“Perempuan
mana yang suka dibandingkan dengan perempuan lain, apalagi tentang
kencantikan”, katanya dengan muka yang merajuk.
Aku
hanya memalingkan muka menatap langit malam itu yang sangat hitam, sepertinya
Tuhan memilih kain hitam untuk menutupi bumi karena manusia ketika diberikan
langit yang biru dengan berhiaskan gumpalan-gumpalan
awan putih namun dasar manusia mereka malah asik menggantinya dengan asap-asap
dari cerobong-cerobong pabrik, kendaraan, bahkan dari hasil pembakaran
hutan-hutan untuk dijadikan perkebunan. Kenyataan pahit yang harus ditanggung
oleh manusia.
Ketika
kembali kulihat ke dalam matanya, aku menemukan titik-titik air yang
bersembunyi di kelopaknya. Kalian harus tahu, aku mencintai dia bukan karena
dia tetapi karena bola matanya. Mata itu selalu bersinar dengan berpendar warna
hijau, setiap aku memandang matanya seakan melihat hamparan rerumputan hijau yang
menari-nari mengajak aku tidur selamanya. Aku pernah berkata kepadanya dengan
tatapan yang serius, “kalau aku mati, aku ingin bersemayam dalam bola matamu”.
Ia
hanya membalasnya dengan terkekeh, “aku tidak ingin seorang perayu bersemayam
dalam mataku”. Kemudian, ia melanjutkan dengan tatapan yang membuat aku seperti terserang penyakit Hipoksia, “Tapi aku akan mencongkelnya
untukmu sebagai kenang-kenangan jika kamu berselingkuh dengan perempuan lain
dan ketika aku menikahi laki-laki lain.”
“Kamu
tidak yakin dengan aku”. setelah menyeruput Kopi Toraja hitam kesukaanku.
“Tidak
ada kisah sepasang kekasih yang berakhir happy
ending, kalaupun ada berarti mereka menyimpan banyak kebohongan dibawah
ranjangnya.”
Kami
berdua bertemu di salah satu café tempat di mana kami ketika pertama kali
bertemu, dia suka dengan suasana café yang tak beratap, ia suka melihat
bintang, katanya “setiap mereka yang mati dibunuh, diperkosa, atau
aktivis-aktivis yang hilang menjelma menjadi bintang”, sedangkan aku suka menyeruput
secangkir Kopi Toraja sambil memandang bola matanya yang berwarna hijau.
Kubisikkan
ke telinganya,
“Aku ingin bercerita pengalamanku selama di
salah satu daerah di pulau Kalimantan.”
Ia
menoleh lalu berkata, “kamu terlalu banyak bercerita dan menyeruput kopi”.
Aku
lalu memulai ceritaku tentang Kalimantan yang pernah aku baca dan dia baca di
buku-buku pelajaran ketika masih sekolah dulu. Ia hanya mendengarkan, sesekali
ia memprotesku karena aku lebih mirip guru sejarah bukan seorang pendongen
handal yang mampu membuat penontonnya duduk berjam-jam karena rasa penasaran.
Pernah suatu hari aku membeli tiket untuk menonton pendongen namun aku kecewa
karena akhir ceritanya happy ending, aku
lebih suka manusia memandang kehidupan ini dengan sisi kepedihannya agar terbiasa
dengan rasa sakit.
Sore itu aku tiba
dengan pesawat dari Jakarta, kulihat di sekeliling luar jendela pesawat yang
masih dibasahi oleh embun, terlihat betapa indahnya pertemuan garis-garis yang
membentang sepanjang muara Sungai Kapuas dan Laut Cina Selatan, dua hal yang
berbeda yang tidak akan bercampur namun karena hal itu tercipta garis-garis
abstrak yang mungkin akan ditawar mahal oleh kolektor lukisan.
“belikan
aku juga lukisan seperti itu biar seperti ibu-ibu pejabat yang hanya membeli lukisan
mahal untuk hiasan ruang tamunya, makna atau alasan pelukis menuangkan perasaan
ke atas kanvas nomor kesekian yang terpenting namanya tercatat dalam daftar
nama pembeli lukisan di galeri-galeri pelukis tersohor di negeri ini.” mulutnya
yang mungil terus saja berisi nada-nada minor.
Perjalananku
selanjutnya melewati jalan-jalan beraspal menuju ke salah satu daerah, aku
menoleh kiri-kanan selama perjalanan aku menantikan menjumpai pohon-pohon
raksasa yang tumbuh di lebatnya hutan Kalimantan,sesekali aku melihat langit,
mungkin aku juga bisa menjumpai burung Enggan yang menjadi mascot Kalimantan,
tetapi yang ada hanya hamparan langit yang biru dan awan mengkilat-kilat karena
pantulan cahaya matahari. Berjam-jam aku menantikan dua hal itu, namun seperti
kisah-kisah yang bergendre sedih, selalu berujung dengan rasa sakit.
Di dalam kepalaku, segalanya mulai
mempertanyakan tulisan-tulisan yang pernah aku baca, juga kecurigaanku terhadap
guru yang pernah mengajarkan mengenai bentang alam Kalimantan dan semua
margasatwa yang hidup di dalamnya. Inikah sebuah kebohongan yang terstruktur
yang dibuat oleh pemerintah untuk menidurkan rakyatnya, dengan hanya
menampilkan segala hal yang baik namun
mengubur segala yang buruk. Apakah mereka mencuci otak kami sejak kanak-kanak
dengan berbagai doktrin yang ia sebarkan, dengan janji mimpi indah tentang masa
depan akan dunia yang lebih modern. Ia seperti sengaja melupakan kerusakan yang
telah diciptakannya untuk menjadi negeri yang modern. Pernah aku membaca surat
kabar sambil menyeruput kopi hitam di café ini beberapa bulan yang lalu, aku
menggigil membaca tulisan-tulisan yang berisi pembangunan pabrik-pabrik,
pembukaan lahan perkebunan, pengerukan tanah tambang sebagai alasan untuk lebih
mensejahterahkan rakyatnya. Rasa kopi malam itu tidak pahit, namun asin dan
berbau amis seperti darah manusia, akupun hanya menyeruputnya beberapa kali.
Rasa penasaranku
membawa aku berjalan-jalan untuk menyaksikan secara dekat hutan-hutan yang
telah berganti rupa menjadi perkebunan kelapa sawit yang berjejer rapi seperti
garis-garis dalam buku tulis. Semuanya tampak tenang, hanya suara hembusan
angin yang terbawa dari laut Cina Selatan yang mendengung dalam gendang
telinga, tak lupa ia menerbangkan debu-debu dari tanah yang gersang. Seseorang
memberitahuku, “dahulu tanah-tanah di sini rawa gambut, lahan-lahanya basah”.
“Bagus dong, sekarang
lahannya sudah menjadi lahan produktif.”
“Hmm, kamu tahu lahan
gambut itu mampu mengurangi pemanasan global karena menahan gas-gas rumah
kaca.” Lanjutnya dengan raut muka yang masam.
“Lalu, kenapa
masyarakat sini mendukung pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit?”
“Karena mereka seperti
kamu.” Ia kemudian berlalu menuju setapak-setapak perkebunan kelapa sawit.
Perempuanku
yang sedari tadi diam, menatap bibirku yang terus saja menumpahkan ratusan
kata-kata, memotong ceritaku.
“Lalu
perempuan siapa tour guide-mu hari itu?” dia hanya melempar pertanyaan lalu
hilang ditelan lorong-lorong kelam yang menganga seperti mulut iblis.
Aku
tak mengejarnya, aku hanya terdiam dan menyeruput kopi Toraja yang semakin
pahit karena dingin. Lalu setelah membayar bon, aku menengok ke arah meja kami.
Di sana terlihat ada bungkusan kado dibalut dengan kertas berwarna-warni, saat
ku buka isinya bola mata berwarna hijau milik perempuanku yang pernah ku kenal.
0 komentar:
Posting Komentar