Kehidupan adalah perjalanan panjang melintasi stasiun-stasiun asing yang tak putus-putusnya.
“Ia tak dapat menetapkan kini apakah ia sedang beruntung atau sebaliknya. Apakah ia akan berangkat atau akan sampai. Dalam perjalanan atau sedang kembali. Mulai dan menyudahi ternyata sama”.

Seberapa sering kalimat di atas muncul jika kamu sedang mengalami peristiwa yang kadang membingunkan, peristiwa yang belum bisa membuatmu memposisikan diri.  Sebenarnya nyata tetapi kamu merasa itu hanya imajinasimu yang menjauh beberapa langkah dari kamu. Mungkin juga kamu pernah mencoba membiarkan imajinasimu meninggalkan tubuhmu untuk melakukan kejahatan yang terlintas di kepala atau sekedar melihat kemalangan yang menimpa tubuhmu. Tindakan – tindakan manusia yang tampak, sesungguhnya didorong oleh bagian manusia yang tak tampak.

Pertautan antara dunia indrawi dan imajiner, itulah yang menjadi roh dari Roman Stasiun karya Putu Wijaya yang memenangkan sayembara Dewan Kesenian Jakarta tahun 1975.
Stasiun dan kereta menjadi inti dari novel ini, hampir semua latar tempatnya berada di sekitar stasiun dan dalam kereta. Selain itu,  keduanya tidak hanya memiliki makna sebagai bentuk fisik. Seperti stasiun yang menjadi titik awal perjalanan tetapi juga sebaliknya sebagai titik akhir (kembali), seperti kehidupan mungkin saja setiap stasiun yang kamu singgahi merupakan peristiwa yang baru kamu jumpai atau kamu seringkali tiba di stasiun yang sama dengan kondisi yang tidak jauh berbeda saat kamu meninggalkannya, hal yang akan menyadarkan kita pergi-datang sama saja. Sedangkan kereta adalah serangkaian waktu yang membawamu melakukan perjalanan panjang melintasi stasiun-stasiun.

Novel Stasiun bercerita tentang peristiwa tragis yang dialami atau terjadi di sekitar tokoh utama yang melakukan perjalanan yang tidak memiliki pangkal ujung. Seorang laki-laki tua yang tidak tahu sedang berangkat atau kembali. Pembaca tidak akan segera menemukan alur cerita yang konsisten, karakter, dan logika bercerita yang merangkai setiap peristiwa dalam novel. Dunia khayal dan dunia nyata seringkali bercampur dan membingungkan, seperti tokoh utama, pembaca juga akan terkejut ketika tokoh utama melihat rohnya terbebas dari badan, berjumpa dengan orang yang persis sama dengan dirinya, atau kepala yang terlepas dari tubuhnya, bahkan menemukan dirinya telah mati. Kekalahan demi kekalahan, itulah yang dialami oleh tokoh utama.

Di awali dengan deretan situasi dan latar yang saling mengisi dalam satu paragraf pembuka novel yang membentuk sebuah puisi yang indah. Lalu ditutup juga dengan sebuah puisi yang membuat pembacanya mengernyitkan alis sambil berpikir bahwa apakah itu sebuah peristiwa yang nyata ? Cara terbaik menikmatinya dengan membaca kata per kata yang menjadi kalimat, lalu rekonstruksi menggunakan imajinasimu.

Peristiwa yang menurutku sangat menarik adalah ketika tokoh utama, dianggap oleh pencerita mencoba mengambil semua perhatian pembaca dari sekian banyak penumpang dalam kereta. Mungkin hal ini pernah terjadi di sekitar pembaca atau mungkin pembaca sendiri mengalaminya sendiri, seseorang yang menjadikan dirinya sebagai korban lalu menikmati semua perhatian dan rasa kasihan dari orang lain.

“Ia ingin mendapat lebih banyak perhatian karena usianya. Untuk segala kesunyiannya yang sebetulnya salah sendiri. Untuk nasib buruk yang sebenarnya tidak lebih buruk dari orang lain. Ia sudah dimanjakan karena kehilangan-kehilangan yang bukan oleh kesalahan orang lain. Ia telah merindukan hak untuk mengaku paling lata dan paling sial. Seakan-akan ia benar-benar punya alasan kuat untuk membenci dirinya. Lalu tak sulit untuk menetapkan bahwa ia telah berusaha sedemikian rupa untuk lebih dari orang lain, memuja dirinya dengan menyusun cerita-cerita sedih.”

Putu Wijaya mencoba mengeksplorasi kondisi psikologi tokoh utama (orang tua laki-laki), seseorang yang sepertinya mengalami penyakit kejiwaan tetapi tidak dengan cara menampakkannya secara fisik, kita sering menganggap orang gila karena bertelanjang di jalanan, menari-nari mencari perhatian, atau seringkali bicara dengan dirinya sendiri. Tentu saja permasalahan psikologi tidak hanya tentang kegilaan.

Dengan peristiwa yang berbeda tetapi terasa sangat khayal dan getir ketika tokoh utama dihadirkan sebagai pengamat peristiwa seorang gelandangan bunuh diri dengan menggantung di stasiun. Janda gelandangan yang bunuh diri sangatlah berduka dengan kematian suaminya. Di tengah situasi berduka, dia dihadapkan kepada pilihan rasional yaitu menyerahkan mayat suaminya sebagai sumbangan ke fakulas kedokteran dengan uang pengganti yang bisa membiayai hidupnya atau mengeluarkan biaya jika ingin menguburkan suaminya.

“Aku manusia meskipun miskin. Suamiku gantung diri karena peraturan baru di stasiun. Aku menjual kertas-kertas bekas dan punting rokok. Suamiku bekerja di stasiun mengangkut barang-barang orang. Kami bukan pengemis. Aku masih punya uang untuk mengubur suamiku meskipun harga tanah mahal. Aku mau kubur dia, supaya anak ini tahu bapaknya nanti kalau sudah besar. Aku tidak menjual suamiku meskipun dia sudah mati.”

Pembaca tentu akan mengapresiasi seorang lata yang menyuarakan isi pikiran dan hatinya dengan sangat teguh. Lalu, jika isteri gelandangan itu berubah pikiran setelah mendengarkan nasihat dan memikirkan kenyataan yang dia sedang hadapi di depannya. Tentu akan timbul perasaan yang  aneh,
“Sekarang pokoknya begini, lima ribu saja.Ini tidak bisa turun lagi. Ini sudah rugi sekali. Lima ribu buat beli Seiko saja tidak bisa sekarang,” kata janda gelandangan.
Kemalangan itu sungguh mengerikan, apalagi jika yang mengalami adalah orang-orang yang lata, terkucilkan, tertindas.

Judul Novel : Stasiun
Penulis : Putu Wijaya
Penerbit : Basabasi
Tahun Terbit : Juni 2017.

"Ya ini memang kuburan kuda", tukas Brenda.
Tiga buah apel, kue apem, dan sejumput rumput dalam tiga piring kecil-juga satu sloki arak-tersaji di depan batang-batang dupa yang menyala.

Kumpulan cerpen "Makam Seekor Kuda", karya penulis Sunlie Thomas Alexander menyajikan cerita-cerita yang terdengar ganjil bagi seorang pembaca yang tidak tumbuh dalam budaya Tionghoa. Namun, setelah membacanya aku menjadi tahu beberapa adat dan kebiasaan keturunan Tionghoa khususnya mereka yang tumbuh di Belinyu yang terletak di utara pulau Bangka.

Saat aku memulai membaca ini, aku teringat satu-satunya temanku yang keturunan Tionghoa, itupun saat masih di sekolah dasar. Seorang anak perempuan Tionghoa yang tinggal di sebuah kota yang mayoritas masyarakatnya suku Bugis dan hampir dipastikan di kartu pengenalnya beragama Islam. Mungkin kalau nanti bertemu dengan dia aku ingin bertanya tentang apa yang dia rasakan ketika tumbuh bersama dengan anak-anak yang berbeda budaya. Melisa, dia anak perempuan cerdas yang selalu bergelut di peringkat tiga besar, jauh berbeda dengan aku yang ngos-ngosan agar bisa masuk sepuluh besar, seringkali aku jauh keluar dari zona itu. Walaupun dia keturunan Tionghoa dan Kristen Protestan, dia tetap mengikuti pelajaran agama Islam bahkan sering mengajari kami saat ada tugas. Sedangkan, saya benar-benar tidak tahu budayanya sekedar mengucapkan selamat tahun baru Imlek saja, aku tidak ingat pernah melakukannya.

Seperti yang aku katakan di bagian atas, cerpennya terdengar ganjil. Cerpen dengan judul "Makam Seekor Kuda", bercerita tentang bagaimana masyarakat Tionghoa di Belinyu bisa melakukan kebiasaan sembahyang di kuburan seekor kuda betina yang bernama "Helena". Selain dia seekor kuda betina kesayangan seorang wedana Van Sevenhoven, sebenarnya tidak ada yang menghubungkannya dengan cerita epos keturunan Tionghoa sehingga harus disembahyangi. Tokoh "aku" akan menceritakan asal-muasal kebiasaan orang-orang Tionghoa di kota Belinyu melakukan sembahyang ke kuburan kuda seperti yang pernah "aku" dengar dari Akong (kakek). Semua berawal ketika ratusan masyarakat Tionghoa menggotong patung para dewa berkeliling kota, sebuah tradisi tahunan yang mereka bawa dari tanah leluhur ketika hari raya Pat Ngiat Pan (puncak perayaan bulan dewa-dewa). Wedana Van Sevenhoven yang membenci orang Tionghoa, menghadang arak-arakan bahkan ingin menyabet patung Dewa Kwan Ti. Selanjutnya, kalian berhak percaya ataupun tidak kuda itu meringkik dengan mengangkat dua kaki depannya. Salah satu pengawal wedana kaget, tidak sengaja menekan pelatuk yang pelornya menembus kepala kuda betina itu. Lalu, apa yang membuat masyarakat Tionghoa yang sangat membenci wedana tetapi tiba-tiba memiliki kebiasaan bersembahyan ke makam  kuda kesayangannya.
"Kalian orang China memang aneh," tukas Brenda mengulum senyum.


"Kok bisa begitu? Tanggal lahirku tak bertepatan dengan hari ulang tahun salah satu dewa kan, Pa?"

Cerpen dengan judul "Anjing Langit", penggabungan antara mitologi Tionghoa, masalah keluarga, dan jodoh. Kisah ini tentang paman, kata ibu paman seorang Thung Se (perantara dewa, orang yang meminjamkan tubuhnya kepada (untuk dirasuki) dewa, mereka bisa mengobati penyakit atau mengusir roh jahat yang mengganggu, juga melakukan berbagai atraksi kanuragan yang mencengangkan). Paman sering bercerita  mitologi, salah satunya adalah cerita tentang Anjing Langit, penjaga delapan gerbang kayangan. Suatu kali paman juga membawa pulang seekor anjing, aku menamainya Ran Tan Plan. Paman sangat menyanyangi anjingnya. Lalu, bagaimana seekor anjing bisa berhubungan dengan jodoh? Konon Anjing Langit menjaga kayangan dengan seorang dewa bernama Ngi Long Sin, gambarnya ada di altar sembahyang ruang depan rumah. Tetapi, hanya paman yang bersembahyang di sana. Paman dan Ngi Long Sin punya kesamaan, tidak menikah. Menurut hikayat, Ngi Lon menolak kehidupan mewah dan menikah, Ia hidup menurut tuntunan Tao dan ajaran Budha. Sedangkan paman, kata ibu,"kisah asmara paman dengan Jun Fa Ya tidak sampai, keluarga perempuan tak setuju dengan pamanmu." Begitulah manusia, seringkali mengambil kesimpulan tentang perkara yang benar-benar tidak pernah dia tahu. Ayah punya pendapat tentang garis jodoh paman yang buruk. Menurutnya, seretnya jodoh paman karena tepat pada hari ulang tahun Dewa Ngi Lon. Bahkan menguatkannya dengan beberapa contoh lain, misalnya Bibi Lan lahir bertepatan dengan hari moksnya (tingkatan hidup lepas dari ikatan kedunian) Dewi Kwan Im, dan Paman Ho lahir pada perayaan Dewa Fa Kong. Secara tak langsung, mereka ikut bayang-bayang takdir para dewata yang dilarang menikah oleh ketentuan Hukum Langit.
Paman dan ayah bertengkar perihal masalah Ran yang tak pulang setelah pergi besama Paman, saat saling dorong-mendorong, dari saku kemeja paman jatuh selembar foto. Seorang gadis Melayu yang berkulit hitam manis.....


"BEGITULAH, Kawan. Kampung kami barangkali boleh dikatakan hidup dari gairah taruhan. Tapi itu masa lalu. Masa lalu yang gemilang, kata orang-orang seraya mengenang dengan mata sedikit berkaca-kaca." Kata pembuka babak ke empat cerpen dengan judul "Judi Kodok-Kodok".

Aku membayangkan pengalamanku ketika masih sering berjudi saat kuliah, masa di mana benar-benar gairah hidup berlipat-lipat karena menang taruhan atau kalah. Namun, itu bukan cara yang tepat untuk mendapatkan uang.
Judi kodok-kodok sudah menjadi tradisi dua hari hingga seminggu setelah Xian Nian (Tahun Baru Imlek). Tokoh "aku" saat kanak-anak  bersama kawan-kawannya sering ikut bertaruh dengan uang angpao. Walaupun mereka seringkali kalah oleh bandar, tetap saja tidak kapok-kapok bertaruh. Namun, jaman memang telah berubah dengan cepat. Berbagai macam judi seperti KSOB (Kupon Sumbangan Olahraga Berhadiah), SDSB (Sumbangan Dana Sosial Berhadiah), dan kupon putih sudah menjadi kebiasaan orang-orang ditutup pemerintah. Sebenarnya, berlalunya masa gemilang itu karena kematian Paman A Nam, walaupun pemerintah melarang tetapi di kampung kami gairah berjudi semakin menjadi-jadi itu berkat Paman A Nam yang bisa berteman baik dengan kapolsek, danramil, camat, dan jaksa, boleh dikatakan pada masa itu tak seorang pun "petugas berwajib" yang berani mengusik ramainya perjudian di kampung kami dan tentu kalian tahu sebabnya. Setelah kematian Paman A Nam, judi dan togel masih berlangsung hingga suatu malam polisi datang menggerebek kampung kami mengamankan orang yang bermain kiu-kiu di rumah Hon Nen. Semenjak itu warga mulai takut berjudi.
Seminggu sebelum tahun baru Imlek, tokoh "aku" pulang ke kampung. Saat hari kedua Sin Ngian (Tahun Baru Imlek) Paman A Ciap ditangkap menggelar judi kodok-kodok di balik kandang babi.


Masih banyak lagi cerita-cerita yang terdengar ganjil dalam kumpulan "Cerpen Makam Seekor Kuda". Setelah membacanya, aku berpikir bahwa toleransi yang diajarkan di sekolah hanya sekedar "kita berbeda, walaupun berbeda kita harus saling menghormati dan menghargai perbedaan itu", tetapi narasi untuk saling mengetahui di mana letak-letak perbedaan itu tidak pernah hadir dalam percakapan.

Aku teringat lagi dengan Melisa, teman sekolah dasar yang tidak pernah aku tanyakan, "Siapa nama Tionghoa-nya yang dilarang pemerintah ?".




Makam Seekor Kuda, Sunlie Thomas Alexander.
Penerbit Indie Book Corner, Yogyakarta. 2018.

















"It's just time, is all"
"I could buy anything, but I couldn't buy time".

Itulah yang diucapkan oleh Earl Stone yang diperankan oleh Clint Eastwood kepada keluarganya sesaat setelah mengakui perbuatannya sebagai kurir kokain.
Seorang pria berumur 90 tahun menjadi kurir kokain, mungkin hal ini tidak pernah terpikirkan terjadi dunia nyata tetapi film "The Mule" merupakan kisah nyata yang diadaptasi dari novel "The Sinaloa Cartel's 90-year-old Drug Mule", karya penulis Sam Dolnick.

Lalu, apa yang membuat film tentang kurir narkoba yang berumur 90 tahun menjadi sangat menarik dan menurutku relevan dengan kehidupan banyak orang? Tentu bukan adegan berkelahi atau tembak-tembakannya ataupun kebanyakan kurir narkoba sebenarnya adalah orangtua. Film ini pun hanya menjadikan senjata sebagai pelengkap artistik belaka.

The Mule adalah kisah tentang seorang laki-laki egois, yang terlalu banyak menikmati hal-hal kecil dalam kehidupan sehingga melupakan peristiwa penting yang terjadi dalam keluarganya. Earl yang sadar akan kesalahannya tetap melanjutkan hidupnya sambil memandang dirinya sendiri seperti biasa, memandang dirinya dari sisi dalamnya. Sedangkan, orang-orang memandangnya dari sisi luar.

Percakapan Earl dengan Mexican Guy saat menyantap sandwich terbaik di Midwest;
Earl;
"Kau tahu, yang perlu kau lakukan adalah luangkan waktu seperti ini"
"Enjoy your life"
"Sama sepertiku".
Mexican guy;
"Mungkin"
"Atau mungkin kau menikmati momen-momen kecil terlalu banyak"
"Had too much Fun"
"Itu kenapa kamu sekarang bekerja untuk kami".

Earl Stone seorang veteran tentara perang Korea, setelah pensiun ia mengelola perkebunan bunga, dia sering menghabiskan waktunya dengan bekerja, setelah itu di bar bersama kawan-kawannya. Bagi mereka Earl adalah seorang yang sangat baik hati tetapi  bagi keluarganya sendiri, sebaliknya. Saat putrinya membutuhkan dia sebagai pendamping pengantin wanita, dia lebih memilih menghadiri pertemuan tahunan kontes bunga, dia berhasil menang. Lalu, menuju bar untuk mentraktir seluruh pengunjung bar.

Seberapa sering kita menempatkan pandangan orang lain sebagai kompas penunjuk arah kita menjalani kehidupan. Bekerja sepanjang waktu, sehingga sering melupakan momen penting dalam keluarga seperti hari pernikahan, kelahiran, atau sekedar berkumpul untuk berbagi cerita kebahagian ataupun kesedihan. Aku heran dengan orang-orang terlalu giat bekerja, terkadang aku ingin bertanya apakah dengan begitu ia merasakan kebahagian atau dia benar-benar tidak tahu cara merasakan kebahagian.
Waktu akan berlalu hingga saat sadar ternyata kita sudah terlalu jauh mentelantarkannya.

Percakapan Earl dengan Colin (Bradley Cooper) di waffle house.
Colin;
"Ini hari jadi pertama yang aku lewatkan, jadi."

Earl;
"Jangan ikuti jejakku dan melakukan yang aku lakukan"
"Aku mengutamakan pekerjaan daripada keluarga"
"Keluarga adalah hal yang paling penting"
"Bekerja itu baik, jika itu berada di posisi kedua"
"Tetapi posisi pertama itu adalah keluarga"
"Aku mempelajari itu dengan cara yang sulit"

Di momen-momen terakhir dalam film, Earl Stone menyadari kesalahannya telah melupakan keluarga. Ia memilih menunda pekerjaannya (mengantar kokain 305 kilo) yang tentu sangat beresiko, dan pulang ke rumah menemani Mary (mantan isterinya) yang sedang sakit parah hingga prosesi pemakaman. Itulah saat dimana keluarga merasakan keberadaannya. Sebelum Mary meninggal, ia menyampaikan kepada Earl, "Kau tidak harus kaya untuk kami menginginkanmu ada disini".
Akhirnya setelah 12 tahun 6 bulan, Earl dan putrinya bisa berbicara lagi, Earl berhasil memperbaiki hubungan dengan keluarganya.
Kebanyakan orang menyebutnya sebagai "penyesalan, saat mulai sadar ternyata semuanya telah terlambat memulainya lagi dari awal", itulah yang menurutku menjadi inti dari cerita The Mule.

"Your father has always choose work over family". 

The Mule rilis Desember 2018. 
Sutradara : Clint Eastwood
Pemeran :
Earl Stone "Clint Easwood"
Colin Bates "Bradley Cooper" 
Mary "Dianne Wiest"
Iris "Alison Eastwood" 
Ginny "Taissa Farmiga" 


"TERKADANG hal-hal kecil di depanmu, hal-hal yang tidak signifikan sebetulnya, mengingatkanmu pada rentetan kejadian masa lalu."

Kalimat di atas adalah pembuka novel "Semasa" karya sepasang suami isteri Teddy W.Kusuma & Maesy Ang. Memang seperti itulah kenangan masa lalu, dia bisa timbul dari hal yang tidak pernah sengaja menarik kembali ingatanmu. Setiap awal bulan akan menjadi waktu yang panjang bagi saya dalam menyelesaikan pekerjaan kantor, lalu tanpa sengaja ingatan menarik saya semasa ketika masih berumur belasan saat mulai bertanya kepada ibu, kenapa bapak setiap akhir bulan selalu pulang tengah malam. Kemudian, saya seolah-olah berada di rumah duduk di meja makan dengan keluarga menyantap sate ayam yang dibeli bapak setiap gajian. Ingatan tentang masa lalu walaupun selalu menyelipkan rasa haru tetap saja menyenangkan untuk didatangi lagi.

Saat pertama kali melihat buku ini di rak toko buku Post, aku tertarik dengan judulnya yang singkat saja "semasa", sampulnya pun sangat sederhana. Kata "semasa" selalu digunakan untuk mengingat masa yang lampau, kenapa penulisnya tidak menggunakan "kenangan" atau "masa lalu". Mungkin kalau "kenangan", kata yang terlalu diromantisir oleh pemakainya. Sedangkan "masa lalu" selalu lekat dengan hal-hal berkonotasi negatif. Kedua kata tersebut pun telah lumrah dikalangan pembaca. 

Setelah memutuskan untuk membelinya, beberapa minggu aku mendiamkannya di tumpukan buku kamar kos sampai saat aku butuh teman dalam perjalanan ke Bandung selama dua hari. Perjalanan dengan kereta api yang membutuhkan waktu kurang lebih 3,5 jam, tentu dengan membaca buku waktu tidak akan terasa panjang. Saat memilihnya pun aku hanya mempertimbangkan jumlah halaman yang hanya 149 halaman tentu tidak akan lebih dari dua hari untuk menyelesaikannya, pas lama perjalananku.

Begitulah ingatan selalu bisa saja kembali dengan hal-hal yang tidak pernah disangka, novel "semasa" bahkan bisa membawa saya hingga ketika saya masih berumur kurang dari 10 tahun. Alur ceritanya seperti jalan setapak yang menuntun pembacanya berjalan melewati peristiwa di masa lalu yang sungguh jauh sangat menyenangkan daripada kehidupan yang sedang dijalani sekarang. Tokoh utamanya "Coro" seorang penulis yang menganggap novel yang ditulisnya gagal, mimpinya untuk menjadi penulis hebat tidak seperti apa yang dia dambakan saat masih kanak-kanak. Tetapi, Coro seorang pendongeng yang hebat di "semasa", dia menceritakan masa kanak-kanak yang dia lalui bersama ayah, bibi Sari, paman Giofridis, dan tentu adik sepupu perempuannya Sachi. Setiap ingatannya semasa kanak-kanak seperti sebuah lorong waktu yang ikut membawa saya juga mengunjungi masa itu. Masa dimana saya bersama kakak, sepupu, tante, om, bapak,ibu, kakek, nenek sering berkumpul saat libur sekolah di rumah kakek-nenek. Saat itu tiba tentu sangat menyenangkan bagi kami yang saat itu masih di sekolah dasar. Saat kebanyakan anak sebaya pergi liburan ke kota, saya yang liburan di desa juga merasakan kebahagian. Kakek-nenek sering membawa kami ke kebun untuk mengambil buah pohon Kakao, makan bersama di rumah kebun, dan tentu mandi di sungai. Aku sering menuggu saat libur sekolah tiba. Namun, seiring waktu berlalu semua akan berubah, kami yang kanak-kanak akan tumbuh dewasa dengan menjalani hidup masing-masing, kakek-nenek yang semakin menua, tentu juga dengan pohon Kakao yang telah lama mati karena tidak ada mengurusnya lagi. 

"Seberapa banyak sebuah tempat, atau seseorang, akan berbekas di hatimu jika kenangan akannya berhenti di waktu yang dulu, dan tidak dipupuk lagi ?"

Terkadang kita ingin mengunjungi tempat atau peristiwa yang telah berlalu namun kita tidak tahu cara memanggil ingatan tersebut. Dia meninggalkan kita seperti kita melupakannya juga. Mungkin dengan hal-hal yang tidak sengaja, ingatan bisa menuntun kembali ke masa lalu. 

Peristiwa dalam novel "semasa" adalah kisah biasa-biasa saja, mungkin kalian pernah mengalaminya, orang-orangnya pun biasa-biasa saja seperti kebanyakan orang, namun dia bisa mendekatkanmu dengan ingatan masa lalu (rumah) yang selalu ingin kamu kunjungi. Masa ketika kamu melihat dunia adalah sesuatu kebahagian yang tak akan kunjung padam sampai kamu menyadari keadaanmu sekarang.

Novel "semasa" ini seperti kata penutup Surat untuk pembaca, "Tak bisa dielak, sesudah menamatkan buku ini, kami jadi rindu pulang".

Penulisnya seperti kataku di awal tulisan, mereka sepasang suami isteri yang membuka sebuah toko buku Post di Pasar Santa. Ah, betapa aku juga ingin mempunyai pasangan yang ingin membuka perpustakaan atau toko buku.



Berlibur ke Belitung tetapi tidak tahu harus ke mana, saya akan memberikan gambaran tentang bagaimana Belitung dari sudut pandangan dan kamera saya.
Peta pulau Belitung
Sudah sepatutnya mereka yang menghabiskan waktu kurang lebih 250 hari dalam setahun untuk mengambil rehat dengan liburan. 

Hal itu yang terlintas di kepala sebelum libur natal tahun lalu. Sebenarnya, jaman sekarang sangat mudah pergi liburan dengan menjamurnya bisnis tour and travel apalagi mereka seringkali menawarkan paket perjalanan yang murah ke berbagai destinasi wisata terkenal di dalam maupun luar negeri. Namun, dengan ikut rombongan tour and travel saya tidak akan bebas menentukan mau ke mana atau kapan harus pergi karena semuanya sudah terjadwal. Semuanya telah diatur, duduk di mobil sambil mendengarkan penjelasan guide, berkunjung dan berfoto di satu objek wisata, tidak bebas mengeksplore tempat baru yang tidak ada dalam rencana. Pengalaman yang didapatkan mungkin tidak jauh dari bekerja di kantor, semua serba teratur dan terjadwal.
Pilihan ikut rombongan tour and travel sepertinya kurang menarik untuk menikmati travelling sesuai dengan keinginan tanpa ada aturan jadwal. Akhirya, aku mencoba untuk travelling dengan backpacker-an ke destinasi wisata di Belitung.
 
Di era informasi yang telah digenggaman tangan tentu sangat mudah untuk buat travelling sendiri. Beberapa hal yang saya lakukan sebelum liburan ala backpacker di Belitung, pertama yang saya lakukan adalah mencari informasi tentang Pulau Belitung. Saya berselancar di google, youtube, dan instagram. Hanya dengan mengetik "objek wisata Belitung", maka akan muncul berbagai informasi destinasi wisata dan pengalaman wisatawan selama di Belitung. Lalu, saya mulai memilah tempat wisata yang memungkinkan saya kunjungi dengan waktu 4 hari 3 malam. Tentunya objek wisata yang terpilih sesuai dengan tujuan saya menikmati pemandangan pantai Belitung dengan desiran ombaknya, pasir, pohon kelapa, langit yang biru, dan udara yang segar.
Kedua, saya mulai menentukan skema urutan rute tempat wisata yang akan saya kunjungi. Saya sangat berterimakasih kepada Lars dan Jens Eilstrup bersaudara yang memberikan ide kepada Google untuk membuat peta yang tidak statis, tapi bisa digunakan untuk mencari lokasi dan dapat diperbesar. Informasi lebih lanjut klik https://inet.detik.com/consumer/d-2829538/kisah-menarik-penciptaan-google-maps-yang-jarang-diungkap. Saya membuat urutan dengan pertimbangan, tempat yang saya kunjungi tidak terlalu berjauhan atau dengan rute searah, sebisa mungkin tidak melewati rute yang sama selama perjalanan. 
Skema rute perjalanan selama di Belitung
Setelah menentukan urutannya, saya tetap bersiap dengan perubahan rute sesuai dengan kondisi di lapangan. Mungkin ada tempat yang informasinya masih minim di internet. 
Rute yang saya lalui selama di Belitung;
Hari pertama, saya tiba di Bandar Udara Internasional H.A.S Hanandjoeddin sebelum pukul 11 siang lalu langsung menuju Replika SD Muhammadiyah Laskar Pelangi sejauh 50 km, tepat di depannya ada objek wisata Rumah Keong. Lalu, ke Museum Kata Andrea Hirata sejauh 2 km, Kampoeng Ahok kurang dari 2 km. Kemudian ke kota Manggar sejauh 20 km, sebelum matahari terbenam saya pantai Serdan yang letaknya kurang dari 5 km dari Hotel Simpang Empat, hotel tempat saya menginap.
Hari kedua, saat matahari baru muncul saya menuju ke Warung Kopi ATET yang berdiri sejak tahun 1949 sejauh kurang dari 3 km. Setelahnya saya menuju ke Pantai Tanjung Tinggi sejauh 80 km melewati kampung Bali. Setelah itu, saya ke Pantai Tanjung Kelayang, yang berdekatan dengan Pantai Tanjung Tinggi. Terakhir saya menuju ke Tanjung Pandan sejauh 27 km. Sebelum istirahat saya makan di Mie Belitung ATEP yang jaraknya sekitar 1 km dari Hotel Mustika. 
Hari ketiga, saya memulai dengan mengunjungi Kong Djie Siburik, warung kopi yang berdiri sejak tahun 1943. Jaraknya tidak sampai 2 km dari hotel, dari sana saya berangkat ke Danau Kaolin sejauh 4 km. Lalu, saya kembali mengunjungi Pantai Tanjung Kelayang karena ingin menyeberang ke pulau Lengkuas, pulau Pasir, pulau batu burung Garuda. Namun, karena kapal sudah full booked tetapi untunglah karena harga sewa satu kapal Rp.500.000 dengan penumpang banyak atau sendiri sehingga saya kembali ke Pantai Tanjung Tinggi lalu mencari tempat sepi untuk menikmati pantai hingga sore hari. Sebelum matahari terbenam, saya kembali ke kota Tanjung Pandan. Malam hari saya menikmati makanan sea food di Mr. JO Seafood jaraknya kurang dari 3 km dari hotel.
Hari keempat, saya ke pasar tradisional Tanjung Pandan, jaraknya 1.4 km dari hotel di sana saya minum kopi di Warung Kopi Muni, dari sana saya mendapat informasi tentang Eco Wisata Gusong Bugis yang jaraknya sejauh 10 km. Sebelum pulang saya ke makan siang Mie Belitung ATEP, ke toko oleh-oleh Pondok Kelapa Resto, Museum Tanjung Pandan, dan terakhir singgah ke Kong Djie Siburik mengisi termos kopi untuk saya nikmati di pesawat.
Mencari transportasi selama di Belitung ternyata tidak susah, saya cukup mengetik di google, "sewa motor Belitung", maka akan muncul banyak website yang akan menghubungkan saya dengan pemilik sewa kendaraan. Penyewaan motor yang saya gunakan selama di Belitung klik http://rentalmotordibelitung.com/. Prosesnya sangat mudah dan tidak perlu menyimpan kartu identitas ketika menyewa, abangnya hanya mengambil foto KTP dan foto kamu. Saya menyewa motor Honda Vario, kondisi motor yang saya sewa sangatlah bagus untuk dikendarai mengelilingi Belitung. Saya lebih memilih motor daripada transportasi lain seperti mobil atau kendaraan umum di sana, pertama karena harganya lebih murah jadi tidak buat kantong bocor, bisa bebas ke mana saja jadi tidak ada waktu terbuang hanya karena menunggu angkutan umum, terakhir karena saya hanya tahu mengendarai motor.
Keputusan mengendari motor tentu punya konsekuensi lain seperti saya harus mengatur jumlah bawaan saya terutama pakaian agar tidak mengganggu kenyamanan saat mengendari motor. Pokoknya saya hanya membawa barang-barang yang memang sangat dibutuhkan dengan jumlah yang sesuai dengan kebutuhan, misalnya 4 lembar bajun dan cd, 2 celana pendek, 2 kaos kaki, sepasang sepatu, dan sandal, serta sikat gigi. Tidak perlu membawa bekal makanan dan alat mandi karena ada sudah disedikan hotel.
Terakhir sebelum berangkat, saya mencari informasi penginapan yang murah di Belitung tentu dengan bantuan searching di google. Memang banyak aplikasi online yang menawarkan pemesanan hotel dengan harga terjangkau tetapi ada baiknya mencari pengalaman wisatawan yang pernah berkunjung yang menemukan hotel murah tetapi belum bekerjasama dengan aplikasi online. Selain itu mencari hotel dengan bertanya ke warga dan keliling mencari sendiri adalah pilihan yang bagus juga.
Muka sumringah mau berangkat ke Belitung
Perjalanan dari Jakarta ke Belitung ditempuh dengan waktu kurang dari sejam. Walaupun beberapa bulan lalu maskpai Lion Air mengalami musibah kecelakaan, tetapi harganya yang terjangkau maka saya tetap memilihnya membawa saya ke Belitung dan pulang dengan maskapai Sriwijaya Air. Harga tiket yang lumayan mahal karena bertepatan dengan libur sekolah dan libur natal.
Lion Air terbang di atas barisan awan
Saya tiba di bandar udara Internasional H.A.S Hanandjoeddin ketika matahari hampir di atas kepala. Bangunan bandaranya sangatlah sederhana dan tidak sebesar bangunan bandara di Jakarta maupun kota-kota besar lainnya.
Suasana saat tiba di Bandara H.A.S Hanandjoeddin
Sebelum saya mengakhiri pengalaman backpaker-an saya di Belitung, jangan lupa sebelum berangkat gunakan kartu provider internet yang jaringannya telah tersebar luas, saat di Belitung saya menggunakan kartu telkomsel dan isi paket data karena mesin pencari google terutama fitur google maps sangat berguna sebagai penunjuk arah. Selain itu, kalian akan sering mengupload momen liburan di sosial media.
Biaya yang saya keluarkan selama di Belitung;
Tiket berangkat seharga Rp.895.000
Tiket pulang seharga Rp.972.000
Sewa motor selama 4 hari plus 5 jam Rp.340.000 + Rp.25.000
BBM 10 botol seharga Rp.80.000
Tiket Museum Kata Rp.50.000
Harga Kopi Rp.5.000 s.d Rp.10.000
Mie Belitung Rp.25.000
Nasi Goreng Rp.20.000
Sea food Rp. 40.000
Kelapa Muda Rp.15.000
Note. harga makanan di Belitung masih sangat terjangkau.



Secangkir kopi seringkali menemaniku dalam bekerja, dia tidak banyak tingkah. Jika aku ingin dia manis, aku tinggal menambahkan beberapa sendok gula atau susu saset.