Burung Kayu, Niduparas Erlang

Kita hanyalah sasareu (pendatang asing) di novel Burung Kayu sehingga tidak pantas menghakimi setiap kisah suku-suku atau uma-uma yang telah diwariskan turun-temurun, kepercayaan dan budaya masyarakat adat dengan menganggapnya sebagai ketertinggalan.
Pemerintah selalu datang seperti seorang bapak yang baik hati, menawarkan kebaikan-kebaikan dengan menyediakan pilihan-pilihan yang menurutnya benar. Bahwa kesejahteraan dan kemajuan itu seharusnya diikuti dengan perubahan budaya-budaya masyarakat yang dianggap tertinggal. Termasuk dengan memberikan pilihan-pilihan agama resmi untuk menggantikan kepercayaan yang telah dianut turun-temurun oleh suatu masyarakat adat. 
Narator menceritakan bahwa,
"Di bawah tatapan polisi, tak ada lagi anak-anak muda yang bernyali merajah tubuhnya dengan ti'ti'. Tak ada lagi sikerei-sikerei yang mengakui diri sebagai yang paling sakti. Semua orang sekedar mengaku sebagai simata belaka-seorang awam saja. Sebagian mengaku telah menanggalkan agama lama dan menggantinya dengan salah satu agama-baru-resmi-pula. Bahkan, sebagian benar-benar mencampakkan bakkat katsaila dan menggantikannya dengan besi-kecil-bersilang yang dengannya, konon, seorang di suatu tempat teramat jauh-beratus tahun lalu-telah diangkat ke surga."
Saengrekerei, Taksilitoni, dan Legeumanai kecil meninggalkan keluarga se-uma di lembah menuju barasi sebuah dusun yang dibangun pemerintah untuk menyejahterakan, memajukan masyarakat, dan mengejar ketertinggalan. Mereka menjalani kehidupan yang sangat berbeda dengan ketika masih tinggal di lembah, di barasi mereka hidup bertetangga dari suku-suku, atau uma-uma yang berbeda-beda.
Namun walaupun telah pindah ke barasi, saling curiga dan pertikaian antar suku atau uma demi menjaga marwah-wibawa tetap tidak bisa dihindari seperti halnya kisah pertikaian di lembah antara suku-sura'-boblo dengan suku-tunggul-kelapa yang mewariskan kisah pertikaian mereka turun-temurun. Selain itu, muncul masalah-masalah baru yang disebabkan oleh kebijakan-kebijakan pemerintah di barasi. 
Percakapan saat orang-orang berkumpul di beranda sapou Saengrekerei,
"Katanya pemerintah mau memajukan kita, mau menyejahterakan kita," seseorang terdengar menggugat, tapi Saengrekerei masih merenung. "Kenapa semuanya dilarang?"
"Ya, kalau pemerintah mau memajukan kita, seharusnya mereka tidak hanya memberi kita bibit cengkeh, coklat, pinang, dan rotan terus," Si Juling menegaskan. "Apa pemerintah bisa menjamin kalau harga cengkeh, cokelat, pinang, yang sudah kita rawat susah payah selama lima sampai tujuh tahun itu, harganya tidak jatuh ketika kita panen? Tak."
"Tak...," yang lain menggemakan sembari menggeleng.
"Apa ketika rotan kita panen, pemerintah menjamin akan laku?"
"Taaakk..."
"Apa gaharu dan nilam akan terus laku dan membuat kita kaya?"
Mereka berpandangan, lalu menyusul serentak,"Taaakkk..."
Membaca novel Burung Kayu dengan narator yang bercerita dengan tenang, lalu menempatkan kata-kata dari bahasa masyarakat Siberut di pulau Mentawai dengan sedikit/tanpa penjelasan atau menggantinya dengan padanan kata di bahasa Indonesia. Sehingga, pembaca harus berpikir dan tentu berimajinasi menebak-nebak kata tersebut.

Judul: Burung Kayu
Penulis : Niduparas Erlang
Penerbit : Teroka Press, 2020.


Jika dia ketahuan punya tato di antara tahun 1982 -1985, maka sudah cukup alasan dia dianggap penjahat yang mungkin akan dihabisi oleh petrus (penembak misterius). Kalau tidak salah namanya “Naches”, aku lupa sekarang dia masih hidup atau tidak. Namun, aku masih teringat dengan tato di lengannya yang gemuk berlemak bergambar perempuan telanjang tertusuk anak panah di hatinya dengan darah menetes. Setiap bertemu dengannya aku yang masih kanak-kanak (awal tahun 2000) selalu ketakutan, tetapi juga kagum dengan tatonya. Mungkin perjumpaan di masa kanak-kanak itu yang membuat aku bermimpi suatu saat mempunyai tato, tentu bukan gambar perempuan telanjang.

Kumpulan cerpen berjudul “Penembak Misterius” karya Seno Gumira Ajidarma. Di awali dengan trilogi penembak misterius yang terdiri dari Keroncong Pembunuhan, Bunyi Hujan di Atas Genting, dan Grhhh!. Ketiga cerpen ini di publikasikan di tahun 1985 dan 1987 saat rezim pemerintahan Orde Baru berkuasa. Trilogi cerpen tersebut sebagai reaksi SGA terhadap kebijakan pemerintah terkait dengan maraknya penembak misterius yang menewaskan orang-orang yang dianggap penjahat tanpa proses pengadilan. 

Pada tahun 1983, rezim Orde Baru menerapkan kebijakan yang ditakuti para penjahat bahkan preman: tembak mati. Mereka bisa dieksekusi mati kapan saja oleh penembak misterius (petrus). Di kutip dari histroia.id bahwa “kebijakan petrus ini atas restu Presiden Soeharto. Dalam otobiografinya, Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya, Soeharto berasalan bahwa petrus sebagai usaha mencegah kejahatan seefektif mungkin dengan harapan menimbulkan efek jera.”


Bunyi Hujan di Atas Genting

Sawitri merasa tetangga-tetangganya sudah terbiasa dengan mayat-mayat bertato itu. Malahan ia merasa tetangga-tetangga itu bergembira setiap kali melihat mayat bertato tergeletak di mulut gang setiap kali hujan reda dan mayat itu disemprot cahaya lampu merkuri yang kekuning-kuningan. Di dalam rumahnya yang terletak di sudut gang itu Sawitri mendengar apa saja yang mereka percakapkan. Mereka berteriak-teriak sambil mengurumuni mayat yang tergeletak itu meskipun kadang-kadang  hujan belum benar-benar selesai dan anak-anak berteriak hore-hore.

“Lihat!Satu lagi!”

“Mampus!”

“Modar!”

“Tahu rasa dia sekarang!”

“Anjing!”

“Anjing!”

Potongan-potongan paragraf di atas menampilkan wacana yang tumbuh di masyarakat pada saat kebijakan petrus diterapkan oleh rezim Orde Baru. Muncul stereotip kepada orang-orang yang bertato bahwa mereka  termasuk preman atau gabungan anak liar (gali) yang dapat mengancam keamanan. Sehingga, korban petrus yang memiliki tato dianggap oleh masyarakat pantas untuk ditembak mati. Pada akhirnya kebijakan pertrus ini telah dihentikan pada tahun 1985 dan orde baru telah runtuh di tahun 1998 tetapi stereotip masyarakat terhadap orang-orang bertato masih tetap saja hidup di tengah-tengah masyarakat. 


Sarman

Sarman yang sudah menghadap ke jalan raya berbalik, sambil menendang sisa-sisa kaca di kusen jendela, ia berteriak dengan marah.

“Sudah sepuluh tahun aku bangun tiap pagi dan berangkat dengan tergesa-gesa ke kantor ini! Sudah sepuluh tahun aku berangkat pagi hari dan pulang sore hari melalui jurusan yang sama! Sudah sepuluh tahun aku memasukkan kartu absen di mesin keparat itu tiap pagi dan sore! Sudah sepuluh tahun aku melakukan pekerjaan yang itu-itu saja delapan jam sehari! Sudah sepuluh tahun! Dan akan berpuluh-puluh tahun lagi!”

“Sarman sudah  gila,” bisik seseorang.

Cerpen ini memang di awali dengan kalimat, “berceritalah tentang kejenuhan.”  Konflik yang terjadi dalam diri tokoh utama Sarman, mengingatkan saya tentang filsafat eksistensialisme Sartre. Menurut Sartre bahwa manusia merasa terasing dalam sebuah dunia tanpa makna. Perasaan terasing manusia di dunia ini menciptakan keputusasaan, kebosanan, kemuakkan, dan absurditas.  

Dalam realitas kehidupan khususnya kelas pekerja menengah perkantoran tentu mungkin ingin melakukan pemberontakan terhadap dirinya sendiri seperti Sarman, namun ketakutan untuk bertanggung jawab terhadap pilihan sendiri menjadi dinding tebal yang sulit dirobohkan.


Seorang Perempuan di Halte Bis

“Siapakah dia? Dari mana? Mau ke mana? Anak siapa? Berapakah saudaranya? Adakah orang-orang yang kehilangan dan mencari dia? Betapa sebuah jalan hidup. Betapa sebuah perjalanan.

Aku masih meluncur di dalam bis kota yang kosong. Bis kotaku meluncur tanpa kernet dan tanpa sopir. Aku merasa naik burak. Aku masih teringat perempuan itu, yang pasti masih saja berdiri di halte bis sambil menengok ke arah kanan, menanti-nanti bis kota dengan satu saja kursi kosong. Sudah sepuluh tahun ia berdiri di sana. Sudah sepuluh tahun…”

Ketika membaca cerpen ini, aku dihadapkan dengan dua kondisi tokoh yang jauh berbeda. Tokoh pertama, perempuan di halte yang menanti bis kota dengan satu tempat duduk kosong. Bis kota yang jika tiba di halte tersebut telah penuh dengan penumpang, selain itu penumpang yang menunggu di halte bersama perempuan itu pun selalu berdesak-desakan. Walaupun telah menunggu selama sepuluh tahun di halte yang sama tidak ada satu pun penumpang yang memberikannya satu kursi kosong. 

Tokoh kedua, aku seorang pedagang keliling yang berpindah dari satu bis kota satu ke bis kota lainnya. Dia tidak ingin hanya menghabiskan waktu di satu tempat saja. Namun, di setiap tempat yang ia singgahi ditemukannya orang-orang yang hanya mementingkan kepentingan sendiri.

Kumpulan cerpen Penembak Misterius, SGA menggunakan wahana sastra sebagai media informasi untuk mengkritik kebijakan Orde Baru dikarenakan munculnya pelarangan pers atau kontrol pers yang ketat terhadap media-media informasi saat itu. Maka SGA bertindak sebagaimana judul bukunya yang lain yaitu, ”Ketika jurnalisme dibungkam, sastra harus bicara.”


Sumber:

Ajidarma, Seno Gumira.2020. Penembak Misterius.

Gaarder, Jostein.2015.Dunia Sophie.

https://historia.id/kultur/articles/tato-dari-petrus-hingga-angelina-jolie-PNlKD/page/2

https://historia.id/politik/articles/petrus-kisah-gelap-orba-PyXNv/page/2


Jika ada kisah seorang pekerja seks yang memberikan minum seekor anjing lalu diampuni dosanya, maka mungkin hanya kisah Nasrul Marhaban yang mengunjungi masjid dalam tiga kesempatan: Hari Raya Idulfitri, Hari Raya Kurban, dan hari ketika rumahnya kebanjiran. Namun, diakhir hayatnya dikenang mati husnul khotimah.

Realitas kehidupan masyarakat itu sebenarnya dijejali berbagai hal-hal aneh, mungkin saja semua perilaku manusia adalah hal aneh tetapi kemudian muncul sifat ‘umum’ yang digeneralisasi sebagai hal yang wajar. Misalnya. gelar-gelar di kartu undangan pernikahan yang tidak mempunyai relevansi apa pun terhadap subtansi pernikahan. Namun, hampir semua undangan yang pernah saya baca menampilkan hal tersebut. 

Perkara pernikahan dan keanehan mungkin kisah Abdullah yang biasa dipanggil Dulah dalam cerpen berjudul Para Penjual Rumah Ustazah Nung dan Si Dulah di Toko Bang Rizal bisa jadi yang paling aneh, Dulah yang tsetia dengan cinta pertama mengorbankan tsegala-galanya kecuali kebodohannya. Terjebak di antara, cinta pertama, para makelar tanah dan sepasang penipu. 

Kumpulan cerpen Kisah-kisah Perdagangan Paling Gemilang karya Ben Sohib berisi 14 cerpen. Dia menampilkan tokoh-tokohnya berada dalam suatu permainan kehidupan yang aneh. Namun keanehan tersebutlah yang membuat pembaca merasa bahwa tokoh/situasi di dalam cerpen tidak jauh dari kehidupan yang dijalani. Keanehan yang sulit untuk bisa dianggap salah tetapi kita tahu bahwa terdapat nilai-nilai yang telah hilang dalam diri tokoh/situasi.

Tiga cerpen yang menurutku paling menarik;


Bagaimana Nasrul Marhaban Mati dan Dikenang

Sebagai orang yang dikenal sangat jarang pergi ke masjid, pilihan Nasrul Marhaban mengungsi ke Masjid Assalam setiap kali rumahnya terendam banjir itu sempat jadi bahan pembiacaraan warga. Bahkan, ada satu olok-olok tentang hal ini, entah siapa yang mengatakannya pertama kali, bahwa Nasrul Marhaban hanya mengunjungi masjid dalam tiga kesempatan: Hari Raya Idulfitri, Hari Raya Kurban, dan hari ketika rumahnya kebanjiran. Pada hari-hari selebihnya, tak pernah ia sengaja datang untuk keperluan lain, termasuk untuk salat jumat.

Ustaz Komar, sang khatib, menjadikan Nasrul Marhaban sebagai contoh, sosok manusia yang menutup perjalanan hidupnya dengan baik, mati husnul khotimah. Ustaz Komar menceritakan bagaimana Nasrul Marhaban yang dikenal sangat jarang ke masjid itu ternyata lebih memilih kehilangan nyawanya ketimbang melihat kitab suci milikinya lenyap ditelan banjir.


Kisah-kisah Perdagangan Paling Gemilang

Yohannes Soekatja, si calon pembeli tanah, terkena serangan jantung pada Minggu pagi sepulang dari gereja, dan sekarang dirawat intensif di sebuah rumah sakit di Pondok Indah. Salim, Amir, Shaleh segera berkumpul dan pergi ke sana untuk menjenguknya. 

Tiga sekawan itu duduk bersila di pojok ruangan dan mulai membaca Alquran. Sejak hari itu selepas Isya, Salim, dan Amir, dan Shaleh bersila di ruang tunggu ICU, bergantian membaca ayat suci. Menjelang dini hari baru mereka berhenti dan pulang ke rumah dan akan datang lagi selepas Isya pada malam berikutnya. Itu semua mereka lakukan semata-mata demi kesembuhan Yohannes Soekatja.


Apang Bokek dan Pidato Isterinya

Entah kebetulan atau kutukan, julukan Bokek mencerminkan keadaan ekonomi si penyandang. Meski tak mempunyai utang, Apang tak kalah melarat dibandingkan ayahnya.

Namun, justru dari kemiskinan itulah berbagai cerita dan kejadian yang melibatkan dirinya membicarakan gelak tawa di kampung kami. Ia disukai oleh banyak orang, terutama para pemuda dan pria setengah baya yang gemar mabuk. Bagi mereka, acara minum-minum terasa kurang meriah tanpa kehadiran Apang Bokek.

“Lu pade demen ngajakin Apang pegi, bakal lucu-lucuan doing. Lu pade demen nanggepin Apang, terus lu bayar pake duit recehan. Lu pade kagak pernah mikirin nasbnye!” Leha berkata dengan suara bergetar. Lalu ia terisak.


Kisah-kisah Perdagangan Paling Gemilang berisi sentilan-sentilan yang dibungkus dalam humor membuat gelak tawa tetapi tidak kehilangan esensi dari makna setiap kisah-kisah di cerpennya. Seandainya aku salahsatu dari tiga makelar Salim, Amir, atau Shaleh mungkin akan melakukan hal yang sama. Tentu tidak ada yang salah jika kita mendoakan orang yang berbeda keyakinan dengan rajin membaca Al-Qur’an di dekatnya tetapi apakah hal tersebut karena kesembuhannya atau menanti keuntungan jika orang tersebut sembuh? Atau mungkin saja mereka melakukan itu dengan spontan tanpa berpikir.

Judul : Kisah-kisah Perdagangan Paling Gemilang

Penulis : Ben Sohb

Penerbit/Tahun : Banana/2020

Jalan M.H Thamrin

Selama dua tahun bekerja dan indekos di Jakarta tetapi masih merasa bukan bagian darinya. Jakarta yang jika kamu datang di daerah segitiga emasnya akan berpikir kota ini menjulang ke atas, kokoh, dan merefleksikan kemajuan. Tetapi, jika melimpir sedikit di belakangnya maka pemandangan yang terlihat akan sangat jauh berbeda, orang-orang hidup terhimpit secara fisik dan ekonomi di gang. Menurut SGA dalam bukunya Affair (Obrolan Urban),Homo Jakartensis, manusia Jakarta, sosok-sosok yang mengembara dalam pencarian, dalam sebuah kota yang telah menjadi situs wacana, dengan pilihan yang terus-menerus berganti.

Buku Affair (Obrolan Urban) yang terbit lagi di tahun 2020, pertama kali terbit tahun 2004 berisi kumpulan beberapa kolom-kolom SGA di tabloid Djakarta tahun 2000 hingga 2011 dan ditambahkan dua kolom dari merdeka.com.

Walaupun objek yang dibahas adalah Jakarta dan manusianya namun sebenarnya lebih menunjukkan gejala kebudayaan yang muncul dalam masyarakat  umum  yang sekalipun letaknya jauh dan tentu bukan hanya wacana milik kaum urban.


Kolom pertama yang menarik, “Berhala Urban: Semoga Sukses!”

“Kisah sukses urban adalah kisah sukses dengan ukuran-ukuran baku. Kalau anda guru teladan yang berangkat sekolah untuk mengajar naik sepeda motor, yang mogok-mogok pula, kategori apapun sangat sulit menyebut anda orang yang sukses. Setelah menyetir selama 30 tahun, seorang sopir yang mempunyai reputasi tidak pernah secuil pun menyerempet mobil lain, tidak pernah ditilang, tidak pernah terlambat, dan hanya membunyikan klakson dalam keadaan sangat terpaksa ini pun tidak akan pernah dipuji sebagai sukses.

Andaikan Anda diangkat jadi menteri. Meskipun Anda belum mulai bekerja, Anda sudah dianggap orang sukses. Jabatan Anda adalah sukses anda, bahwa sebagai menteri Anda rada-rada bego, itu bukan persoalan.”

Kalimat di atas menunjukkan bagaimana cara pandang masyarakat tentang kesuksesan memiliki ukuran-ukuran yang ajaib. Bahkan saat ini konstruksi sosial menampilkan citra orang sukses dengan berdasi, berjas, mobil mewah, rumah bergaya Eropa abad 19, liburan di luar negeri, dan punya jabatan di pemerintahan atapun perusahaan.

Demi sebuah prestise dalam masyarakat akhirnya orang-orang memburu kesuksesan, tetapi bagaimana jika kita tidak ikut memburu kesuksesan? Puas dengan kehidupan yang biasa-biasa saja, menjadi nomor enam bahkan terakhir pun tidak masalah asalkan bisa hidup mandiri, tidak parasit, tidak membungkuk-bungkuk, apalagi tersenyum palsu.


Kolom kedua yang menarik,"Keramahan Jakarta."

"Kalau kita sebut humas, seperti pegawai negeri berseragam di ruangan panas terkantuk-kantuk, kalau kita sebut "pi-ar" langsung terbayang seorang perempuan berbaju blazer, dengan sepatu tinggi yang suara langkahnya terdengar nyaring tak-tak-tak-tak.

Betapa pun ramah orangnya, renyah tawanya, manis senyumnya, wangi parfumnya, dan langkahnya tak-tak-tak-tak. Saya tahu betul, itulah model-model keramahan yang saya sering temui di Jakarta, suatu keramahan bisnis, keramahan profesional, keramahan demi relasi--nah, public relations."

SGA menulis kolom di atas pada tahun 2001, namun pengalaman yang saya rasakan selama di Jakarta hampir tidak jauh berbeda. Tidak ada yang salah dengan ilmu public relations dan keramahan, tetapi jika kamu duduk diantara orang-orang yang saling mempraktikkan keramahan demi sebuah kepentingan yang muncul adalah rasa mual. Menurut SGA, bagaimana jika kecendrungan mempraktikkan ilmu ramah ini mengendam dalam jiwa, bergerak dalam jiwa Homo Jakartensis? Keramahan semu ini menjadi bagian hidup sehari-sehari. Senyum harus disetel walaupun hati ogah sekali. 


Kolom ketiga yang menarik,"Agenda."

"Memang ada orang sakit yang sangat butuh didampingi, karena sudah tidak apa-apa, tapi ada juga saya kira orang sakit yang lebih suka menyendiri.

Hubungan yang hanya terbina karena kepentingan, seperti yang cenderung terbangun di dunia urban, membuat seseorang kurang menjadi dirinya sendiri. Seseorang terpaksa melakukan hal-hal yang tidak disukainya jika berhadapan dengan orang lain, ataukah itu membiarkan diri tertindas, atau terpaksa menindas, sehingga menyendiri untuk bertemu dengan dirinya sendiri, sebagai dirinya sendiri, merupakan privacy yang bisa dimaklumi.

Akan kasihan baginya untuk harus berbasa-basi, apalagi melayani penegokan yang juga basa-basi."

Mungkin sebagian besar hubungan yang aku jalani selama mengenal kalimat, "manusia adalah makhluk sosial" cenderung karena kepentingan. Demi memperlancar hubungan tersebut seringkali yang muncul tidak lebih dari perilaku basa-basi. Saling menyapa jika bertemu di tempat umum, ikut mengucapkan selamat, atau duka pun seringkali karena sekedar berbasa-basi. Betapa membosankannya kehidupan seperti itu, apalagi ternyata kalau kita sebenarnya saling mengetahui kalau hanya sedang berbasa-basi belaka. Salahsatu basa-basi yang sering kentara kalau kalian memberikan selamat dengan meng copy-paste kata-kata orang lain.


Potongan ketiga kolom di atas yang paling aku suka dan berkenaan dengan pengalamanku, masih ada 64 kolom lain dalam buku Affair (Obrolan Urban). Mungkin salah satu atau beberapa kolom akan kamu kenali sebagai dirimu atau orang di sekitarmu. 

Mungkin sekali dalam hidupmu pernah berkata atau mendengar orang-orang di sekitarmu berucap,"Apa saya sudah tampak seperti orang Jakarta?" 

Affair (Obrolan Urban)

Penulis: Seno Gumira Ajidarma

Diterbitkan oleh: Pabrik Tulisan, Yogyakarta.




Kemacetan di Jalan Sudirman saat pulang kantor
Pemerintah DKI Jakarta pada tanggal 20 Maret mengeluarkan edaran agar untuk sementara waktu selama 14 hari terhitung dari tanggal 23 Maret 2020 menghentikan seluruh kegiatan perkantoran dan melakukan kegiatan berusaha di rumah, istilah populernya Work From Home (WFH). Twitter telah mengumumkan kepada pekerjanya di seluruh dunia agar melakukan Work From Home sejak tanggal 12 Maret 2020. Seruan WFH yang dikeluarkan oleh Pemerintah DKI Jakarta, Twitter, dan perusahaan/pemerintah lain dilakukan agar dapat mengurangi penyebaran Coronavirus Covid-19. 

Kantor tempat saya bekerja sebenarnya telah menghimbau karyawan melakukan WFH beberapa hari sebelum seruan Pemerintah DKI Jakarta, namun belum optimal. Setelah seruan keluar maka para pekerja boleh memutuskan bekerja di rumah, saya termasuk pekerja yang menginginkan Work From Home. Setelah diijinkan membawa pekerjaan ke rumah, saya pulang menggunakan taksi online. Supir yang melihat barang bawaan saya yang banyak di tengah perjalanan bertanya, apakah saya akan bekerja di rumah seperti yang dilakukan banyak orang. Setelah saya menjelaskan bahwa kantor tempat saya bekerja mengikuti seruan pemerintah untuk bekerja di rumah. Saya iseng bertanya, apakah order penumpang dia terima berkurang selama orang-orang dibolehkan bekerja dari rumah.

Di perjalanan pulang jalanan sangat lancar, kemacetan yang sudah menjadi pemandangan sehari-hari pekerja ibukota sama sekali tidak tampak. Menurutnya selama dikeluarkannya himbauan bekerja di rumah, jumlah orderan penumpangnya menurun drastis. Dia pun sebenarnya khawatir jika ternyata penumpang yang diantarnya telah tertular Coronavirus Covid-19. Tetapi, semua prasangka buruk itu  dihilangkan karena satu-satunya pekerjaannya adalah supir taksi online. Dia juga mengungkapkan agar pemerintah seharusnya segera memberikan kebijakan pembayaran kredit karena jika penumpang semakin sepi tentu uang untuk membayar pinjaman bank/leasing akan sangat sulit terkumpul. Jika itu terjadi akan banyak kredit macet, kendaraan akan  berpotensi ditarik debt collector.

Yuval Noah Harari dalam bukunya Sapiens Riwayat Singkat Umat Manusia menulis bahwa,” salah kemampuan menakjubkan imajinasi manusia ketika ditemukannya sistem ekonomi modern yang didasari kepercayaan akan masa depan. Orang-orang setuju untuk merepresentasikan benda-benda khayalan-benda-benda yang tidak ada pada masa kini-dengan sejenis khusus uang yang mereka sebut “kredit”. Kredit memungkinkan kita membangun masa kini dengan memanfaatkan masa depan. Kredit didasari asumsi bahwa sumber daya masa depan kita pasti akan lebih melimpah daripada sumber daya kita masa kini. Segudang kesempatan baru dan hebat terbuka bila kita bisa membangun ini-itu pada masa kini menggunakan pendapatan masa depan”.

Orang-orang berani mengambil kredit mobil, rumah, usaha, bahkan perkakas rumah tangga dengan imajinasi bahwa di masa depan ia akan memperoleh pendapatan yang lebih sehingga mampu melunasi kreditnya. Begitupun bank/leasing berimajinasi para krediturnya mempunyai pendapatan agar bisa memperoleh keuntungan dari bunga pinjaman. Kemungkinan terburuk dari imajinasi ketika seperti yang terjadi di saat ini, wabah Coronavirus Covid-19 mempengaruhi segala aspek kehidupan terutama sistem ekonomi. Imajinasi supir taksi online mendapatkan order penumpang yang sering sehingga mampu menghasilkan uang untuk membayar cicilan mobil, runtuh. Belum lagi masa depan yang belum pasti karena manusia sedang berhadapan dengan musuh yang tidak terlihat. Bank pun tak kalah khawatirnya karena keuntungan yang mereka imajinasikan tentu akan sulit terwujud, dan kekhawatiran jika orang-orang yang menabung akan menarik uangnya.

Pemerintah Indonesia melalui Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada tanggal 25 Maret 2020 telah mengeluarkan edaran restrukturisasi kredit/pembiayaan terkait dampak Covid-19. Debitur yang mengalami kesulitan untuk memenuhi kewajibannya karena terdampak secara langsung atau tidak langsung dapat mengajukan permohonan restrukturisasi kepada bank/leasing. Sebuah kabar baik untuk supir taksi atau ojek online yang termasuk pekerja berpenghasilan harian, mereka dapat kelonggaran cicilan kredit 3,6,9,12 bulan tergantung kesepakatan ataupun asesmen bank/leasing

Yuval said,”Yes, the storm will pass, humankind will survive”. Manusia telah bertahan dari banyak krisis dan membangun masa depan yang lebih baik. Jika benar, seharusnya kita tetap mempertahankan imajinasi tersebut bahwa masa depan itu akan selalu lebih baik daripada masa kini. Dengan dibolehkannya Work From Home selama wabah Coronavirus Covid-19 tentu kita punya banyak waktu luang untuk berimajinasi.
Sayuran yang di jual di salah satu pasar modern Tangerang
Wabah Covid-19 telah menjangkiti hampir seluruh belahan dunia, dikutip dari situs https://www.arcgis.com/apps/opsdashboard oleh Johns Hopkins CSSE per tanggal 25 Maret 2020 pukul 21.42 WIB jumlah kasus postif Coronavirus COVID-19  sebanyak 435.006, dengan 19.625 orang dinyatakan meninggal, menjangkiti 171 negara dari 193 negara di dunia. Daerah terpencil seperti Greenland di bumi bagian utara   telah mengkonfirmasi pasien positif Coronavirus COVID-19, begitupun tempat terpencil lainnya French Polynesia di tengah laut Pasifik Selatan telah mengkonfirmasi warganya yang terinfeksi Coronavirus COVID-19.  Globalisasi yang telah menjadi bagian dari kehidupan seluruh warga dunia mempercepat penyebaran virus. 

Kemarin ibu saya menelpon dengan penuh kecemasan bahwa mereka di kampung harus menyimpan stok makanan hingga dua minggu ke depan. Jauh di Texas Amerika, pemilik toko klontong bahkan harus membatasi pembelian roti, sup kalengan, sayuran beku, bahkan susu dan telur agar menjaga ketersedian bahan makanan. Pembelian yang tiba-tiba dengan jumlah banyak akan menganggu rantai pasokan dikarenakan tentu pabrik memiliki sumber daya manusia, mesin, bahan mentah untuk berproduksi. Begitupun dengan wabah Coronavirus COVID-19 yang mengancam para pekerja pabrik bisa semakin mengkhawatirkan keberlangsungan proses produksi. 

Ibu saya yang tinggal kurang lebih 100 km dari ibukota provinsi merasakan kecemasan seperti yang orang Texas rasakan. Menurut Dimitrios Tsivrikos, seorang dosen di bidang konsumen dan psikologi bisnis dari Universitas College London dikutip dari laman berita CNBC mengatakan, “pada masa yang tidak pasti, orang-orang akan memasuki zona panik sehingga membuat keputusan yang tidak rasional dan tergesa-gesa. Pada kondisi bencana alam lain seperti banjir, orang-orang bisa memperkirakan seberapa banyak persedian makanan yang dibutuhkan tetapi manusia sedang menghadapi virus yang kita tidak tahu".

Kekhwatiran yang lain muncul ketika ibu saya menelpon lagi setelah berbelanja lalu mengabarkan bahwa harga sayuran di pasar lebih murah daripada biasanya. Dia mengatakan bahwa para pedagang mulai khawatir jika orang-orang takut lagi ke pasar, apalagi mereka menjual produk pertanian yang memiliki jangka waktu lebih sebentar untuk membusuk. Para pedagang yang menggantungkan kondisi keuangan kepada geliat prekonomian konsumennya, lalu bagaimana nasib para petani yang menjadi rantai paling dasar sektor ekonomi di tengah wabah Coronavirus Covid-19. Tentu saja jika rantai paling dasar terganggu maka akan menimbulkan masalah di rantai-rantai atasnya, pasokan yang terbatas dengan permintaan yang banyak akan menggerek kenaikan harga di masa yang akan datang.
Umat manusia sedang berhadapan dengan ancaman krisis global.

Referensi :
https://www.cnbc.com/2020/03/11/heres-why-people-are-panic-buying-and-stockpiling-toilet-paper.html
Mengingatnya hanya menambah rasa bersalah
"Basri, dengar nasihatku. Cinta ini, cinta yang mekar di tengah kerusuhan. Cinta saat kerusuhan tak akan mampu bertahan. Basri, demi keamanan, sementara ini jangan hubungi siapa-siapa."
Novel Lelaki Yang Membunuh Kenangan ditulis oleh Faisal Tehrani, seorang penulis berkebangsaan Malaysia. Terbit pertama kali pada tahun 2000 dengan judul Cinta Hari-Hari Rusuhan. Faisal Tehrani tentu menuliskan keresahan yang dia rasakan di negaranya, ternyata saat membacanya keresahannya tidak jauh berbeda dengan kondisi yang terjadi pada masyarakat Indonesia. Dalam novelnya ini dia mengkritik, ketimpangan ekonomi dalam masyarakat, kebijakan pemerintah, feodalisme, dan rasisme. Dia mengikat keresahan-keresahanya dengan kisah percintaan sepasang mahasiswa bernama Basri dan Valizah. 

Mendengar/membaca "Malaysia" yang seringkali teringat adalah rivalitas sepakbola, kasus penganiayaan Tenaga Kerja Indonesia, dan menara kembar Petronas (tidak sah berkunjung di Malaysia jika tidak berswafoto di menara Petronas). Selain itu hampir tidak ada informasi lagi yang membahas tentang kondisi masyarakatnya, Malaysia yang merdeka dari kolonialisme Inggris lalu bangkit dari negara miskin menjadi negara berkembang bahkan menurut Bank Dunia (World Bank) yang dikutip dari laman berita katadata.co.id Malaysia akan menjadi negara maju (high income) antara tahun 2020-2024. Orang-orang Indonesia yang melihatnya dari seberang lautan seringkali memuji laju pertumbuhan ekonomi Malaysia, ada yang beranggapan penyebabnya karena menjadi jajahan Inggris sambil menyesalkan dijajah orang-orang Belanda. Pembaca yang budiman, tidak ada satupun negara jajahan yang diuntungkan oleh sistem Kolonialisme.

Perkembangan kemajuan ekonomi Malaysia tidak hanya mendatangkan kesejahteraan bagi seluruh (dibaca:sekelompok golongan) rakyatnya tetapi juga menyingkirkan mereka yang terpinggirkan. Seperti halnya yang diceritakan dalam Novel Lelaki Yang Membunuh Kenangan, Basri, Valizah bersama kawan-kawannya dalam gerakan mahasiswa Universitas Malaya mengkiritisi kebijakan DEB (Dasar Ekonomi Baru) yang diperkenalkan pada tahun 1971 oleh perdana menteri Tun Abdul Rasak. Tujuannya untuk memajukan kaum Melayu dan mengurangi dominasi orang keturanan Tionghoa-Malaysia. Namun, yang terjadi;
"Maksud Zurah, kalau misalnya ada yang sukses, itu hanya kesuksesan segelintir elite. Kelompok tertentu saja, bukan seluruh rakyat. Ada lapisan masyarakat yang terabaikan. Mereka hanya mendapat percikannya." tambah Valizah penuh semangat.

"Kisah cinta beda kasta" antara Basri seorang anak petani dengan Tengku Valizah seorang keturunan bangsawan kerajaan memang terdengar klise. Namun begitulah adanya, cinta yang tumbuh di masa-masa kerusuhan ditambah dengan pertentangan kasta dan kemampuan ekonomi akan sangat dramatik. Orangtua Basri bisa menerima Valizah, sedangkan orangtua Valizah tidak sepenuhnya menolak Basri namun selalu ada harapan anaknya menikah dengan keluarga bangsawan juga. Malaysia memiliki bentuk pemerintahan Monarki Konstitusional, negara kerajaan yang diatur oleh konstitusional. Kepala negaranya adalah seorang raja yang disebut Yang di-Pertuan Agong (Raja Malaysia). Menjabat selama lima tahun, dipilih oleh sembilan Sultan di negeri-negeri Malaya. Terlahir sebagai keluarga bangsawan tentu sebuah privilege. Anak-anak dari keluarga bangsawan bisa menikmati pendidikan di luar negeri, saat mahasiswa di Malaysia sedang turun ke jalan-jalan di Kuala Lumpur menentang pemerintah. Sedangkan, anak-anak bangsawan lebih sering menghabiskan waktu dengan berpesta, salah satunya Raja Hisyamudin.
Pembaca akan merasakan berbagai kesusahan yang menyertai kisah cinta keduanya, walaupun begitu mereka tetap menjaga cinta dengan situasi yang benar-benar berbeda. Kasih sayang yang berakhir dengan melukai mereka berdua, skizofrenia tipe peuperal psychosis dan exile.

Demo Baling yang terjadi 1974 melatarbelakangi konflik yang terjadi pada Novel Lelaki Yang Membunuh Kenangan, dikutip dari laman malaysiakini.com bahwa selepas pilihan raya 1974 negara digemparkan dengan kenaikan harga barang dan kejatuhan ekonomi termasuklah harga getah. Akibatnya ada laporan bahwa masyarakat Kedah mengalami kelaparan hingga terpaksa memakan ubi kayu yang mengandung racun yang menyebabkan kematian tetapi tidak diakui oleh pemerintah. Maka muncullah gerakan demo terbesar dalam sejarah gerakan mahasiswa di Malaysia, melibatkan hampir 10.000 orang mahasiswa. Demo yang berakhir dengan penangkapan 1.128 pelajar oleh FRU (Federal Unit Reverse), bahkan polisi memasuki Universiti Malaya dan Universiti Kebangsaan untuk menggeledah asrama dan menangkapi mahasiswa. Gerakan yang lahir dari hati nurani generasi muda bagi memperjuangkan nasib rakyat dari ditekan oleh pemerintah harus dibayar dengan mahal dengan dilakukannya perubahan Akta Universiti dan Kolej Universiti (AUKU) pada tahun 1975 yang melarang mahasiswa untuk terlibat dengan politik dan organisasi luar, sebuah tragedi hitam dalam sejarah gerakan mahasiswa Malaysia.
Pada akhirnya pembungkaman selama bertahun-tahun menciptakan budaya baru pada mahasiswa, yang dalam novel disampaikan dalam sebuah forum salahsatunya Profesor Madya Doktor Mahadi Khair;
"Saya juga ingin menegur kegiatan mahasiswa di asrama. Asrama ini melawan asrama itu. Saling bersaing untuk menunjukkan yang paling hebat. Asrama A dinner di hotel, asrama B melakukan hal yang sama di hotel yang lebih mewah. Persaingan apa ini? Aneh sekali."

Mahasiswa Malaysia yang terdiri dari berbagai etnik (Melayu, Tionghoa, India) pun pasti tidak luput dari berbagai pertikaian, namun sebelum perubahan AUKU mereka dapat bersatu dalam mengkritik kebijakan pemerintah ataupun kebijakan negara lain. Namun, setelahnya mereka tidak berjuang bersama-sama lagi walaupun yang berkembang adalah isu sejagad, masalah KORUPSI.

Faisal Tehrani tidak hanya mengkritik gerakan mahasiswa setelah tahun 60an dan 70an, dia juga tidak berlama-lama dengan mengagung-agungkan heroiknya tokoh-tokoh gerakan masa itu. Dia memunculkan beberapa karakter mahasiswa yang berjuang dengan Basri dalam gerakan mahasiswa akhirnya mengingkari perjuangan mereka setelah berkuasa di pemerintahan. Hampir tidak ada idealisme yang tidak dimakan oleh jabatan dan kemewahan (dibaca:uang).

Tidak jauh berbeda dengan Indonesia, kebanyakan idealisme hanya bertahan ketika masih kuliah sampai dengan tes wawancara terakhir saat melamar pekerjaan. Setelah itu, demi jabatan dan kehidupan yang lebih baik (dibaca:kemewahan/uang) semua idealisme akan ditanggalkan.
Seperti kata salahsatu senior kepada saya saat menawarkan pekerjaan bahwa,"bahwa idealisme itu akan luntur dengan sendirinya," sambil mengusap-usap perut buncitnya.


Judul : Cinta Hari-Hari Rusuhan / Lelaki Yang Membunuh Kenangan
Penulis/Penerjemah : Faisal Tehrani / Ary Nur Azizah
Penerbit : Bentang
Terbit : Mei 2019

Sumber artikel : 
https://www.malaysiakini.com/news/216550
https://katadata.co.id/berita/2018/10/24/malaysia-diramal-jadi-negara-maju-2024-bagaimana-peluang-indonesia
https://www.dictio.id/t/apa-bentuk-dan-sistem-pemerintahan-malaysia/62615






https://www.malaysiakini.com/news/216550
"Wahai Malik, sesungguhnya manusia itu ada dua tipe: Jika dia bukan saudaramu seagama, dia saudaramu dalam kemanusian," pesan Ali bin Abi Thalib kepada Malik Al-Asytar.

Di kawasan Simpang Lima Mbok Wilis biasa mejeng, menjajakan secuil kenikmatan dunia walau barang semalam. Ia bahkan sudi melayani siapa pun yang sanggup membayarnya. Ia tidak pilih-pilih, meskipun ia mucikari dan waria paling top se-kota Semarang. Semua ia ladeni, dari pejabat sampai rakyat jelata, polisi maupun hansip, prajurit ABRI atau satpam mal, dosen serta mahasiswa, sopir omprengan hingga pengayuh becak. Jawa, Melayu, Arab, Cina, Belanda, semua boleh tidur dengannya sebab tiada diskriminasi di atas ranjang kenikmatan. Toh, baginya uang tetaplah uang tak peduli dari dompet siapa mereka berasal.

Tidak perlu risau dengan paragraf di atas karena itu hanyalah sepenggal kalimat yang ada dalam Novel Anak Gembala Yang Tertidur Panjang Di Akhir Zaman karya A. Mustafa yang menjadi pemenang II Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta tahun 2018. 

Saat awal membacanya tentu saya terkejut dengan karakter tokoh utamanya, seorang waria dan pelacur pula. Namun, begitulah sudah seharusnya semua orang diberikan kesempatan menceritakan perjalanan hidupnya dengan segala kerumitannya. Rara Wilis akan mencoba berdialog dengan pembaca secara lebih mendalam mengenai kehidupannya, sebagai seorang minoritas yang sering dianggap memiliki penyimpangan. Seseorang yang tidak mendefinisikan dirinya sesuai dengan alat kelaminnya. Seseorang yang berulang kali dikecewakan dengan perasaan cinta, sehingga mencari kenikmatan dengan melacur. Seseorang yang berusaha membuktikan diri bersama rekan-rekan waria-nya kalau bisa berkontribusi kepada masyarakat. Seseorang yang akan menemukan kebaikan melalui perantara orang jahat.

Asumsi bahwa waria sebagai bentuk penyimpangan seksual yang sangat berbahaya bagi orang-orang di sekitarnya seringkali menimbulkan ejekan bahkan kekerasan terhadap mereka. Pengalaman masa kanak-kanak ketika menyambut kemerdekaan Indonesia, salah satu hal yang ditunggu warga di kampung saya adalah gerak jalan yang biasanya juga diikuti oleh komunitas waria. Sepertinya mereka ditunggu untuk jadi bahan tertawaan, bahkan beberapa penonton mengeluarkan kata-kata menghujat waria, "Nabellai Puang Allah Ta'ala (berbohong kepada Allah)". Seiring waktu, saya sadar bahwa ternyata ketakutan-ketakutan yang didasari dengan ketidaktahuan akan menyakiti orang lain. Tidak pernah ada percakapan yang membuat saya bisa memahami penyebab seseorang yang terlahir dengan penis berhasrat untuk menjadi seorang perempuan atau jatuh cinta dengan seorang laki-laki. Di kepala saya hanya muncul stigma negatif yang tak berdasar.
 
 "Baiklah, akan saya beritahu, walaupun saya tidak tahu apakah Ustaz akan menyukai jawaban ini atau tidak," jawab Pak Wo. "Imam Mahdi dan Masih Mau'ud telah turun ke dunia lebih dari 100 tahun yang lalu di Anak Benua, timur Damaskus, tempat di mana menara putih berdiri dengan terang benderang. Dan nama beliau adalah Hazrat Mirza Ghulam Ahmad......"

Paragraf di atas adalah potongan dialog antara Pak Suko Djatmoko Purwo Carito seorang pengikut Ahmadiyah dengan Ustaz Zulkifli. Perbedaan pandangan tidak membawa keduanya dalam sikap saling bermusuhan. Hal ini tentu sangat berbeda dengan realitas kehidupan, ingatan tentang Ahmadiyah yang menancap dalam kepala saya adalah mereka sekelompok orang kafir, bukan Islam. Namun, hingga sekarang saya belum pernah mencari tahu ataupun berdialog dengan Jamaah Ahmadiyah. Kesimpulan bahwa mereka membawa ajaran sesat, tidak lebih dari pemberitaan dan omongan orang lain saja.

Kasus intoleransi terhadap Jamaah Ahmadiyah yang melekat dalam ingatan adalah penyerangan Ahmadiyah di Lombok pada tahun 2018, penyerangan yang dilakukan pada hari ketiga Ramadhan. Sungguh sebuah ironi, bulan yang suci dinodai dengan  perusakan rumah dan pengusiran dari kampung. Tidak ada dialog, tidak ada sikap saling menghargai perbedaan, bahkan perbedaan menjadi legitimasi tindak kekerasan.

Novel Anak Gembala Yang Tertidur Panjang Di Akhir Zaman ingin membawa pembacanya kepada kehidupan orang-orang minoritas yang seringkali termarjinalkan dalam masyarakat walaupun sebenarnya kita tidak pernah punya alasan/ hanya berdasarkan asumsi-asumsi dari imajinasi liar kita. Dengan adanya novel ini mungkin dapat meruntuhkan tembok pembatas kecendrungan manusia yang senang memperoleh informasi yang cocok dengan seleranya. Saya pun sebagai seorang yang heteroseksual tentu merasa aneh dengan penggambaran tentang pengalaman ekplorasi seksualitas dan kehidupan komunitas gay. Selain itu, untuk pertama kalinya saya menjelajahi beberapa pemikiran Jamaah Ahmadiyah yang tentu jarang diberitakan media.

Kejutan lain dalam Novel Anak Gembala Yang Tertidur Panjang Di Akhir Zaman, pembaca akan bertemu dengan hikayat babi, seekor babi jantan yang senang berkubang di lumpur dan Pak Wo yang bertablig menggunakan kisah wayang Purwa, kisah perang Pandawa menghadapi Kurawa.
Novel Anak Gembala Yang Tertidur Panjang Di Akhir Zaman, dapat digolongkan karya Fiksi Bildungsroman atau 'novel perkembangan', topik yang menjadi pembahasan novel berpusat pada proses pendewasaan tokoh utama (Rara Wilis), baik secara moral, intelektual, dan spiritual. Selain itu, novel ini berpijak dari kisah nyata, namun karena sifatnya yang fiksi tentu pengarang menggunakan imajinasinya agar terdapat jarak kisah nyata dan kisah dalam novel. 

Kemajemukan manusia akan terus bertahan hingga akhir zaman, sehingga hanya diperlukan melihat diri sendiri sebagai manusia, lalu melihat orang juga sebagai manusia.


Judul  : Anak Gembala Yang Tertidur Panjang Di Akhir Zaman.
Penulis : A. Mustafa
Penerbit : Shira Media
Tahun Terbit :  2019