Seekor Bebek yang Mati di Pinggir Kali karya Puthut EA


Nelayan di sekitar Tanjung Lesung

Secara umum cerpen-cerpen ini berisi sebuah kisah yang lahir dari sebuah kehidupan yang sederhana, lahir dari kekelaman, kekejaman dan ketidakadilan, walaupun begitu tokoh-tokohnya tetap berdiri kokoh untuk bertahan dan melawan.

Kumpulan Cerpen Seekor Bebek yang Mati di Pinggir Kali karya Puthut EA berisi 15 cerpen, cerpen pertama yang berjudul sama dengan judul bukunya menampilkan sebuah cerita yang sulit ditebak bagian akhir alur ceritanya, semakin jauh dibaca semakin timbul rasa penasaran mengenai arah pembicaraan antar tokohnya. Latar ceritanya dibuat sederhana di stasiun kereta yang jika pembaca menggunakan imajinasinya, ia akan merasakan suasana sunyi di stasiun kereta api bahkan hingga seakan menghirup bau besi tua dari rel atapun kursi-kursi besi yang telah berkarat. Namun, menurut saya yang menjadi bahasan utama dalam cerpen Seekor Bebek yang Mati di Pinggir Kali adalah sebuah prasangka/cap sebagai komunis sangatlah tidak adil bagi mereka yang tidak tahu menahu mengenai paham tersebut seperti yang dialami oleh tokoh Ia yang hidupnya sengsara karena ayahnya dianggap seorang Komunis. Aku teringat masa ketika masih anak-anak dari perbincangan keluargaku dulu (zaman orde baru) kudengar jika mereka yang orangtua atau keluarganya dianggap komunis tidak bisa menjadi pegawai negeri sipil seperti halnya yang dikisahkan oleh Puthut EA. Mereka yang dianggap “komunis” seperti orang yang terkena virus atau penyakit menular yang mematikan sehingga orang-orang menjadi takut mendekat kepadanya. Cerpen ini juga tidak lupa menampilkan keseharian mereka yang terpinggirkan seperti gelandangan yang tidur di stasiun dan buku karangan Pramoedya yang ditulis di pulau Buru, di sela-sela karyanya ia menyebut karya orang lain yang menurutku memang pantas mendapat promosi sebagai bacaan karena sudah mulai banyak dilupakan oleh generasi Milenial dan generasi Z. Mungkin dengan disebutkannya sulitnya mendapatkan buku ini ketika masa orde baru akan menimbulkan rasa penasaran kepada generasi sekarang.

Kehidupan yang bermasalah adalah kehidupan orang-orang yang di kota, mereka (orang-orang kota) hidupnya sangat bergantung dengan keadaan perekonomian berbeda dengan masyarakat yang hidup di desa yang jika terjadi krisis masih dapat mencukupi hidupnya dengan hasil lahan-lahan pertanian/perkebunan. Pada cerpen berjudul KAWAN KECIL, Puthut EA menampilkan kisah antara dua kehidupan yang saling berkontradiksi, kehidupan orang kota dan kehidupan orang desa. Di kisah ini dia menyampaikan kritiknya dengan sangat indah melalui percakapan dua orang sahabat mengenai kehidupan orang-orang kota tak terkecuali tentang orang-orang desa yang ber-urbanisasi ke kota dengan mengorbankan kehidupan orang-orang di desa. Tiap tahun kita dapat menyaksikan bagaimana urbanisasi ke kota-kota besar selalu terjadi, kata mereka jika ditanya alasan ke kota “saya ingin mengadu nasib, kata orang pekerjaan di kota banyak dan bisa membuat seseorang menjadi kaya”. Pemikiran yang sangatlah optimis dan positif tetapi dibalik pernyataan tersebut terbersit kata “mengadu nasib” ada dua kemungkinan beruntung atau buntung (celaka). Di balik kepergian mereka ke kota mereka harus mengorbankan harta yang dimilikinya, banyak diantara mereka menjual lahan-lahan pertanian yang telah dikelola turun-temurun. Sehingga, ketika ternyata di kota yang menghampiri mereka adalah “nasib yang celaka” maka mereka akan hidup nelangsa di tengah kota. Walaupun begitu kehidupan di desa juga tak lepas dari kritiknya, permasalahan media untuk membaca yang tidak ada. Puthut EA menyelipkan kata “CD Orisinal dari berbagai album Slank”, ini seperti sebuah kampanye yang edukatif kepada masyarakat yang sudah sepatutnya para penikmat musik dan buku membeli karya-karya yang orisinal bukan bajakan. 

Sumber :  Judul Seekor Bebek yang Mati di Pinggir Kali, Penerbit Buku Mojok, Tahun 2016



0 komentar:

Posting Komentar