"Ya ini memang kuburan kuda", tukas Brenda.
Tiga buah apel, kue apem, dan sejumput rumput dalam tiga piring kecil-juga satu sloki arak-tersaji di depan batang-batang dupa yang menyala.

Kumpulan cerpen "Makam Seekor Kuda", karya penulis Sunlie Thomas Alexander menyajikan cerita-cerita yang terdengar ganjil bagi seorang pembaca yang tidak tumbuh dalam budaya Tionghoa. Namun, setelah membacanya aku menjadi tahu beberapa adat dan kebiasaan keturunan Tionghoa khususnya mereka yang tumbuh di Belinyu yang terletak di utara pulau Bangka.

Saat aku memulai membaca ini, aku teringat satu-satunya temanku yang keturunan Tionghoa, itupun saat masih di sekolah dasar. Seorang anak perempuan Tionghoa yang tinggal di sebuah kota yang mayoritas masyarakatnya suku Bugis dan hampir dipastikan di kartu pengenalnya beragama Islam. Mungkin kalau nanti bertemu dengan dia aku ingin bertanya tentang apa yang dia rasakan ketika tumbuh bersama dengan anak-anak yang berbeda budaya. Melisa, dia anak perempuan cerdas yang selalu bergelut di peringkat tiga besar, jauh berbeda dengan aku yang ngos-ngosan agar bisa masuk sepuluh besar, seringkali aku jauh keluar dari zona itu. Walaupun dia keturunan Tionghoa dan Kristen Protestan, dia tetap mengikuti pelajaran agama Islam bahkan sering mengajari kami saat ada tugas. Sedangkan, saya benar-benar tidak tahu budayanya sekedar mengucapkan selamat tahun baru Imlek saja, aku tidak ingat pernah melakukannya.

Seperti yang aku katakan di bagian atas, cerpennya terdengar ganjil. Cerpen dengan judul "Makam Seekor Kuda", bercerita tentang bagaimana masyarakat Tionghoa di Belinyu bisa melakukan kebiasaan sembahyang di kuburan seekor kuda betina yang bernama "Helena". Selain dia seekor kuda betina kesayangan seorang wedana Van Sevenhoven, sebenarnya tidak ada yang menghubungkannya dengan cerita epos keturunan Tionghoa sehingga harus disembahyangi. Tokoh "aku" akan menceritakan asal-muasal kebiasaan orang-orang Tionghoa di kota Belinyu melakukan sembahyang ke kuburan kuda seperti yang pernah "aku" dengar dari Akong (kakek). Semua berawal ketika ratusan masyarakat Tionghoa menggotong patung para dewa berkeliling kota, sebuah tradisi tahunan yang mereka bawa dari tanah leluhur ketika hari raya Pat Ngiat Pan (puncak perayaan bulan dewa-dewa). Wedana Van Sevenhoven yang membenci orang Tionghoa, menghadang arak-arakan bahkan ingin menyabet patung Dewa Kwan Ti. Selanjutnya, kalian berhak percaya ataupun tidak kuda itu meringkik dengan mengangkat dua kaki depannya. Salah satu pengawal wedana kaget, tidak sengaja menekan pelatuk yang pelornya menembus kepala kuda betina itu. Lalu, apa yang membuat masyarakat Tionghoa yang sangat membenci wedana tetapi tiba-tiba memiliki kebiasaan bersembahyan ke makam  kuda kesayangannya.
"Kalian orang China memang aneh," tukas Brenda mengulum senyum.


"Kok bisa begitu? Tanggal lahirku tak bertepatan dengan hari ulang tahun salah satu dewa kan, Pa?"

Cerpen dengan judul "Anjing Langit", penggabungan antara mitologi Tionghoa, masalah keluarga, dan jodoh. Kisah ini tentang paman, kata ibu paman seorang Thung Se (perantara dewa, orang yang meminjamkan tubuhnya kepada (untuk dirasuki) dewa, mereka bisa mengobati penyakit atau mengusir roh jahat yang mengganggu, juga melakukan berbagai atraksi kanuragan yang mencengangkan). Paman sering bercerita  mitologi, salah satunya adalah cerita tentang Anjing Langit, penjaga delapan gerbang kayangan. Suatu kali paman juga membawa pulang seekor anjing, aku menamainya Ran Tan Plan. Paman sangat menyanyangi anjingnya. Lalu, bagaimana seekor anjing bisa berhubungan dengan jodoh? Konon Anjing Langit menjaga kayangan dengan seorang dewa bernama Ngi Long Sin, gambarnya ada di altar sembahyang ruang depan rumah. Tetapi, hanya paman yang bersembahyang di sana. Paman dan Ngi Long Sin punya kesamaan, tidak menikah. Menurut hikayat, Ngi Lon menolak kehidupan mewah dan menikah, Ia hidup menurut tuntunan Tao dan ajaran Budha. Sedangkan paman, kata ibu,"kisah asmara paman dengan Jun Fa Ya tidak sampai, keluarga perempuan tak setuju dengan pamanmu." Begitulah manusia, seringkali mengambil kesimpulan tentang perkara yang benar-benar tidak pernah dia tahu. Ayah punya pendapat tentang garis jodoh paman yang buruk. Menurutnya, seretnya jodoh paman karena tepat pada hari ulang tahun Dewa Ngi Lon. Bahkan menguatkannya dengan beberapa contoh lain, misalnya Bibi Lan lahir bertepatan dengan hari moksnya (tingkatan hidup lepas dari ikatan kedunian) Dewi Kwan Im, dan Paman Ho lahir pada perayaan Dewa Fa Kong. Secara tak langsung, mereka ikut bayang-bayang takdir para dewata yang dilarang menikah oleh ketentuan Hukum Langit.
Paman dan ayah bertengkar perihal masalah Ran yang tak pulang setelah pergi besama Paman, saat saling dorong-mendorong, dari saku kemeja paman jatuh selembar foto. Seorang gadis Melayu yang berkulit hitam manis.....


"BEGITULAH, Kawan. Kampung kami barangkali boleh dikatakan hidup dari gairah taruhan. Tapi itu masa lalu. Masa lalu yang gemilang, kata orang-orang seraya mengenang dengan mata sedikit berkaca-kaca." Kata pembuka babak ke empat cerpen dengan judul "Judi Kodok-Kodok".

Aku membayangkan pengalamanku ketika masih sering berjudi saat kuliah, masa di mana benar-benar gairah hidup berlipat-lipat karena menang taruhan atau kalah. Namun, itu bukan cara yang tepat untuk mendapatkan uang.
Judi kodok-kodok sudah menjadi tradisi dua hari hingga seminggu setelah Xian Nian (Tahun Baru Imlek). Tokoh "aku" saat kanak-anak  bersama kawan-kawannya sering ikut bertaruh dengan uang angpao. Walaupun mereka seringkali kalah oleh bandar, tetap saja tidak kapok-kapok bertaruh. Namun, jaman memang telah berubah dengan cepat. Berbagai macam judi seperti KSOB (Kupon Sumbangan Olahraga Berhadiah), SDSB (Sumbangan Dana Sosial Berhadiah), dan kupon putih sudah menjadi kebiasaan orang-orang ditutup pemerintah. Sebenarnya, berlalunya masa gemilang itu karena kematian Paman A Nam, walaupun pemerintah melarang tetapi di kampung kami gairah berjudi semakin menjadi-jadi itu berkat Paman A Nam yang bisa berteman baik dengan kapolsek, danramil, camat, dan jaksa, boleh dikatakan pada masa itu tak seorang pun "petugas berwajib" yang berani mengusik ramainya perjudian di kampung kami dan tentu kalian tahu sebabnya. Setelah kematian Paman A Nam, judi dan togel masih berlangsung hingga suatu malam polisi datang menggerebek kampung kami mengamankan orang yang bermain kiu-kiu di rumah Hon Nen. Semenjak itu warga mulai takut berjudi.
Seminggu sebelum tahun baru Imlek, tokoh "aku" pulang ke kampung. Saat hari kedua Sin Ngian (Tahun Baru Imlek) Paman A Ciap ditangkap menggelar judi kodok-kodok di balik kandang babi.


Masih banyak lagi cerita-cerita yang terdengar ganjil dalam kumpulan "Cerpen Makam Seekor Kuda". Setelah membacanya, aku berpikir bahwa toleransi yang diajarkan di sekolah hanya sekedar "kita berbeda, walaupun berbeda kita harus saling menghormati dan menghargai perbedaan itu", tetapi narasi untuk saling mengetahui di mana letak-letak perbedaan itu tidak pernah hadir dalam percakapan.

Aku teringat lagi dengan Melisa, teman sekolah dasar yang tidak pernah aku tanyakan, "Siapa nama Tionghoa-nya yang dilarang pemerintah ?".




Makam Seekor Kuda, Sunlie Thomas Alexander.
Penerbit Indie Book Corner, Yogyakarta. 2018.

















"It's just time, is all"
"I could buy anything, but I couldn't buy time".

Itulah yang diucapkan oleh Earl Stone yang diperankan oleh Clint Eastwood kepada keluarganya sesaat setelah mengakui perbuatannya sebagai kurir kokain.
Seorang pria berumur 90 tahun menjadi kurir kokain, mungkin hal ini tidak pernah terpikirkan terjadi dunia nyata tetapi film "The Mule" merupakan kisah nyata yang diadaptasi dari novel "The Sinaloa Cartel's 90-year-old Drug Mule", karya penulis Sam Dolnick.

Lalu, apa yang membuat film tentang kurir narkoba yang berumur 90 tahun menjadi sangat menarik dan menurutku relevan dengan kehidupan banyak orang? Tentu bukan adegan berkelahi atau tembak-tembakannya ataupun kebanyakan kurir narkoba sebenarnya adalah orangtua. Film ini pun hanya menjadikan senjata sebagai pelengkap artistik belaka.

The Mule adalah kisah tentang seorang laki-laki egois, yang terlalu banyak menikmati hal-hal kecil dalam kehidupan sehingga melupakan peristiwa penting yang terjadi dalam keluarganya. Earl yang sadar akan kesalahannya tetap melanjutkan hidupnya sambil memandang dirinya sendiri seperti biasa, memandang dirinya dari sisi dalamnya. Sedangkan, orang-orang memandangnya dari sisi luar.

Percakapan Earl dengan Mexican Guy saat menyantap sandwich terbaik di Midwest;
Earl;
"Kau tahu, yang perlu kau lakukan adalah luangkan waktu seperti ini"
"Enjoy your life"
"Sama sepertiku".
Mexican guy;
"Mungkin"
"Atau mungkin kau menikmati momen-momen kecil terlalu banyak"
"Had too much Fun"
"Itu kenapa kamu sekarang bekerja untuk kami".

Earl Stone seorang veteran tentara perang Korea, setelah pensiun ia mengelola perkebunan bunga, dia sering menghabiskan waktunya dengan bekerja, setelah itu di bar bersama kawan-kawannya. Bagi mereka Earl adalah seorang yang sangat baik hati tetapi  bagi keluarganya sendiri, sebaliknya. Saat putrinya membutuhkan dia sebagai pendamping pengantin wanita, dia lebih memilih menghadiri pertemuan tahunan kontes bunga, dia berhasil menang. Lalu, menuju bar untuk mentraktir seluruh pengunjung bar.

Seberapa sering kita menempatkan pandangan orang lain sebagai kompas penunjuk arah kita menjalani kehidupan. Bekerja sepanjang waktu, sehingga sering melupakan momen penting dalam keluarga seperti hari pernikahan, kelahiran, atau sekedar berkumpul untuk berbagi cerita kebahagian ataupun kesedihan. Aku heran dengan orang-orang terlalu giat bekerja, terkadang aku ingin bertanya apakah dengan begitu ia merasakan kebahagian atau dia benar-benar tidak tahu cara merasakan kebahagian.
Waktu akan berlalu hingga saat sadar ternyata kita sudah terlalu jauh mentelantarkannya.

Percakapan Earl dengan Colin (Bradley Cooper) di waffle house.
Colin;
"Ini hari jadi pertama yang aku lewatkan, jadi."

Earl;
"Jangan ikuti jejakku dan melakukan yang aku lakukan"
"Aku mengutamakan pekerjaan daripada keluarga"
"Keluarga adalah hal yang paling penting"
"Bekerja itu baik, jika itu berada di posisi kedua"
"Tetapi posisi pertama itu adalah keluarga"
"Aku mempelajari itu dengan cara yang sulit"

Di momen-momen terakhir dalam film, Earl Stone menyadari kesalahannya telah melupakan keluarga. Ia memilih menunda pekerjaannya (mengantar kokain 305 kilo) yang tentu sangat beresiko, dan pulang ke rumah menemani Mary (mantan isterinya) yang sedang sakit parah hingga prosesi pemakaman. Itulah saat dimana keluarga merasakan keberadaannya. Sebelum Mary meninggal, ia menyampaikan kepada Earl, "Kau tidak harus kaya untuk kami menginginkanmu ada disini".
Akhirnya setelah 12 tahun 6 bulan, Earl dan putrinya bisa berbicara lagi, Earl berhasil memperbaiki hubungan dengan keluarganya.
Kebanyakan orang menyebutnya sebagai "penyesalan, saat mulai sadar ternyata semuanya telah terlambat memulainya lagi dari awal", itulah yang menurutku menjadi inti dari cerita The Mule.

"Your father has always choose work over family". 

The Mule rilis Desember 2018. 
Sutradara : Clint Eastwood
Pemeran :
Earl Stone "Clint Easwood"
Colin Bates "Bradley Cooper" 
Mary "Dianne Wiest"
Iris "Alison Eastwood" 
Ginny "Taissa Farmiga" 


"TERKADANG hal-hal kecil di depanmu, hal-hal yang tidak signifikan sebetulnya, mengingatkanmu pada rentetan kejadian masa lalu."

Kalimat di atas adalah pembuka novel "Semasa" karya sepasang suami isteri Teddy W.Kusuma & Maesy Ang. Memang seperti itulah kenangan masa lalu, dia bisa timbul dari hal yang tidak pernah sengaja menarik kembali ingatanmu. Setiap awal bulan akan menjadi waktu yang panjang bagi saya dalam menyelesaikan pekerjaan kantor, lalu tanpa sengaja ingatan menarik saya semasa ketika masih berumur belasan saat mulai bertanya kepada ibu, kenapa bapak setiap akhir bulan selalu pulang tengah malam. Kemudian, saya seolah-olah berada di rumah duduk di meja makan dengan keluarga menyantap sate ayam yang dibeli bapak setiap gajian. Ingatan tentang masa lalu walaupun selalu menyelipkan rasa haru tetap saja menyenangkan untuk didatangi lagi.

Saat pertama kali melihat buku ini di rak toko buku Post, aku tertarik dengan judulnya yang singkat saja "semasa", sampulnya pun sangat sederhana. Kata "semasa" selalu digunakan untuk mengingat masa yang lampau, kenapa penulisnya tidak menggunakan "kenangan" atau "masa lalu". Mungkin kalau "kenangan", kata yang terlalu diromantisir oleh pemakainya. Sedangkan "masa lalu" selalu lekat dengan hal-hal berkonotasi negatif. Kedua kata tersebut pun telah lumrah dikalangan pembaca. 

Setelah memutuskan untuk membelinya, beberapa minggu aku mendiamkannya di tumpukan buku kamar kos sampai saat aku butuh teman dalam perjalanan ke Bandung selama dua hari. Perjalanan dengan kereta api yang membutuhkan waktu kurang lebih 3,5 jam, tentu dengan membaca buku waktu tidak akan terasa panjang. Saat memilihnya pun aku hanya mempertimbangkan jumlah halaman yang hanya 149 halaman tentu tidak akan lebih dari dua hari untuk menyelesaikannya, pas lama perjalananku.

Begitulah ingatan selalu bisa saja kembali dengan hal-hal yang tidak pernah disangka, novel "semasa" bahkan bisa membawa saya hingga ketika saya masih berumur kurang dari 10 tahun. Alur ceritanya seperti jalan setapak yang menuntun pembacanya berjalan melewati peristiwa di masa lalu yang sungguh jauh sangat menyenangkan daripada kehidupan yang sedang dijalani sekarang. Tokoh utamanya "Coro" seorang penulis yang menganggap novel yang ditulisnya gagal, mimpinya untuk menjadi penulis hebat tidak seperti apa yang dia dambakan saat masih kanak-kanak. Tetapi, Coro seorang pendongeng yang hebat di "semasa", dia menceritakan masa kanak-kanak yang dia lalui bersama ayah, bibi Sari, paman Giofridis, dan tentu adik sepupu perempuannya Sachi. Setiap ingatannya semasa kanak-kanak seperti sebuah lorong waktu yang ikut membawa saya juga mengunjungi masa itu. Masa dimana saya bersama kakak, sepupu, tante, om, bapak,ibu, kakek, nenek sering berkumpul saat libur sekolah di rumah kakek-nenek. Saat itu tiba tentu sangat menyenangkan bagi kami yang saat itu masih di sekolah dasar. Saat kebanyakan anak sebaya pergi liburan ke kota, saya yang liburan di desa juga merasakan kebahagian. Kakek-nenek sering membawa kami ke kebun untuk mengambil buah pohon Kakao, makan bersama di rumah kebun, dan tentu mandi di sungai. Aku sering menuggu saat libur sekolah tiba. Namun, seiring waktu berlalu semua akan berubah, kami yang kanak-kanak akan tumbuh dewasa dengan menjalani hidup masing-masing, kakek-nenek yang semakin menua, tentu juga dengan pohon Kakao yang telah lama mati karena tidak ada mengurusnya lagi. 

"Seberapa banyak sebuah tempat, atau seseorang, akan berbekas di hatimu jika kenangan akannya berhenti di waktu yang dulu, dan tidak dipupuk lagi ?"

Terkadang kita ingin mengunjungi tempat atau peristiwa yang telah berlalu namun kita tidak tahu cara memanggil ingatan tersebut. Dia meninggalkan kita seperti kita melupakannya juga. Mungkin dengan hal-hal yang tidak sengaja, ingatan bisa menuntun kembali ke masa lalu. 

Peristiwa dalam novel "semasa" adalah kisah biasa-biasa saja, mungkin kalian pernah mengalaminya, orang-orangnya pun biasa-biasa saja seperti kebanyakan orang, namun dia bisa mendekatkanmu dengan ingatan masa lalu (rumah) yang selalu ingin kamu kunjungi. Masa ketika kamu melihat dunia adalah sesuatu kebahagian yang tak akan kunjung padam sampai kamu menyadari keadaanmu sekarang.

Novel "semasa" ini seperti kata penutup Surat untuk pembaca, "Tak bisa dielak, sesudah menamatkan buku ini, kami jadi rindu pulang".

Penulisnya seperti kataku di awal tulisan, mereka sepasang suami isteri yang membuka sebuah toko buku Post di Pasar Santa. Ah, betapa aku juga ingin mempunyai pasangan yang ingin membuka perpustakaan atau toko buku.