Mun Lum Ngupi Lum Sampai Manggar, cerita tiga warung kopi yang saya singgahi di Belitung




Secangkir kopi seringkali menemaniku dalam bekerja, dia tidak banyak tingkah. Jika aku ingin dia manis, aku tinggal menambahkan beberapa sendok gula atau susu saset. 

Perkara aku suka kopi pahit atau manis pun tidak terlalu aku permasalahkan, secangkir kopi membuat aku melupakan waktu yang semakin terbuang sia-sia. Namun, mereka yang sama sekali tidak meminum kopi sungguh menyia-nyiakan masanya.
Liburan di Belitung tidak hanya membawa saya mengunjungi Replika SD Muhammadiyah di Gantong, Museum Kata Andrea Hirata, dan Pantai Tanjung Tinggi yang terkenal karena novel dan film Laskar Pelangi. Masyarakat melayu di Belitung sangat menggemari minum kopi di warung. Dalam buku, “Cinta Dalam Gelas” karya Andrea Hirata, dituliskan bahwa “Kopi adalah minuman yang ajaib, setidaknya bagi orang Melayu, karena rasanya dapat berubah berdasarkan tempat. Keluhan istri soal suami yang tak mau minum kopi di rumah-padahal bubuk kopinya sama seperti di warung kopi-adalah keluhan turun-temurun. Alasan kaum suami kompak, bahwa kopi yang ada di rumah tak seenak kopi warung”. Seperti itulah gambaran orang Melayu Belitung terhadap kopi, sepertinya tidak salah. Kopi lebih terasa nikmati jika diselingi obrolan yang ujungnya tak terlihat bahkan sekalipun dengan orang yang baru dikenal.
Sebelum berangkat saya telah memasukkan warung kopi menjadi tempat yang harus saya kunjungi. Warung kopi pertama saya datangi terletak di Manggar, ibukota Belitung Timur ini memang terkenal dengan julukan kota 1001 warung kopi. Bahkan di salah satu sudutnya ada berdiri tugu yang berbentuk ceret kopi khas Belitung. Warung Kopi Atet adalah warung kopi pertama di Manggar berdiri sejak tahun 1949 yang pada awalnya bernama Warung Kopi Afuk. Pada awalnya pengunjung warung kopi ini adalah pemilik oto-oto (mobil) yang berteduh menunggu penumpang karena di sekitarnya terdapat pepohonan yang rimbun. Orang laut atau suku Sawang yang bekerja sebagai buruh penjahit karung timah sangat gemar dengan kopi sehingga sering memenuhi warung kopi Atet. Kopi selalu dekat dan menjadi kegemaran masyarakat kecil.
Aku mengunjungi warung Kopi Atet sesaat setelah matahari terbit, dan ternyata bangku-bangku telah dipenuhi oleh orang-orang Manggar yang memulai paginya dengan menyeruput kopi. Mungkin mengunjungi warung kopi untuk sekedar meneguk secangkir kopi sambil mengobrol dengan kawan adalah ritual orang-orang Manggar sebelum memulai aktifitas harinya.





Jika di Manggar nama kedai disebut Warung Kopi, beda halnya dengan Tanjung Pandan pusat kota Pulau Belitung. Warung Kopi di sini terkenal dengan nama Kong Djie yang berasal dari bahasa Hakka, Kong artinya terang, sementara Djie adalah nama untuk anak kedua. Pendirinya adalah keturunan Tionghoa Marga HO yang pindah dari Pulau Bangka di tahun 1940 an. Kedai Kong Djie pertama tahun 1943 terletak di jalan Siburik Barat, kedainya berada di ujung deretan bangunan rumah toko. Ada tiga deret ceret kopi yang lumayan tinggi di kedai ini. Tempatnya sangat sederhana, namun sama halnya dengan Warung Kopi Atet, Kong Djie tidak pernah sepi penggemar kopi ataupun wisatawan yang ingin mencoba minum kopi khas Kong Djie yang terkenal di Tanjung Pandan. 





Tempat menyeruput kopi yang terakhir aku kunjungi selama di Belitung terletak di tengah pasar tradisional Tanjung Pandan, awalnya saya ke pasar untuk melihat aktifitas jual beli di pasar. Saya sangat tertarik dengan suasana pasar tradisional apalagi jika sudah mencium bau amis di bagian yang khusus menjual ikan. Masa kecil saya yang sering menemani nenek ke pasar ketika masih kanak-kanak di kampung berkelabatan muncul di kepala jika saya mencium aroma bau khas pasar tradisional. Bau amis penjual ikan, sayuran yang masih segar, bau kain pakaian baru yang digantung, bau peluh penjual dan pembeli yang bercampur memenuhi tiap sekat-sekat udara, aku menikmati momen seperti itu yang mengantarku kembali ke masa kecil.
Warung kopi di tengah pasar sudah pasti kebanyakan pengunjungnya yang mampir adalah pejual, buruh pasar, dan pengunjung pasar. Kedainya bernama "Warkop Muni" nama pemiliknya bapak Muni berasal dari Madura tetapi sudah lama tinggal di Tanjung Pandan, sebelumnya dia ikut berjualan ikan ke pedagang pasar lalu berhenti dan memilih membuka warung kopi . Warkopnya sangat sempit hanya muat beberapa orang, bagi mereka yang tidak kebagian bisa duduk di luar warung sambil menikmati orang-orang pasar berlalu-lalang. Di sinilah saya mendapatkan suasana warung kopi yang mengakrabkan walaupun tidak saling kenal. Pengunjung setia Warkop Muni yang mungkin baru pertama kali melihat saya mulai bertanya tenang perjalanan saya selama berada di Belitung. Aku bercerita banyak tentang buku Laskar Pelangi yang membawa saya ke Belitung, lalu daerah-daerah mana yang telah saya kunjungi. Suasana obrolan mulai cair, saya mencoba memahami obrolan mereka tetapi bahasa daerah memang sangat menyulitkan saya. Seorang pengunjung menunjukkan keahliannya berpantun, katanya dia pernah mewakili pemerintah Belitung untuk kompetisi Pantun. Sebelum pulang dia pun memperlihatkan keahlian berpantunnya kepada saya.

"Ketembak kayu serumpun"
"Bateng cemara jangan dibelah"
"Mohon maaf beribu ampun"
"Banyak bicara banyaklah salah"



Sebelum pulang, pemilik Warkop Muni memberikan saya bubuk kopi. Saya tersentuh dengan kebaikan bapak Muni, kami baru saja berkenalan dan itupun tidak lama tapi dia telah memberikan sekantong bubuk kopi Belitung. Secangkir kopi bisa membuat mereka yang tidak pernah bertemu dan tinggal berjauhan menjadi akrab. Tidak ada waktu yang terbuang sia-sia ketika menyeruput secangkir kopi maupun lebih.






0 komentar:

Posting Komentar