Pasar, karya Kuntowijoyo


Pasar modern Tangerang
Judul              : Pasar
Penulis           : Kuntowijoyo
Penerbit         : Mata Angin (Cetakan Ketiga, 2016)

Novel Pasar selesai ditulis oleh Kuntowijoyo di Yogyakarta, 8 November 1971. Kemudian cetakan pertama novel pasar diterbitkan pada Maret 1995. Kisah dalam novel Pasar berputar pada latar tempat yaitu Pasar, dan para tokohnya juga adalah mereka yang memiliki hubungan dengan pasar. Tokoh utama di novel Pasar ini adalah Pak Mantri, yaitu seorang kepala Pasar, ia digambarkan sebagai tokoh yang sangat bijaksana sejak dalam pikiran, namun ia karena ketuannya, terkadang ia egois dan menyalahkan orang lain terhadap kekacauan yang terjadi disekitarnya. Kesadaran-kesadaran baru dan pengalaman membuat ia akhirnya menyadari bahwa kepentingan orang umum lebih baik, walaupun ia harus mengorbankan kesenangannya. Ia juga telah mulai percaya dengan generasi muda yang akan mewarisi masa depan, namun ia tekankan bahwa manusia itu harus tahu sastra.
Setelah selesai membaca novel Pasar, saya mencoba mengungkapkan kutipan-kutipan dalam novel Pasar ;
  • Ketahuilah. Juru penghibur yang sejati ialah diri kita sendiri. Makna hidup itu tidak ada pada yang sekarang tetapi pada yang kemudian. Memang, mungkin sekarang kita susah. Itu hanya sementara. Kesusahan dan kesukaan lenyap dalam hidup kita. Keduanya adalah warna yang berlainan dari satu hal, yaitu hidup kita. Ingatlah, ada malam ada siang. Tetapi keduanya hari. Malam hari dan siang hari adalah urutan saja. Sesudah malam, siang akan datang. Mengapa engkau khawatir? Kesusahan adalah karena pikiran kita sendiri. Kalau kita berpikir bahwa yang menyusahkan itu juga membahagiakan, kita akan menyerah. Mungkin sekarang engkau disusahkannya., tetapi kemudian, setelah dalam jangka yang panjang, engkau tahu bahwa engkau sebenarnya berbahagia pada waktu dulu itu. Nah, ada rahasia yang kita tak tahu. Hidup penuh rahasia. Maka tenanglah pikiranmu.
  • Kerjakanlah apa yang bisa kau kerjakan. Jangan serakah. Apa yang kita cari? Sesuap nasi untuk hidup. Hidup bukan untuk makan, tetapi makan untuk hidup. Mengapa engkau gelisah? Karena engkau ingin yang lebih dari yang kau bisa dapatkan. 
  • “Hidup kita pusatnya di sini,” Pak Mantri menunjuk jantungnya. “Hati. Yaitu bagaimana engkau memahami. Kita punya akal. Kita gunakan akal untuk mencari uang, untuk cari pangkat. Tetapi ketahuilah itu baru syarat bagi hidup. Jangan campur adukkan antara pelengkap hidup dan hakikatnya. Yang penting rasa. Rasa itu di sini letakknya. Pusat engkau bernapas. Pusat peredaran darahmu. Kalau kau takut engkau gemetar, di situlah rasa. Kalau engkau senang dia berdebar, sebab di situlah rasa. Kalau kebahagian itu akal ,tentulah orang sedikit saja yang berbahagia, dan yang tidak punya akal boleh membunuh diri. Tidak. Dan untuk memiliki ketajaman rasa, itu sulit-sulit mudah. Mempertajam akal ada alatnya. Engkau bisa ke sekolah belajar berhitung dan ilmu alam. Tetapi memperdalam rasa? Uh. Hanya dengan meresapkan hiduplah jalannnya. Beruntunglah, karena rasa itu bukan milik orang pandai saja atau orang kaya saja. Ia dapat dimiliki oleh siapa saja yang mau mencari. Mudah-mudah sukar? Ya. Kalau engkau tidur, lenyaplah akalmu. Tetapi engkau tidur pun rasamu masih sadar. Sebab, ia tak pernah lengah. Engkau dapat takut dalam mimpi, dapat senang dalam tidur. Itu rasa.Tetapi coba. Dapakah engkau menghitung-hitung pendapatan karcis pasar dalam tidur? Tentu tidak. Rasa selalu terjaga. Ia adalah milik kita yang abadi. Bahkan ia akan kita bawa sesudah mati. 
  • Sekarang apakah rasa itu dapat kita kuasai atau tidak. Itu soalnya. Berbahagialah mereka yang dapat menguasai rasa. Semua orang punya rasa, seperti semua orang punya napas. Hanya sedikit orang yang mempunyai kekuatan untuk menguasai napasnya. Begitu juga rasa. Semua punya, tetapi sebagian dikuasai rasa, sebagian menguasai rasa. Engkau mesti masuk orang yang menguasai rasa itu. Rasa harus dikuasai dan ditajamkan. Banyak orang membunuh rasa dengan macam-macam cara. Dengan mengejar uang, mengejar pangkat, mengejar kesenangan. Kekayaan, kedudukan, kekuasaan, kepandaian, dapat mematikan rasa. Mati rasa berarti hilang kemanusian kita. Hidup ialah bagaimana kita merasakan sesuatu. Bukan bagaimana kita memiliki kemewahan, kekuasaan, kekayaan.” Sebentar ia menghirup napas. Panjang-panjang, memandang keluar jendela. “Sekarang ini orang mengatakan zaman maju. Tetapi kemajuan itu? Maju akalnya? Maju kemewahannya? Orang bilang dapat menguasai alam. Siapakah yang bisa mengatakan telah dapat menguasai dirinya? Kebanyakan kita masih dikuasai oleh nafsu. Betul, nafsu ialah bagian kita yang tak tepisahkan, tetapi hendaknya ia kita kuasai. Perang? Keonaran? Perkelahian? Dengki? Srei? Jail? Methakil? Itulah nafsu. Nafsu mesti tunduk pada akal, dan akal mesti tunduk kepada rasa. Kalau tidak demikian, kita akan menjadi mesin. Mesin pencari uang, mesin pencipta kekuasaan, mesin penetas pangkat. Akal itu alat kita yang buta. Ia tidak mengenal baik-buruk, tidak menimbang tetapi bekerja. Itu bukan salahnya. 
  • Ketahuilah, orang itu tidak hidup sendiri, tetapi bersama orang-orang lain. Kita mesti mengenal hak-hak dan kewajiban. Ada hak kita, ada hak orang lain. Ada kewajiban kita, ada kewajiban orang. Masing-masing ada tempatnya. 
  • Kalau engkau kaya, jangan sekali-kali mengagungkan kekayaan. Ketahuilah kekayaan tidak abadi. Sekarang engkau kaya, bisa saja besok pagi engkau miskin. Sekaya-kaya orang di sini masih kaya Nabi Sulaiman. Harta itu titipan, nyawa itu pinjaman. 
  • Kita jangan mendendam. Sebab, semua orang akan memungut hasil perbuatannya sendiri. Kita tidak usah mendoakan apa-apa. Semuanya akan kejadian. Yang kaya akan miskin, yang pangkat akan hilang. Itu sudah digariskan. Kita hanya bisa menantinya saja. Kejahatan akan bertuah kejahatan pula. 
  • Semua orang punya salah. Yang tua karena ketuaanya, yang muda karena kemudaanya.
  • Kehormatan itu tidak bisa dibeli dengan uang, ketahuilah. Orang boleh berbeda dalam pangkat, kekayaan, umur, namun yang menentukan rendah-mulianya ialah budi.
  • Kesukaran-kesukaran dunia itu sementara, ia tahu betul. Sepedih-pedih siksa dunia, masih pedih siksa neraka, itu juga ia paham. Setelah dipikir-pikirnya, tidak ada alasan untuk susah. Ia pun tersenyum juga pada hari itu, sekalipun terlambat. 
  • Kejujuran ialah modal hidupnya. Minta kepandaian? Diakuinya ia bukan orang cukup makan sekolah. Kekayaan? Ia bukan pedagang atau petani bertanah. Kejujuran? Itulah satu-satunya yang bisa diberikan. Selebihnya ialah kesetiaan. Lebih dari itu tidak bisa diberikannya. 
  • Setiap orang akan mati. Dan setiap orang mati tak lagi bisa berjalan. Apakah ia akan merangkak sendiri ke kubur? Tidak. Tentu juga orang-orang lain yang akan membawanya ke sana. Maka, sepatutnya ia mengucapkan terima kash dengan berbuat sebaik-baiknya kepada mereka. Sekarang ia mengaku bersalah. Dan mengakui kesalahan lalu memperbaikinya sungguh perbuatan terpuji. 
  • Rumusnya adalah kebahagian bagi orang banyak. Sesuaikanlah kepentinganmu dengan kepentingan yang lebih besar. Inilah yang diperbuat Arjuna ketika menghadapi Resi Bima. Tidak salah lagi, pahlawan itu mencintai musuhnya, yang juga moyangnya. Tetapi lenyapkanlah dirimu bersama tujuan yang mulia. Muliakanlah dirimu bersama dengan kepentingan manusia. Mungkin itu menyiksamu. Menyedihkanmu. Menyengsarakanmu. Tetapi apa artinya setitik air dalam samudra yang luas. Dan siapakah sangkamu sang Adipati Karna itu? Ia tahu, Pandawa itu saudaranya sendiri. Tetapi ia memihak Kurawa, padahal sudah jelas bahwa ia akan hancur? Mengapa? Ia seorang pemberani. Satria itu menempatkan dirinya sebagai bagian dari warga yang hidup di Astina. Ia qdalah bagian dari Negara itu. Ia hanya satu bagian yang harus ikut dalam arus besar yang hidup di Astina. Ia hanya satu bagian yang harus ikut dalam arus besar yang disebut Perang Baratayuda. 
  • Kita punya tiga macam nafsu. Nafsu amarah ialah yang membuatmu angkara, mendorong ke perbuatan jahat. Nafsu lawamah, ialah memberi pertimbangan, berada di tengah-tengah, bergoyang seperti timbangan. Dan nafsu mutmainah ialah menuntunmu ke kebaikan. Orang yang sempurna ialah orang yang menguasai nafsu amarahnya, dan menuruti pertimbangan baik dan nafsu lawamah. Kita mesti mempunyai nafsu mutmainah . Dan manusia sempurna ialah manusia sejati, ialah nafsu mutmainah, ialah insan kamil, ialah cahaya sebesar lidi yang memancar di tengah angkasa. Tidak membenci ketika difitnah tdak menyerang ketika diancam. Mengapa ragu-ragu. Benar akan besinar, jahanam akan tenggelam. 
  • Menurut Pak Mantri, dunia itu tidak tetap, berubah. Siapa di atas, suatu kali akan di bawah, dan sebaliknya. Tunggulah saja, dan jangan mempercepat waktu. Sebab, waktu tak bisa diajukan atau diundurkan. 
  • Dunia ini akan damai. Yaitu, kalau hatimu damai. Sebaliknya, kalau hatimu rusuh, dunia akan rusuh juga. Soalnya ialah bagaiamana engkau merasa, bukan bagaimana yang sebenarnya terjadi. Rasa ialah kunci dari kebahagian. 
  • Ketika engakau gembira, ingatlah pada suatu kali kau akan mendapat kesusahan. Apalagi menertawakan nasib buruk orang lain, Nak. Jangan, sekali-kali jangan. Orang yang berpangkat harus berbuat baik, suka menolong. Kalau ada yang kesusahan, harus bisa membantu. Jangan malah menertawakan. Kalau tidak bisa membantu, menyesallah. Dan berjanjilah suatu kali kau akan membantu, sebaliknya ikutlah berduka cita atas kemalangan orang lain. Engkau boleh tertawa apabila saudaramu beroleh kesukaan. Bersusahlah bersama orang yang susah, bergembirahlah bersama orang yang bergembira. 
  • Mungkin kita suatu kali berlawanan dengan orang. Lawan ialah perbuatannya. Bukan orangnya. Prinsipnya ialah cinta. Ketahuilah bahwa sebenarnya dunia itu memang berpasangan. Misalnya kita nyatakan bahwa kemiskinan ialah musuh kita. Apa artinya pertama kita mesti melawannya. Menghilangkan kemiskinan, bukan menghinakan orang-orang melarat. Kita mesti berbuat sesuatu. Kita menghargai orang miskin, yang karena merekalah kita tahu bahwa kita kaya dan hidup enak. Miskin kaya hanyalah kebetulan. Kita tidak ditanya dulu ketika kita lahir apakah akan jadi kaya atau miskin. Maka, kalau kita kebetulan kaya kita harus tolong yang miskin. Kaya dan miskin. Keduanya adalah keadaan hidup kita. Hidup itu indah. Meskipun engkau menderita, percayalah hidup itu menyenngkan. Orang bahagia ialah yang tersenyum dalam senang atau susah. Cintailah hidupmu.



0 komentar:

Posting Komentar