dan gemercik air masih sangat terasa di hidungku dan kulitku. Aku sangat suka menurunkan jari-jari tanganku ke air lalu mengusap-usap permukaan air yang berombak karena kayuhan. Jika air surut dan arus tidak deras, kami sering bermain air di sungai.
Sesampai di kebun, kami akan berganti pakaian dengan baju yang sudah lusuh, kakek akan mengambil parang untuk membersihkan kebun dari semak belukar yang tumbuh di sekitar pohon Kakao. Sedang aku akan bermain di kebun bersama sepupuku. Setelah semuanya bersih kami akan memetik buah kakao yang berwarna kuning, ciri buah yang sudah masak. Kakek akan memetik Kakao menggunakan bambu yang di ujungnya dikaitkan pisau sedangkan aku yang masih kanak-kanak bertugas memungut dan mengumpulkannya di sekitar rumah kebun, semuanya kulakukan dengan semangat sambil tertawa riang.
Buah Kakao yang telah terkumpul selanjutnya akan dipisahkan dari kulitnya, saat inilah yang aku tunggu bersama sepupuku. Daging buah Kakao sangatlah lezat dil lidah mungil kami, rasanya manis kadang-kadang bercampur kecut. Seandainya nenek tidak melarang kami, mungkin semua biji kakao akan aku lahap. Katanya “Jika makan terlalu banyak akan menyebabkan sakit perut”. Saat itu aku percaya saja, sakit adalah momok menakutkan bagiku apalagi jika memikirkan dokter membawa jarum suntik yang panjang dan siap ditancapkan di pantatku.
Suara adzan dzuhur akan menghentikan aktifitas kami, kakek dan nenekku akan shalat. Setelah itu kami akan makan bersama di dalam rumah kebun yang sangat sederhana, bangunannya seperti rumah panggung namun ukurannya lebih kecil, tiang penopang dan dindingnya terbuat dari kayu, potongan bambu-bambu kering disusun menjadi lantai, atapnya dari daun kelapa yang disusun sehingga bisa menahan air ketika hujan, rumah itu terletak di sudut kiri kebun, dekat dengan jalan.
Momen-momen makan di kebun masih teringat jelas di ingatanku walaupun itu sudah lama, kami akan diberikan piring yang berisi lauk ikan atau telur, sambal, aku akan mengambil sayur sendiri karena dulu aku tidak terlalu suka sayur, aku lebih suka air putih menjadi kuah nasi.
Sehabis makan, kami beristirahat dan kakek akan bercerita tentang banyak hal mengenai keluarganya, perjuangan dia untuk sekolah, cerita-cerita rakyat, dan pengalamannya ketika mengajar bahasa Jepang dan Inggris di sekolah. Aku sangat tertarik dengan semua yang diceritakannya kepadaku. Waktu seumuran aku, dia berjuang untuk bisa bersekolah, ia meninggalkan rumah dan tinggal di rumah seorang sanak keluarganya agar bisa sekolah. Dari tiga bersaudara, hanya dia yang bersekolah. Kakak dan Adiknya memilih untuk berkebun seperti kebanyakan orangtua mereka.
Jika berangkat sekolah ia harus berjalan kaki dan bersepeda puluhan kilometer, kadang jika hujan bajunya yang basah ia tetap kenakan hingga kering di jalan. Kisahnya sangat mendebarkan dan membuat saya sangat tertarik, berbeda dengan masa kecilku yang hanya berjalan beberapa meter untuk bersekolah, itupun kadang aku berpura-pura sakit perut ketika malas masuk sekolah. Perjuangannya yang gigih membuat ia bersekolah hingga mendapat sarjana muda kala itu.
Sehabis beristirahat, kami akan memasukkan biji Kakao ke dalam karung untuk dibawa pulang dan dikeringkan di sekitar rumah. Sebelum pulang, kami berkunjung ke rumah keponakan kakek yang tinggal tidak jauh dari kebun, di sana kami bisa melihat ulat yang menghasilkan benang sutera. Aku sangat suka mengelus-elus kulit ulat sutera yang sangat halus. Keponakan laki-laki kakek sangat pandai membuat mainan tradisional, dia sering membuatkan aku gasing dan layangan, pernah aku sama kakakku dibuatkan layangang berbentuk burung merak yang sangat besar dan cantik dibadannya diberi pita kaset sehingga bisa mengeluarkan suara yang terdengar indah ketika mengangkasa tertiup angin. Jika aku menerbangkannya di sawah belakang rumah kakek, anak-anak disekitar rumah akan berkumpul menonton dan mengagumi layangan kami.
Hari Selasa dan Sabtu merupakan hari yang sangat ditunggu bagi para petani, peternak ayam, pengemudi bendi, tukang becak, kuli pasar, penjual ikan, penjual pakaian, penjual emas, penjual obat keliling yang selalu menampilkan sulap, dan manteri pasar termasuk kakekku, aku dan cucunya yang lain karena hari itu adalah hari pasar yang hanya digelar dua kali dalam sepekan. Kakek akan membawa Kakao kering kepada tengkulak di pasar, setelah pulang ia akan membagi-bagikan uang sebagai imbalan karena membantunya berkebun. Kala itu aku bersama sepupuku merasa sangat senang lalu ke pasar belanja mainan, kadang aku menabungnya untuk membeli perlengkapan sekolah.
Semua ceritaku di atas sangat berkesan hingga masih terpatri dalam tiap ruang-ruang di rongga dadaku. Setiap mengingatnya, aku ingin kembali ke masa itu walaupun itu tidak mungkin terjadi. Aku sangat hormat kepada “Bapak Lato” dan mematuhi segala keinginannya termasuk ketika melarang aku ke Pulau Jawa untuk melanjutkan kuliah walaupun kedua orangtuaku telah setuju, aku percaya dengan segala keputusannya. Mungkin karena itu kala kuliah aku-pun dijatah uang saku tiap bulan dari gaji pensiunannya yang tak seberapa. Kakek dan nenek  juga sering kali datang ke ibukota provinsi tempat aku kuliah hanya untuk mengurusi aku. Jika ia sakit aku mengantarnya ke rumah sakit, pernah suatu kali waktu kami ke rumah sakit. Dokter yang memeriksanya menyarankan ia agar di operasi agar penyakitnya bisa diangkat tetapi dengan kata dan nada yang halus namun tegar ia berucap bahwa kalaupun ajalnya akan tiba dia telah siap dan bercerita jika teman-teman kala ia muda telah mati lebih dulu. Saat itu aku salut dengan ketegaran hati yang dimiliki kakek, dia tidak seperti orang-orang kaya yang kadang berobat keluar negeri hanya untuk menunda kematian seakan mereka takut akan kematian.
Momen yang juga tidak terlupakan adalah ketika setiap awal bulan kakek akan menjemputku di rumah lalu berdua naik becak ke kantor pos untuk mengambil gaji pensiunnya. Kami duduk di kursi yang berjejeran di halaman kantor pos bersama para pensiunan guru, pegawai daerah, dan veteran yang juga ditemani cucu-cucunya menunggu nomor antrian kami dipanggil. Sepulang dari kantor pos, kakek akan mentraktirku makan dan memberiku uang saku lalu naik becak lagi pulang ke rumah.
Semua momen di atas tidak akan terulang lagi, karena kakekku telah memasuki masa senja mungkin umurnya telah lebih 70 tahun sekarang ia-pun agak  pikun, kebun Kakao tidak terurus lagi ketika kakek merasa tidak kuat lagi berkebun dan tidak ada anaknya yang melanjutkannya, kebunnya pun sekarang telah berganti menjadi tanah persawahan yang disewakan ke orang lain, sungai yang dulu tenang itu seringkali mengamuk dan meluap menggagalkan panen petani, anak-anak di sekitar rumah kakek telah tumbuh menjadi lelaki dewasa sedangkan anak jaman sekarang lebih suka bermain game dengan gadgetnya sebagian suka nonton sinetron di tv. Tanah persawahan di belakang rumah kakek-pun telah berubah menjadi perumahan yang sesak. Bendi dan becak telah hilang dari jalan-jalan raya, mungkin sekarang ini hanya bisa dijumpai di buku-buku atau museum kendaraan.


Es kopi Kong Djie di pasar lama Tangerang

Judul               : Cinta di Dalam Gelas
Penulis            : Andrea Hirata
Penerbit          : Penerbit Bentang
Cetakan           : Kesembilan, Februari 2017
Kota                : Sleman, Yogyakarta

Sinopsis :

Novel Cinta di Dalam Gelas ini adalah lanjutan kisah dari Novel Padang Bulan. Seperti dalam novel sebelumnya yang memiliki dua tokoh utama protagonis namun yang membedakannya adalah novel pertama pada awal kisah menceritakan mengenai tokoh Enong dan selanjutnya kisahnya lebih berputar tentang kegelisahan Ikal yang ditinggal oleh A Ling yang disertai desas-desus bahwa ia akan menikah dengan Zinar. Sedangkan, pada novel kedua ini kisahnya berputar tentang kisah Enong yang menegakkan martabatnya dengan cara membuktikan dirinya bahwa ia bisa lebih baik daripada mereka yang kadang meremehkannya. Di sini juga pembaca dapat melihat sebuah kerja keras dan perjuangan dari seorang perempuan yang dipandang tidak boleh memainkan permainan laki-laki hingga ia bisa mengalahkan lawan-lawannya (laki-laki).

Pada awal novel di buka dengan kebahagian Ikal yang batal merantau ke Jakarta karena lebih memilih tinggal bersama kekasinya  A Ling walaupun ia hanya bekerja sebagai pelayan Warung Kopi Usah Kau Kenang Lagi, yang tak lain pemiliknya adalah pamannya sendiri.

Sedangkan, kisah tokoh Maryamah diawali dengan ketulusan seorang kakak perempuan yang melepas adik-adiknya menikah lebih dahulu.  Akhirnya Enong terpaksa menikah dengan seorang lelaki yang bernama Matarom karena ia tidak ingin melihat ibunya yang sakit selalu bersedih. Namun, pernikahan Enong tidak selancar ketiga adiknya, ia meminta diceraikan karena ada seorang perempuan hamil yang mengaku sebagai istri Matarom. Lelaki bernama Matarom terkenal sebagai juara catur 17 Agustus sebanyak dua kali berturut-turut.

Kebiasaan lelaki Melayu adalah gemar berlama-lama di warung kopi, dan yang mereka lakukan selain minum kopi, menjelek-jelekkan kinerja pemerintah adalah main catur. Di warung kopi lelaki korban PHK perusahaan timah menghabiskan waktu dengan menyeruput kopi sambil mengisahkan dan membangga-banggakan jabatan terkahirnya di Maskapai timah sebelum gulung tikar. Lelaki Melayu lebih juga menganggap bahwa kopi di warung lebih enak daripada kopi buatan isteri mereka.

Tidak semua kehidupan Maryamah berkutat dalam gelapnya kesedihan, ada juga kisah bahagia seperti ketika ia di wisuda. Maryamah akhirnya lulus dalam kursus bahasa Inggris dengan menempati peringkat kelima, kelulusan Maryamah sangatlah spesial bagi direktur kursus karena sebenarnya murid-murid mereka kebanyakan murid SMA, hanya Maryamah murid yang telah dewasa. Ia pun diminta untuk naik ke podium menerima piagam dan kesempatan pidato. Dengan ragu Maryamah meraih mikrofon mengucapkan tiga buah kata “Sacrifice, honesty, freedom.”

Novel cinta di dalam gelas juga seperti sebuah jurnal penelitian mengenai hubungan antara perilaku laki-laki Melayu dengan rasa, dan takaran kopi serta cara mereka menyeruput kopi.  Menurut lelaki Melayu, mereka yang sama sekali tidak minum kopi adalah penyia-nyia kehidupan. Selain itu, diceritakan juga berbagai karakter pemain catur yang saling berhubungan dengan cara mereka bermain catur.

Inti cerita dalam novel ini adalah perjuangan Enong atau Maryamah yang ingin menaklukkan mantan suaminya Matarom di papan catur sebagai juara kejuaraan catur 17 Agustus walaupun ia sebelumnya tidak pernah bermain catur. Dengan di bantu Ikal, Detektif M. Nur, Jose Rizal, Ratna Mutu Manikam, Selamot, Preman Cebol, Lintang, Chip, dan terutama grand master catur Ninockha Stronovsky, permainan catur Maryamah berkembang hingga ia bisa menguasai taktik Guioco Piano ciptaan juara dunia catur Anatoly Karpov sehingga dia dijuluki Maryamah Karpov.

Melalui pertandingan catur Maryamah bertemu orang-orang dengan kebaikan dan keburukannya masing-masing yang pernah bertemu dengannya dan juga bertemu Tarub lelaki yang pernah membuat ia jatuh hati.


Pementasan teater di Taman Ismail Marzuki
Judul               : Padang Bulan
Penulis            : Andrea Hirata
Penerbit          : Penerbit Bentang
Cetakan           : Kesebelas, Februari 2017
Kota                : Sleman, Yogyakarta

Sinopsis :

Novel Padang Bulan merupakan novel pertama dari dwilogi Padang Bulan itu sendiri. Dalam novel ini terdapat dua kisah yang berlainan oleh dua tokoh utama yang berbeda, latar, dan alur kisah yang berbeda pula namun kedua tokoh itu akan bermuara dalam satu alur cerita ketika mereka dipertemukan oleh nasib.

Kisah dalam novel ini dibuka dengan latarbelakang kehidupan tokoh utama yaitu Enong, seorang anak perempuan yang hidup dalam keluarga yang sederhana, ayahnya seorang penambang timah tradisional dan ibunya, perempuan yang mengabdikan hidupnya untuk mengurusi keperluan rumah tangga dan anak-anaknya. Namun, Zamzami sangat menyayangi anak dan istrinya itu harus mati tertimbun tanah tambang.

Enong seorang anak perempuan yang tumbuh dengan ceria dan cerdas, ia selalu menjadi juara kelas. Dia sangat menyukai pelajaran bahasa Inggris, ia juga bercita-cita ingin menjadi guru bahasa Inggris. Zamzami sangat bahagia dan bangga anaknya memiliki cita-cita menjadi guru bahasa Inggris. Ia kemudian membanting tulang bak kuda untuk membelikan anaknya sebuah kamus bahasa Inggris satu miliyar , dengan kerja keras menambang, menjual air nira, dan menjual kerang, akhirnya Zamzami dapat membelikan Enong kamus bahasa Inggris satu miliyar. Enong pun sangat bahagia karena mendapat hadiah tersebut, ia bahkan tak mampu menahan tangis ketika membaca sebuah tulisan dalam buku “Buku ini untuk anakku, Enong. Kamus satu miliar kata. Cukuplah untuk sampai bisa menjadi guru bahasa Inggris seperti Ibu Nizam. Kejarlah cita-citamu, jangan menyerah, semoga sukses. Tertanda, Ayahmu.”

Kebahagian yang meliputi Enong tiba-tiba berganti menjadi kisah-kisah pilu yang harus dilewati oleh seorang anak perempuan yang mengubur cita-citanya karena menjadi tumpuan kehidupan bagi ibu dan adik-adiknya. Ia harus rela keluar dari sekolah yang ia sukai lalu berganti menjadi pendulang perempuan pertama dalam sejarah tambang timah. Walaupun ia telah menjadi pendulang timah namun, semangat untuk belajar bahasa Inggris-nya tidak pernah pudar, di sela-sela istirahat ia tetap membuka-buka kamus yang diberikan oleh ayahnya.

Kemudian, di latar lain dalam novel menampilkan kisah seorang bujang yang sudah hampir lapuk bernama Lintang, namun ia sebenarnya memiliki pujaan hati yang bernama A Ling. Mereka saling mencintai tetapi ayah Lintang tidak merestui hubungan mereka. Karena hal itu, Lintang ingin mengajak A Ling lari ke Jakarta lalu mereka bisa hidup bahagia berdua. Namun, rencana mereka batal karena A Ling dikabarkan dekat dengan seorang pria Tionghoa lalu melalui gosip di warung kopi pria itu telah melamar A Ling. Sejak saat itu A Ling pun tidak pernah terlihat lagi di rumahnya, ia menghilang entah ke mana. Lintang pun berniat menemui Zinar untuk menanyakan keberadaan A Ling, ketika dia sampai ke toko Zinar ia melihat seorang sosok pria yang gagah, postur atletis, dan senyum yang ramah kepada pelanggan termasuk pada dirinya. Akhirnya ia merasa kalah dan mengakui bahwa Zinar memang lebih pantas memproleh cinta A Ling.

Di tengah kepedihan yang dirasakan oleh Lintang, ia tidak sengaja bertemu dengan Enong di kantor pos. Lintang tertarik melihat kamu 1.000.000.000 kata yang dipegang oleh Enong ketika mencari kata-kata yang Enong tidak ketahui artinya. Dengan dibantu oleh Lintang akhirnya Enong dapat mengetahui arti kata tersebut. Pertemuan itu berlanjut dengan obrolan panjang tentang kesukaan Enong terhadap bahasa Inggris.

Lintang yang telah sakit hati kemudian berkeinginan berangkat ke Jakarta melamar pekerjaan dan ditemani Detektif M. Nur yang ingin kursus teknisi antena parabola. Mereka berdua berangkat ke Tanjong Pandang ditemani Enong yang ingin mendaftar kursus bahasa Inggris.

Namun, pagi hari sebelum kapal Mualim Syahbana berangkat ke Jakarta, Lintang membatalkan niatnya karena ingin menantang Zinar bermain catur, sedangkan Detektif tidak berangkat karena ia tidak rela meninggalkan Jose Rizal.

Akhirnya, Lintang bertekad membuktikan bahwa ia lebih unggul daripada Zinar pada perayaan 17 Agustus-an, namun yang terjadi adalah kekalahan demi kekalahan yang Lintang terima atas Zinar. Namun, kekalahan tersebut tidak menyurutkan niatnya ingin membuktikan bahwa ia lebih baik daripada Zinar. Lalu muncul ide gila Lintang bahwa perempuan menyukai laki-laki yang bertubuh tinggi maka ia kemudian membeli sebuah alat untuk menambah tinggi badannya, namun yang terjadi adalah kejadian lucu yang  membuat ia dikira ingin bunuh diri oleh Enong dan Detektif M. Nur karena frustasi ditinggalkan oleh A Ling.

Ia kemudian sekali lagi memutuskan lagi untuk bepergian ke Jakarta melamar pekerjaan setelah berbagai kejadian-kejadian memalukan yang menimpanya, namun suatu sore ketika ia merenung di jendela, Lintang melihat A Ling berdiri di pekarangan rumahnya. A Ling menjelaskan bahwa beberapa hari ini ia sibuk membantu sahabat pamannya membuka toko dan menyiapkan perkawainannya, lalu A Ling memberikan undangan untuknya dan ayahnya agar hadir di acara pernikahan Zinar. Semua hal konyol yang menimpa Lintang karena kesalahan dari Detektif M.Nur ketika mendengar gosip di warung kopi.


Tokoh Dalam Novel Padang Bulan :
1.       Lintang
2.       A Ling
3.       Enong Maryamah
4.       Ichsanul Maimun bin Nurdin Mustamin (Detektif M.Nur)
5.       Jose Rizal (Seekor Merpati Pos)
6.       Zinar (seorang pria Tionghoa yang gagah, sopan, olahragawan, dan segala yang dimilikinya mungkin lebih baik daripada Lintang)