Kehidupan adalah perjalanan panjang melintasi stasiun-stasiun asing yang tak putus-putusnya.
“Ia tak dapat menetapkan kini apakah ia sedang beruntung atau sebaliknya. Apakah ia akan berangkat atau akan sampai. Dalam perjalanan atau sedang kembali. Mulai dan menyudahi ternyata sama”.

Seberapa sering kalimat di atas muncul jika kamu sedang mengalami peristiwa yang kadang membingunkan, peristiwa yang belum bisa membuatmu memposisikan diri.  Sebenarnya nyata tetapi kamu merasa itu hanya imajinasimu yang menjauh beberapa langkah dari kamu. Mungkin juga kamu pernah mencoba membiarkan imajinasimu meninggalkan tubuhmu untuk melakukan kejahatan yang terlintas di kepala atau sekedar melihat kemalangan yang menimpa tubuhmu. Tindakan – tindakan manusia yang tampak, sesungguhnya didorong oleh bagian manusia yang tak tampak.

Pertautan antara dunia indrawi dan imajiner, itulah yang menjadi roh dari Roman Stasiun karya Putu Wijaya yang memenangkan sayembara Dewan Kesenian Jakarta tahun 1975.
Stasiun dan kereta menjadi inti dari novel ini, hampir semua latar tempatnya berada di sekitar stasiun dan dalam kereta. Selain itu,  keduanya tidak hanya memiliki makna sebagai bentuk fisik. Seperti stasiun yang menjadi titik awal perjalanan tetapi juga sebaliknya sebagai titik akhir (kembali), seperti kehidupan mungkin saja setiap stasiun yang kamu singgahi merupakan peristiwa yang baru kamu jumpai atau kamu seringkali tiba di stasiun yang sama dengan kondisi yang tidak jauh berbeda saat kamu meninggalkannya, hal yang akan menyadarkan kita pergi-datang sama saja. Sedangkan kereta adalah serangkaian waktu yang membawamu melakukan perjalanan panjang melintasi stasiun-stasiun.

Novel Stasiun bercerita tentang peristiwa tragis yang dialami atau terjadi di sekitar tokoh utama yang melakukan perjalanan yang tidak memiliki pangkal ujung. Seorang laki-laki tua yang tidak tahu sedang berangkat atau kembali. Pembaca tidak akan segera menemukan alur cerita yang konsisten, karakter, dan logika bercerita yang merangkai setiap peristiwa dalam novel. Dunia khayal dan dunia nyata seringkali bercampur dan membingungkan, seperti tokoh utama, pembaca juga akan terkejut ketika tokoh utama melihat rohnya terbebas dari badan, berjumpa dengan orang yang persis sama dengan dirinya, atau kepala yang terlepas dari tubuhnya, bahkan menemukan dirinya telah mati. Kekalahan demi kekalahan, itulah yang dialami oleh tokoh utama.

Di awali dengan deretan situasi dan latar yang saling mengisi dalam satu paragraf pembuka novel yang membentuk sebuah puisi yang indah. Lalu ditutup juga dengan sebuah puisi yang membuat pembacanya mengernyitkan alis sambil berpikir bahwa apakah itu sebuah peristiwa yang nyata ? Cara terbaik menikmatinya dengan membaca kata per kata yang menjadi kalimat, lalu rekonstruksi menggunakan imajinasimu.

Peristiwa yang menurutku sangat menarik adalah ketika tokoh utama, dianggap oleh pencerita mencoba mengambil semua perhatian pembaca dari sekian banyak penumpang dalam kereta. Mungkin hal ini pernah terjadi di sekitar pembaca atau mungkin pembaca sendiri mengalaminya sendiri, seseorang yang menjadikan dirinya sebagai korban lalu menikmati semua perhatian dan rasa kasihan dari orang lain.

“Ia ingin mendapat lebih banyak perhatian karena usianya. Untuk segala kesunyiannya yang sebetulnya salah sendiri. Untuk nasib buruk yang sebenarnya tidak lebih buruk dari orang lain. Ia sudah dimanjakan karena kehilangan-kehilangan yang bukan oleh kesalahan orang lain. Ia telah merindukan hak untuk mengaku paling lata dan paling sial. Seakan-akan ia benar-benar punya alasan kuat untuk membenci dirinya. Lalu tak sulit untuk menetapkan bahwa ia telah berusaha sedemikian rupa untuk lebih dari orang lain, memuja dirinya dengan menyusun cerita-cerita sedih.”

Putu Wijaya mencoba mengeksplorasi kondisi psikologi tokoh utama (orang tua laki-laki), seseorang yang sepertinya mengalami penyakit kejiwaan tetapi tidak dengan cara menampakkannya secara fisik, kita sering menganggap orang gila karena bertelanjang di jalanan, menari-nari mencari perhatian, atau seringkali bicara dengan dirinya sendiri. Tentu saja permasalahan psikologi tidak hanya tentang kegilaan.

Dengan peristiwa yang berbeda tetapi terasa sangat khayal dan getir ketika tokoh utama dihadirkan sebagai pengamat peristiwa seorang gelandangan bunuh diri dengan menggantung di stasiun. Janda gelandangan yang bunuh diri sangatlah berduka dengan kematian suaminya. Di tengah situasi berduka, dia dihadapkan kepada pilihan rasional yaitu menyerahkan mayat suaminya sebagai sumbangan ke fakulas kedokteran dengan uang pengganti yang bisa membiayai hidupnya atau mengeluarkan biaya jika ingin menguburkan suaminya.

“Aku manusia meskipun miskin. Suamiku gantung diri karena peraturan baru di stasiun. Aku menjual kertas-kertas bekas dan punting rokok. Suamiku bekerja di stasiun mengangkut barang-barang orang. Kami bukan pengemis. Aku masih punya uang untuk mengubur suamiku meskipun harga tanah mahal. Aku mau kubur dia, supaya anak ini tahu bapaknya nanti kalau sudah besar. Aku tidak menjual suamiku meskipun dia sudah mati.”

Pembaca tentu akan mengapresiasi seorang lata yang menyuarakan isi pikiran dan hatinya dengan sangat teguh. Lalu, jika isteri gelandangan itu berubah pikiran setelah mendengarkan nasihat dan memikirkan kenyataan yang dia sedang hadapi di depannya. Tentu akan timbul perasaan yang  aneh,
“Sekarang pokoknya begini, lima ribu saja.Ini tidak bisa turun lagi. Ini sudah rugi sekali. Lima ribu buat beli Seiko saja tidak bisa sekarang,” kata janda gelandangan.
Kemalangan itu sungguh mengerikan, apalagi jika yang mengalami adalah orang-orang yang lata, terkucilkan, tertindas.

Judul Novel : Stasiun
Penulis : Putu Wijaya
Penerbit : Basabasi
Tahun Terbit : Juni 2017.