Matahari ibukota Jakarta yang tetap
menyengat walaupun langit kelihatan berkabut karena asap. Hal itu tidak
menyurutkan semangatku berkunjung ke tempat yang menurutku adalah surga mungkin
para penyuka buku juga akan menyebutnya semacam itu. Aku menuju ke gedung baru
Perpustakaan Nasional di Jalan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat. Sejak diresmikan
oleh Presiden Joko Widodo tanggal 14 September 2017, menurutku ini adalah
langkah nyata untuk meningkatkan minat literasi yang sedang terpuruk.
The World’s Most Literate Nations
(WMLN) pada tahun 2016, menempatkan Indonesia di peringkat 60 dari 61 negara.
Begitu juga menurut badan pendidikan PBB (UNESCO) menempatkan minat baca
Indonesia hanya 0,01%, artinya hanya 1 dari 10.000 orang yang menyukai membaca.
Mereka yang suka membaca buku adalah makhluk langka di Indonesia tetapi itu
bukan sebuah hal yang patut dibanggakan melainkan sebaliknya. Sebenarnya
pemerintah telah berhasil mengentaskan buta aksara, sejak Sekolah Dasar bahkan
mungkin sekarang di Taman Kanak-kanak telah ada pelajaran membaca. Mengenali
aksara adalah keharusan di jaman sekarang tetapi menumbuhkan budaya baca masih
mengalami kesulitan. Selain kesadaran akan pentingnya budaya membaca yang masih
kurang, hal ini diperparah dengan infrastruktur ataupun akses buku bacaan yang
masih sulit menjangkau hingga ke daerah-daerah.
Saya akan menceritakan bagaimana
Perpustakaan Nasional sangatlah berbeda dengan kebanyakan konsep perpustakaan
yang pernah aku kunjungi. Sebenarnya tidak banyak perpustakaan yang pernah aku
kunjungi, hanya tempat di mana saya pernah belajar namun dari sanalah saya bisa
menyimpulkan bahwa kebanyakan desain perpustakaan sudah terbilang ketinggalan
jaman padahal untuk mencari pembaca sangatlah sulit jika perpustakaan tidak
mengikuti perkembangan jaman dan tekhnologi yang semakin dinamis. Gambaran
perpustakaan seperti bangunan tua tidak terurus, deretan meja dan bangku yang
berdebu, rak-rak buku yang tinggi, ruangan yang pengap dan panas, buku-buku
yang teorinya telah ketinggalan, dan penjaga perpustakaan yang terlihat loyo
karena telah tua menjadi stigma yang melekat jika kita berbicara tentang
perpustakaan.
Kemegahan Perpustakaan Nasional telah
terlihat ketika saya memasuki halamannya, terlihat bangunan perpustakaan yang
menjulang tinggi. Perpustakaan Nasional memiliki 27 lantai atau setinggi 126,3
meter dengan luas bangunan 50.917 meter persegi. Hal ini menjadikannya gedung
perpustakaan tertinggi di dunia, klaim Presiden Jokowi ketika meresmikannya.
Sebelum memasuki gedung utama Perpusnas, kita harus melewati sebuah bangunan
yang berasitektur jaman kolonial. Saat masuk, saya seperti sedang berada di
ruang tamu pejabat Belanda. Ada meja dan empat buah sofa di tiap sisi pintu
masuk dan keluar. Begitu juga dengan dinding di ruang tamu terdapat puluhan
bingkai foto yang tergantung, beberapa diantaranya adalah layar LCD yang bisa
menampilkan beragam foto yang menceritakan zaman bersejarah di Indonesia. Ada
juga foto-foto anak bangsa yang berjuang untuk memajukan budaya literasi,
kebanyakan mereka adalah penulis, seperti penulis kesukaan saya Pramoedya
Ananta Toer dan Tan Malaka, selain itu ada juga Ahmad Wahib, Sapardi Djoko
Damono, Wiji Tukul, Goenawan Muhammad, dan masih banyak tokoh-tokoh lain.
RUANG TAMU BANGUNAN KOLONIAL PERPUSNAS |
Kemudian saya masuk ke ruangan yang
mirip dengan kamar tamu namun di dalamnya jelas tidak ada kasur tetapi
digantikan dengan layar di dinding yang terpancar dari proyektor. Di ruangan
itu saya bisa menyaksikan bagaimana sejarah aksara dan pustaka di Indonesia.
Ternyata, sejarah awal bukti penggunaan tulisan di masyarakat Indonesia di
mulai ketika Era Hindu-Budha dengan ditemukannya dokumen paling awal berupa
prasasti Yupa di Kalimantan Timur, yang berasal dari abad ke 5. Kemudian,
memasuki Era Islam yang diiringi dengan penyebaran aksara Arab yang mendapat
tempat terutama di wilayah berbahasa Melayu, sedangkan di waktu yang sama
beberapa masyarakat masih mempertahankan jenis tulisannya seperti Jawa, Sunda,
Bugis, Makassar, Rencong, dan Batak. Terkahir masuklah pengaruh atau Era Eropa
yang memperkenalkan penggunaan aksara Latin hampir di seluruh wilayah Indonesia
pada abad ke 16. Para kaum misionaris memegang peran penting dalam proses
latinisasi di Indonesia. Bangunan berarsitektur kolonial ini membawa saya
mengingat bagaimana budaya menulis dan membaca telah lama dekat dengan
masyarakat Indonesia serta pentingnya pendokumentasian dalam bentuk tulisan.
Aku selalu mengingat tulisan Pramoedya Ananta Toer dalam buku Bumi Manusia,
“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama dia tak menulis, ia akan
hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah”.
ANEKA RAGAM AKSARA NUSANTARA |
Mata saya lalu tersorot pada tulisan
“Perpusatakaaan Nasional Republik Indonesia” dan terjemahannya dalam empat
bahasa negara lain yang terpampang di dinding Perpustakaan Nasional. Setiap
orang berhak menggambarkan surga di kepalanya, termasuk aku yang
menggambarkannya sebagai rumah yang dipenuhi dengan buku dengan beberapa gelas
kopi hitam hangat. Mungkin di Perpusnas tidak boleh minum secangkir kopi hitam
sambil membaca tetapi buku yang tak terbatas untuk dibaca sudah aku anggap bagian
dari surga.
Memasuki lantai pertama, pengunjung disambut
dengan foto enam presiden yang pernah memerintah Indonesia. Selain itu, saya
sudah terkagum-kagum melihat tumpukan buku-buku yang bersampul tua disusun
setinggi empat lantai. Sebelum naik ke lantai berikutnya, aku diarahkan oleh security untuk menyimpan tas dan barang
bawaan lainnya seperti makanan dan minuman di loker. Ini salah satu cara
menjaga kebersihan dan agar pengunjung yang merasa memiliki buku yang disukanya
tidak membawanya pulang secara sembunyi-sembunyi. Sebagai pembaca yang baik dan
budiman, tidak sepatutnya kita mengambil buku yang bukan hak milik kita apalagi
buku teman yang dipinjam.
Saya dan pengunjung lainnya tidak
dibolehkan mengakses lantai lain sebelum mendaftarkan diri sebagai anggota di
Perpustakaan Nasional. Awalnya aku berpikir ini terlalu birokratis dan pasti
akan memakan waktu lama untuk antri membuat kartu anggota. Ternyata anggapan
saya salah, namanya perpustakaan modern, semuanya serba tekhnologi dan cepat.
Jangan samakan dengan proses pembuatan E-KTP atau pembuatan kartu kredit.
Syaratnya pun tidaklah banyak hanya butuh KTP. Tidak perlu antri untuk mengisi
formulir pendaftaran, disediakan puluhan layar computer untuk registrasi. Setelah
itu tinggal duduk menunggu nama dipanggil untuk dikonfirmasi terkait identitas
dan pengambilan foto. Pelayanannya sangatlah cepat, kartu anggota Perpusnasku
jadi dalam waktu 3 menit setelah di foto dibadingkan dengan E-KTP yang bisa
berminggu-minggu. Aku menghitung kurang lebih 20 menit saja untuk proses
pembuatan kartu anggota.
Aku menaiki lantai demi lantai dengan
tangga escalator, ternyata di lantai empat ada kantin jadi jangan takut
kelaparan jika ingin membaca dari pagi sampai perpustakaan tutup. Masih di
lantai yang sama dipamerkan buku-buku koleksi dari tiap provinsi yang ada di
Indonesia, kebanyakan berisi tentang keadaan geografi, budaya, bahasa dan
penemuan-penemuan purba di tiap-tiap provinsi.
Selanjutnya, untuk ke lantai 5 hingga
24 disediakan lift sebanyak 5 buah, sehingga pengunjung tidak perlu berkeringat
untuk mendaki setiap lantai. Aku kemudian berkunjung ke lantai 7, Layanan
Koleksi Anak, Lansia, dan Disabilitas. Suasana di layanan anak ini seperti
taman bermain yang dilengkapi dengan buku-buku cerita khusus anak-anak. Ada
bermacam-macam gambar kartun tokoh cerita dongeng khas Indonesia di tiap tiang
gedung yang menambah semaraknya ruangan ini. Seandainya saya masih kanak-kanak
mungkin saya akan lebih memilih untuk ke Perpustakaan Nasional daripada ke
sekolah. Ini menunjukkan bagaimana seriusnya pemerintah meningkatkan minat baca
masyarakatnya sedini mungkin. Aku belum pernah melihat perpusatakaan yang
seramah ini terhadap anak-anak, sungguh tidak ada kekakuan terhadap konsep
perpustakaan tradisional.
Gambaran perpustakaan di pemikiranku
adalah bangunan yang hanya menyimpan beranekaragam buku, dokumen atau teks-teks
tertulis lainnya. Namun setelah aku memasuki lantai 8, layanan koleksi visual,
konsep perpustakaan di kepalaku harus
direkonstruksi ulang. Di ruang ini disediakan komputer untuk menonton
koleksi film yang ada di Perpustakaan Nasional. Selain itu terdapat berbagai
macam koleksi kaset tape, CD film-film yang pernah populer dari produksi film
nasional hingga hollywood, ada juga CD beraneka ragam genre lagu, mulai lagu
anak-anak, pop Indonesia, dangdut, pop barat, rock, musik jazz, bahkan CD musik
tradisional atau lagu-lagu daerah yang jaman dulu banget. Perpustakaan Nasional
bukan hanya untuk mereka yang suka membaca tetapi juga untuk para penyuka musik
atau film.
Setiap daerah Indonesia memiliki
sejarah tulisnya masing-masing dengan menggunakan bahasa yang beranekaragam dan
dengan media yang berbeda pula. Ruang Layanan Koleksi Nusantara di lantai 9
seperti sebuah museum untuk memamerkan naskah-naskah kuno yang pernah ada di
Indonesia. Babad Dipenogoro, Panji Angraeni, Negarakertagama, La Galigo, Kitab
Tibb, dan masih banyak lagi. Ini cocok untuk mereka yang menyukai benda-benda
purbakala. Tetapi buat mereka yang menyukai buku-buku langka, bisa langsung ke
Lantai 14. Di sana banyak koleksi buku tua dan langka, kebanyakan berbahasa
asing seperti Belanda, Inggris, dan Cina. Aku tidak heran dengan banyaknya
koleksi buku yang berbahasa Belanda karena Indonesia pernah dijajah selama kurang
lebih 350 tahun. Namun, jika pengunjung ingin membacanya harus meminta bantuan
kepada pustakawan yang bertugas untuk mengambil dari rak karena buku-buku
tersebut terlihat rapuh di makan waktu.
LAYANAN KOLEKSI NUSANTARA |
Selanjutnya masih banyak lagi tempat-tempat
menarik yang tersedia di gedung Perpustakaan Nasional, seperti lantai yang
khusus untuk koleksi peta, foto dan lukisan. Waktu itu yang dipamerkan
kebanyakan gambar sampul majalah Tempo, ada gambar penyidik KPK Novel Baswedan
dan tidak jauh darinya ada juga karikatur tersangka korupsi E-KTP, Setya
Novanto. Selain itu ada juga ruangan yang dikhususkan buat mereka pemburu wifi
gratis, tempatnya pun sangat nyaman. Pengunjung bisa memilih mau duduk di
kursi, sofa atau selonjoran dengan bantal di karpet. Bagi mereka yang tidak membawa
laptop, ada juga ruangan yang seperti warnet. Bagi mereka yang ingin baca
koleksi majalah dari berbagai negara maju dan ASEAN ada di lantai 23.
Lantai yang menjadi penutup
perjalanan saya adalah lantai 24, Layanan Koleksi Budaya Nusantara dan Eksekutif
Lounge. Ruangan ini sangat nyaman untuk membaca sambil melihat ibukota Jakarta
dari ketinggian. Selain itu tersedia fasilitas tempat duduk yang sangat mewah
untuk sebuah perpustakaan. Beberapa lama aku di berkeliling di lantai terakhir
ini, kebanyakan pengunjungnya berfoto di balkon, entah mengarah ke Tugu Monumen
Nasional ataupun membelakangi gedung-gedung pencakar langit.
Perpustakaan Nasional di bangun
dengan serius oleh pemerintah untuk meningkatkan minat baca masyarakatnya yang
semakin menurun. Sekarang setelah adanya perpustakaan nasional seharusnya
mereka yang khususnya berada di Ibukota Jakarta tidak punya alasan keterbatasan
buku atau wajah perpustakaan yang tradisional karena kita telah memiliki
Perpustakaan Nasional yang berdiri megah dan dilengkapi tekhnologi modern. Penyuka
buku bukan hanya di ibukota, banyak diantaranya berada di daerah-daerah yang
jauh mulai dari Pulau Sabang sampai Merauke. Kesungguhan pemerintah pusat harus
diikuti oleh pemerintah daerah dengan melakukan pembaharuan terhadap
perpustakaan di masing-masing daerahnya. Janganlah hanya menjadikan
perpustakaan daerah sebagai bagian dari formalitas terbentuknya sebuah
pemerintahan. Terakhir, aku menyarankan bagi mereka yang berkunjung ke Jakarta
agar menyempatkan waktu untuk merasakan nyamannya membaca di perpustakaan yang
memiliki konsep lebih modern dan mungkin membaca sambil memandang Monas ataupun
melihat senja turun di tengah hiruk-pikuknya warga ibukota.