"Wahai Malik, sesungguhnya manusia itu ada dua tipe: Jika dia bukan saudaramu seagama, dia saudaramu dalam kemanusian," pesan Ali bin Abi Thalib kepada Malik Al-Asytar.

Di kawasan Simpang Lima Mbok Wilis biasa mejeng, menjajakan secuil kenikmatan dunia walau barang semalam. Ia bahkan sudi melayani siapa pun yang sanggup membayarnya. Ia tidak pilih-pilih, meskipun ia mucikari dan waria paling top se-kota Semarang. Semua ia ladeni, dari pejabat sampai rakyat jelata, polisi maupun hansip, prajurit ABRI atau satpam mal, dosen serta mahasiswa, sopir omprengan hingga pengayuh becak. Jawa, Melayu, Arab, Cina, Belanda, semua boleh tidur dengannya sebab tiada diskriminasi di atas ranjang kenikmatan. Toh, baginya uang tetaplah uang tak peduli dari dompet siapa mereka berasal.

Tidak perlu risau dengan paragraf di atas karena itu hanyalah sepenggal kalimat yang ada dalam Novel Anak Gembala Yang Tertidur Panjang Di Akhir Zaman karya A. Mustafa yang menjadi pemenang II Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta tahun 2018. 

Saat awal membacanya tentu saya terkejut dengan karakter tokoh utamanya, seorang waria dan pelacur pula. Namun, begitulah sudah seharusnya semua orang diberikan kesempatan menceritakan perjalanan hidupnya dengan segala kerumitannya. Rara Wilis akan mencoba berdialog dengan pembaca secara lebih mendalam mengenai kehidupannya, sebagai seorang minoritas yang sering dianggap memiliki penyimpangan. Seseorang yang tidak mendefinisikan dirinya sesuai dengan alat kelaminnya. Seseorang yang berulang kali dikecewakan dengan perasaan cinta, sehingga mencari kenikmatan dengan melacur. Seseorang yang berusaha membuktikan diri bersama rekan-rekan waria-nya kalau bisa berkontribusi kepada masyarakat. Seseorang yang akan menemukan kebaikan melalui perantara orang jahat.

Asumsi bahwa waria sebagai bentuk penyimpangan seksual yang sangat berbahaya bagi orang-orang di sekitarnya seringkali menimbulkan ejekan bahkan kekerasan terhadap mereka. Pengalaman masa kanak-kanak ketika menyambut kemerdekaan Indonesia, salah satu hal yang ditunggu warga di kampung saya adalah gerak jalan yang biasanya juga diikuti oleh komunitas waria. Sepertinya mereka ditunggu untuk jadi bahan tertawaan, bahkan beberapa penonton mengeluarkan kata-kata menghujat waria, "Nabellai Puang Allah Ta'ala (berbohong kepada Allah)". Seiring waktu, saya sadar bahwa ternyata ketakutan-ketakutan yang didasari dengan ketidaktahuan akan menyakiti orang lain. Tidak pernah ada percakapan yang membuat saya bisa memahami penyebab seseorang yang terlahir dengan penis berhasrat untuk menjadi seorang perempuan atau jatuh cinta dengan seorang laki-laki. Di kepala saya hanya muncul stigma negatif yang tak berdasar.
 
 "Baiklah, akan saya beritahu, walaupun saya tidak tahu apakah Ustaz akan menyukai jawaban ini atau tidak," jawab Pak Wo. "Imam Mahdi dan Masih Mau'ud telah turun ke dunia lebih dari 100 tahun yang lalu di Anak Benua, timur Damaskus, tempat di mana menara putih berdiri dengan terang benderang. Dan nama beliau adalah Hazrat Mirza Ghulam Ahmad......"

Paragraf di atas adalah potongan dialog antara Pak Suko Djatmoko Purwo Carito seorang pengikut Ahmadiyah dengan Ustaz Zulkifli. Perbedaan pandangan tidak membawa keduanya dalam sikap saling bermusuhan. Hal ini tentu sangat berbeda dengan realitas kehidupan, ingatan tentang Ahmadiyah yang menancap dalam kepala saya adalah mereka sekelompok orang kafir, bukan Islam. Namun, hingga sekarang saya belum pernah mencari tahu ataupun berdialog dengan Jamaah Ahmadiyah. Kesimpulan bahwa mereka membawa ajaran sesat, tidak lebih dari pemberitaan dan omongan orang lain saja.

Kasus intoleransi terhadap Jamaah Ahmadiyah yang melekat dalam ingatan adalah penyerangan Ahmadiyah di Lombok pada tahun 2018, penyerangan yang dilakukan pada hari ketiga Ramadhan. Sungguh sebuah ironi, bulan yang suci dinodai dengan  perusakan rumah dan pengusiran dari kampung. Tidak ada dialog, tidak ada sikap saling menghargai perbedaan, bahkan perbedaan menjadi legitimasi tindak kekerasan.

Novel Anak Gembala Yang Tertidur Panjang Di Akhir Zaman ingin membawa pembacanya kepada kehidupan orang-orang minoritas yang seringkali termarjinalkan dalam masyarakat walaupun sebenarnya kita tidak pernah punya alasan/ hanya berdasarkan asumsi-asumsi dari imajinasi liar kita. Dengan adanya novel ini mungkin dapat meruntuhkan tembok pembatas kecendrungan manusia yang senang memperoleh informasi yang cocok dengan seleranya. Saya pun sebagai seorang yang heteroseksual tentu merasa aneh dengan penggambaran tentang pengalaman ekplorasi seksualitas dan kehidupan komunitas gay. Selain itu, untuk pertama kalinya saya menjelajahi beberapa pemikiran Jamaah Ahmadiyah yang tentu jarang diberitakan media.

Kejutan lain dalam Novel Anak Gembala Yang Tertidur Panjang Di Akhir Zaman, pembaca akan bertemu dengan hikayat babi, seekor babi jantan yang senang berkubang di lumpur dan Pak Wo yang bertablig menggunakan kisah wayang Purwa, kisah perang Pandawa menghadapi Kurawa.
Novel Anak Gembala Yang Tertidur Panjang Di Akhir Zaman, dapat digolongkan karya Fiksi Bildungsroman atau 'novel perkembangan', topik yang menjadi pembahasan novel berpusat pada proses pendewasaan tokoh utama (Rara Wilis), baik secara moral, intelektual, dan spiritual. Selain itu, novel ini berpijak dari kisah nyata, namun karena sifatnya yang fiksi tentu pengarang menggunakan imajinasinya agar terdapat jarak kisah nyata dan kisah dalam novel. 

Kemajemukan manusia akan terus bertahan hingga akhir zaman, sehingga hanya diperlukan melihat diri sendiri sebagai manusia, lalu melihat orang juga sebagai manusia.


Judul  : Anak Gembala Yang Tertidur Panjang Di Akhir Zaman.
Penulis : A. Mustafa
Penerbit : Shira Media
Tahun Terbit :  2019