Dengan menulis, ingatan tentang kakek yang biasa aku panggil “Bapak Lato” akan tetap abadi. Aku tidak ingin jika ingatanku telah senja aku melupakannya walaupun cara berceritaku tidak sepandai dan sepuitis para penyair.
Aku tidak akan melupakan “Bapak
Lato”, seorang laki-laki beruban yang selalu tersenyum ketika tersenyum nampak giginya
yang rata dan putih. Suaranya tidak pernah terdengar keras. Ia sangat sayang
kepada semua cucu-cucunya. Ketika aku dan sepupuku masih kanak-kanak ia selalu
bercerita sebelum kami tidur, sesekali menyanyikan lagu-lagu perjuangan, maklum
dia lahir ketika bangsa Indonesia baru
merdeka, tanggal dan bulannya tak pasti. Setiap aku bertanya kapan ia lahir,
jawabannya “Dia lahir ketika gerombolan “gorilla” masuk ke hutan.” Gorilla ini
merujuk kepada pemberontak-pemberontak ketika Indonesia telah merdeka.
Kakek mengajukan pensiun dini
dari tugas sebagai guru sekolah pertama, keputusannya bukan karena lelah
mengajar tetapi ia merasa sudah cukup pengabdiannya sebagai guru dan ingin
mengurusi kebun warisan dari ayahnya. Ia selalu kelihatan bersemangat pergi
berkebun, kakekku memiliki kebun yang jauhnya sekitar 5 km dari rumah. Dia
pergi dengan mengendarai sepeda motor bermerek Suzuki Jet Cooled yang sudah tua
juga bersama nenekku yang biasa kami panggil “Mama Aji”. Ketika aku dan
sepupuku liburan dan mengunjunginya, kami sering diajak untuk ikut berkebun.
Pengalaman berkebun dengan usia yang masih kanak-kanak tidak akan pernah
terlupakan. Kami pergi dengan mengendarai angkutan umum. Sebelum berangkat kami
mempersiapkan bekal dirantang bersusun, isinya nasi putih, sayur, ikan, dan
sambal. Bekal ini akan menjadi makan siang kami di rumah kebun.
Setelah turun dari angkutan
umum, kami harus berjalan melewati kuburan, lalu memasuki kebun-kebun orang lain
beberapa ratus meter untuk mencapai bibir sungai, kami kemudian naik perahu
kecil yang hanya muat untuk empat hingga lima orang saja namun ketika musim
kemarau panjang, kami bisa berjalan kaki diatas pasir-pasir sungai dan kerang-kerang
sungai yang telah mengering. Kakekku akan berteriak memanggil keponakannya yang
tinggal diseberang sungai yang sedang menjala ikan untuk menyeberangkan kami. Sungai
merupakan jantung kehidupan masyarakat, selain sebagai sumber makanan dan
minum, airnya juga dialirkan naik untuk
irigasi kebun-kebun jika sedang kemarau.
Saat naik ke perahu rasa
bahagia mengalahkan ketakutan jika perahu tenggelam, di umurku yang masih
sangat muda tidak pernah terpikir hal-hal yang buruk padahal aku sama sekali
tidak bisa berenang. Namun mungkin rasa percaya kepada pengayuh perahu dan
kakekku, aku tetap merasa aman. Hingga sekarang umurku yang sudah 25 tahun, bau
air sungai yang kecoklatan dan gemercik air masih sangat terasa di hidungku dan
kulitku. Aku sangat suka menurunkan jari-jari tanganku ke air lalu
mengusap-usap permukaan air yang berombak karena kayuhan. Jika air surut dan
arus tidak deras, kami sering bermain air di sungai.
Sesampai di kebun, kami
akan berganti pakaian dengan baju yang sudah lusuh, kakek akan mengambil parang
untuk membersihkan kebun dari semak belukar yang tumbuh di sekitar pohon Kakao.
Sedang aku akan bermain di kebun bersama sepupuku. Setelah semuanya bersih kami
akan memetik buah kakao yang berwarna kuning, ciri buah yang sudah masak. Kakek
akan memetik Kakao menggunakan bambu yang di ujungnya dikaitkan pisau sedangkan
aku yang masih kanak-kanak bertugas memungut dan mengumpulkannya di sekitar rumah
kebun, semuanya kulakukan dengan semangat sambil tertawa riang.
Buah Kakao yang telah
terkumpul selanjutnya akan dipisahkan dari kulitnya, saat inilah yang aku
tunggu bersama sepupuku. Daging buah Kakao sangatlah lezat dil lidah mungil
kami, rasanya manis kadang-kadang bercampur kecut. Seandainya nenek tidak
melarang kami, mungkin semua biji kakao akan aku lahap. Katanya “Jika makan
terlalu banyak akan menyebabkan sakit perut”. Saat itu aku percaya saja, sakit
adalah momok menakutkan bagiku apalagi jika memikirkan dokter membawa jarum
suntik yang panjang dan siap ditancapkan di pantatku.
Suara adzan dzuhur akan
menghentikan aktifitas kami, kakek dan nenekku akan shalat. Setelah itu kami
akan makan bersama di dalam rumah kebun yang sangat sederhana, bangunannya
seperti rumah panggung namun ukurannya lebih kecil, tiang penopang dan
dindingnya terbuat dari kayu, potongan bambu-bambu kering disusun menjadi
lantai, atapnya dari daun kelapa yang disusun sehingga bisa menahan air ketika
hujan, rumah itu terletak di sudut kiri kebun, dekat dengan jalan.
Momen-momen makan di kebun
masih teringat jelas di ingatanku walaupun itu sudah lama, kami akan diberikan
piring yang berisi lauk ikan atau telur, sambal, aku akan mengambil sayur
sendiri karena dulu aku tidak terlalu suka sayur, aku lebih suka air putih
menjadi kuah nasi.
Sehabis makan, kami
beristirahat dan kakek akan bercerita tentang banyak hal mengenai keluarganya,
perjuangan dia untuk sekolah, cerita-cerita rakyat, dan pengalamannya ketika
mengajar bahasa Jepang dan Inggris di sekolah. Aku sangat tertarik dengan semua
yang diceritakannya kepadaku. Waktu seumuran aku, dia berjuang untuk bisa
bersekolah, ia meninggalkan rumah dan tinggal di rumah seorang sanak
keluarganya agar bisa sekolah. Dari tiga bersaudara, hanya dia yang bersekolah.
Kakak dan Adiknya memilih untuk berkebun seperti kebanyakan orangtua mereka.
Jika berangkat sekolah ia
harus berjalan kaki dan bersepeda puluhan kilometer, kadang jika hujan bajunya
yang basah ia tetap kenakan hingga kering di jalan. Kisahnya sangat mendebarkan
dan membuat saya sangat tertarik, berbeda dengan masa kecilku yang hanya
berjalan beberapa meter untuk bersekolah, itupun kadang aku berpura-pura sakit
perut ketika malas masuk sekolah. Perjuangannya yang gigih membuat ia bersekolah
hingga mendapat sarjana muda kala itu.
Sehabis beristirahat, kami
akan memasukkan biji Kakao ke dalam karung untuk dibawa pulang dan dikeringkan
di sekitar rumah. Sebelum pulang, kami berkunjung ke rumah keponakan kakek yang
tinggal tidak jauh dari kebun, di sana kami bisa melihat ulat yang menghasilkan
benang sutera. Aku sangat suka mengelus-elus kulit ulat sutera yang sangat
halus. Keponakan laki-laki kakek sangat pandai membuat mainan tradisional, dia
sering membuatkan aku gasing dan layangan, pernah aku sama kakakku dibuatkan layangang
berbentuk burung merak yang sangat besar dan cantik dibadannya diberi pita
kaset sehingga bisa mengeluarkan suara yang terdengar indah ketika mengangkasa tertiup
angin. Jika aku menerbangkannya di sawah belakang rumah kakek, anak-anak
disekitar rumah akan berkumpul menonton dan mengagumi layangan kami.
Hari Selasa dan Sabtu
merupakan hari yang sangat ditunggu bagi para petani, peternak ayam, pengemudi
bendi, tukang becak, kuli pasar, penjual ikan, penjual pakaian, penjual emas, penjual
obat keliling yang selalu menampilkan sulap, dan manteri pasar termasuk
kakekku, aku dan cucunya yang lain karena hari itu adalah hari pasar yang hanya
digelar dua kali dalam sepekan. Kakek akan membawa Kakao kering kepada
tengkulak di pasar, setelah pulang ia akan membagi-bagikan uang sebagai imbalan
karena membantunya berkebun. Kala itu aku bersama sepupuku merasa sangat senang
lalu ke pasar belanja mainan, kadang aku menabungnya untuk membeli perlengkapan
sekolah.
Semua ceritaku di atas
sangat berkesan hingga masih terpatri dalam tiap ruang-ruang di rongga dadaku.
Setiap mengingatnya, aku ingin kembali ke masa itu walaupun itu tidak mungkin
terjadi. Aku sangat hormat kepada “Bapak Lato” dan mematuhi segala keinginannya
termasuk ketika melarang aku ke Pulau Jawa untuk melanjutkan kuliah walaupun
kedua orangtuaku telah setuju, aku percaya dengan segala keputusannya. Mungkin
karena itu kala kuliah aku-pun dijatah uang saku tiap bulan dari gaji pensiunannya
yang tak seberapa. Kakek dan nenek juga sering
kali datang ke ibukota provinsi tempat aku kuliah hanya untuk mengurusi aku.
Jika ia sakit aku mengantarnya ke rumah sakit, pernah suatu kali waktu kami ke
rumah sakit. Dokter yang memeriksanya menyarankan ia agar di operasi agar
penyakitnya bisa diangkat tetapi dengan kata dan nada yang halus namun tegar ia
berucap bahwa kalaupun ajalnya akan tiba dia telah siap dan bercerita jika teman-teman
kala ia muda telah mati lebih dulu. Saat itu aku salut dengan ketegaran hati
yang dimiliki kakek, dia tidak seperti orang-orang kaya yang kadang berobat keluar
negeri hanya untuk menunda kematian seakan mereka takut akan kematian.
Momen yang juga tidak terlupakan
adalah ketika setiap awal bulan kakek akan menjemputku di rumah lalu berdua
naik becak ke kantor pos untuk mengambil gaji pensiunnya. Kami duduk di kursi
yang berjejeran di halaman kantor pos bersama para pensiunan guru, pegawai
daerah, dan veteran yang juga ditemani cucu-cucunya menunggu nomor antrian kami
dipanggil. Sepulang dari kantor pos, kakek akan mentraktirku makan dan
memberiku uang saku lalu naik becak lagi pulang ke rumah.
Semua momen di atas tidak
akan terulang lagi, karena kakekku telah memasuki masa senja mungkin umurnya
telah lebih 70 tahun sekarang ia-pun agak pikun, kebun Kakao tidak terurus lagi ketika
kakek merasa tidak kuat lagi berkebun dan tidak ada anaknya yang melanjutkannya,
kebunnya pun sekarang telah berganti menjadi tanah persawahan yang disewakan ke
orang lain, sungai yang dulu tenang itu seringkali mengamuk dan meluap menggagalkan
panen petani, anak-anak di sekitar rumah kakek telah tumbuh menjadi lelaki
dewasa sedangkan anak jaman sekarang lebih suka bermain game dengan gadgetnya
sebagian suka nonton sinetron di tv. Tanah persawahan di belakang rumah
kakek-pun telah berubah menjadi perumahan yang sesak. Bendi dan becak telah
hilang dari jalan-jalan raya, mungkin sekarang ini hanya bisa dijumpai di
buku-buku atau museum kendaraan.