Burung Kayu, Niduparas Erlang

Kita hanyalah sasareu (pendatang asing) di novel Burung Kayu sehingga tidak pantas menghakimi setiap kisah suku-suku atau uma-uma yang telah diwariskan turun-temurun, kepercayaan dan budaya masyarakat adat dengan menganggapnya sebagai ketertinggalan.
Pemerintah selalu datang seperti seorang bapak yang baik hati, menawarkan kebaikan-kebaikan dengan menyediakan pilihan-pilihan yang menurutnya benar. Bahwa kesejahteraan dan kemajuan itu seharusnya diikuti dengan perubahan budaya-budaya masyarakat yang dianggap tertinggal. Termasuk dengan memberikan pilihan-pilihan agama resmi untuk menggantikan kepercayaan yang telah dianut turun-temurun oleh suatu masyarakat adat. 
Narator menceritakan bahwa,
"Di bawah tatapan polisi, tak ada lagi anak-anak muda yang bernyali merajah tubuhnya dengan ti'ti'. Tak ada lagi sikerei-sikerei yang mengakui diri sebagai yang paling sakti. Semua orang sekedar mengaku sebagai simata belaka-seorang awam saja. Sebagian mengaku telah menanggalkan agama lama dan menggantinya dengan salah satu agama-baru-resmi-pula. Bahkan, sebagian benar-benar mencampakkan bakkat katsaila dan menggantikannya dengan besi-kecil-bersilang yang dengannya, konon, seorang di suatu tempat teramat jauh-beratus tahun lalu-telah diangkat ke surga."
Saengrekerei, Taksilitoni, dan Legeumanai kecil meninggalkan keluarga se-uma di lembah menuju barasi sebuah dusun yang dibangun pemerintah untuk menyejahterakan, memajukan masyarakat, dan mengejar ketertinggalan. Mereka menjalani kehidupan yang sangat berbeda dengan ketika masih tinggal di lembah, di barasi mereka hidup bertetangga dari suku-suku, atau uma-uma yang berbeda-beda.
Namun walaupun telah pindah ke barasi, saling curiga dan pertikaian antar suku atau uma demi menjaga marwah-wibawa tetap tidak bisa dihindari seperti halnya kisah pertikaian di lembah antara suku-sura'-boblo dengan suku-tunggul-kelapa yang mewariskan kisah pertikaian mereka turun-temurun. Selain itu, muncul masalah-masalah baru yang disebabkan oleh kebijakan-kebijakan pemerintah di barasi. 
Percakapan saat orang-orang berkumpul di beranda sapou Saengrekerei,
"Katanya pemerintah mau memajukan kita, mau menyejahterakan kita," seseorang terdengar menggugat, tapi Saengrekerei masih merenung. "Kenapa semuanya dilarang?"
"Ya, kalau pemerintah mau memajukan kita, seharusnya mereka tidak hanya memberi kita bibit cengkeh, coklat, pinang, dan rotan terus," Si Juling menegaskan. "Apa pemerintah bisa menjamin kalau harga cengkeh, cokelat, pinang, yang sudah kita rawat susah payah selama lima sampai tujuh tahun itu, harganya tidak jatuh ketika kita panen? Tak."
"Tak...," yang lain menggemakan sembari menggeleng.
"Apa ketika rotan kita panen, pemerintah menjamin akan laku?"
"Taaakk..."
"Apa gaharu dan nilam akan terus laku dan membuat kita kaya?"
Mereka berpandangan, lalu menyusul serentak,"Taaakkk..."
Membaca novel Burung Kayu dengan narator yang bercerita dengan tenang, lalu menempatkan kata-kata dari bahasa masyarakat Siberut di pulau Mentawai dengan sedikit/tanpa penjelasan atau menggantinya dengan padanan kata di bahasa Indonesia. Sehingga, pembaca harus berpikir dan tentu berimajinasi menebak-nebak kata tersebut.

Judul: Burung Kayu
Penulis : Niduparas Erlang
Penerbit : Teroka Press, 2020.


Jika dia ketahuan punya tato di antara tahun 1982 -1985, maka sudah cukup alasan dia dianggap penjahat yang mungkin akan dihabisi oleh petrus (penembak misterius). Kalau tidak salah namanya “Naches”, aku lupa sekarang dia masih hidup atau tidak. Namun, aku masih teringat dengan tato di lengannya yang gemuk berlemak bergambar perempuan telanjang tertusuk anak panah di hatinya dengan darah menetes. Setiap bertemu dengannya aku yang masih kanak-kanak (awal tahun 2000) selalu ketakutan, tetapi juga kagum dengan tatonya. Mungkin perjumpaan di masa kanak-kanak itu yang membuat aku bermimpi suatu saat mempunyai tato, tentu bukan gambar perempuan telanjang.

Kumpulan cerpen berjudul “Penembak Misterius” karya Seno Gumira Ajidarma. Di awali dengan trilogi penembak misterius yang terdiri dari Keroncong Pembunuhan, Bunyi Hujan di Atas Genting, dan Grhhh!. Ketiga cerpen ini di publikasikan di tahun 1985 dan 1987 saat rezim pemerintahan Orde Baru berkuasa. Trilogi cerpen tersebut sebagai reaksi SGA terhadap kebijakan pemerintah terkait dengan maraknya penembak misterius yang menewaskan orang-orang yang dianggap penjahat tanpa proses pengadilan. 

Pada tahun 1983, rezim Orde Baru menerapkan kebijakan yang ditakuti para penjahat bahkan preman: tembak mati. Mereka bisa dieksekusi mati kapan saja oleh penembak misterius (petrus). Di kutip dari histroia.id bahwa “kebijakan petrus ini atas restu Presiden Soeharto. Dalam otobiografinya, Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya, Soeharto berasalan bahwa petrus sebagai usaha mencegah kejahatan seefektif mungkin dengan harapan menimbulkan efek jera.”


Bunyi Hujan di Atas Genting

Sawitri merasa tetangga-tetangganya sudah terbiasa dengan mayat-mayat bertato itu. Malahan ia merasa tetangga-tetangga itu bergembira setiap kali melihat mayat bertato tergeletak di mulut gang setiap kali hujan reda dan mayat itu disemprot cahaya lampu merkuri yang kekuning-kuningan. Di dalam rumahnya yang terletak di sudut gang itu Sawitri mendengar apa saja yang mereka percakapkan. Mereka berteriak-teriak sambil mengurumuni mayat yang tergeletak itu meskipun kadang-kadang  hujan belum benar-benar selesai dan anak-anak berteriak hore-hore.

“Lihat!Satu lagi!”

“Mampus!”

“Modar!”

“Tahu rasa dia sekarang!”

“Anjing!”

“Anjing!”

Potongan-potongan paragraf di atas menampilkan wacana yang tumbuh di masyarakat pada saat kebijakan petrus diterapkan oleh rezim Orde Baru. Muncul stereotip kepada orang-orang yang bertato bahwa mereka  termasuk preman atau gabungan anak liar (gali) yang dapat mengancam keamanan. Sehingga, korban petrus yang memiliki tato dianggap oleh masyarakat pantas untuk ditembak mati. Pada akhirnya kebijakan pertrus ini telah dihentikan pada tahun 1985 dan orde baru telah runtuh di tahun 1998 tetapi stereotip masyarakat terhadap orang-orang bertato masih tetap saja hidup di tengah-tengah masyarakat. 


Sarman

Sarman yang sudah menghadap ke jalan raya berbalik, sambil menendang sisa-sisa kaca di kusen jendela, ia berteriak dengan marah.

“Sudah sepuluh tahun aku bangun tiap pagi dan berangkat dengan tergesa-gesa ke kantor ini! Sudah sepuluh tahun aku berangkat pagi hari dan pulang sore hari melalui jurusan yang sama! Sudah sepuluh tahun aku memasukkan kartu absen di mesin keparat itu tiap pagi dan sore! Sudah sepuluh tahun aku melakukan pekerjaan yang itu-itu saja delapan jam sehari! Sudah sepuluh tahun! Dan akan berpuluh-puluh tahun lagi!”

“Sarman sudah  gila,” bisik seseorang.

Cerpen ini memang di awali dengan kalimat, “berceritalah tentang kejenuhan.”  Konflik yang terjadi dalam diri tokoh utama Sarman, mengingatkan saya tentang filsafat eksistensialisme Sartre. Menurut Sartre bahwa manusia merasa terasing dalam sebuah dunia tanpa makna. Perasaan terasing manusia di dunia ini menciptakan keputusasaan, kebosanan, kemuakkan, dan absurditas.  

Dalam realitas kehidupan khususnya kelas pekerja menengah perkantoran tentu mungkin ingin melakukan pemberontakan terhadap dirinya sendiri seperti Sarman, namun ketakutan untuk bertanggung jawab terhadap pilihan sendiri menjadi dinding tebal yang sulit dirobohkan.


Seorang Perempuan di Halte Bis

“Siapakah dia? Dari mana? Mau ke mana? Anak siapa? Berapakah saudaranya? Adakah orang-orang yang kehilangan dan mencari dia? Betapa sebuah jalan hidup. Betapa sebuah perjalanan.

Aku masih meluncur di dalam bis kota yang kosong. Bis kotaku meluncur tanpa kernet dan tanpa sopir. Aku merasa naik burak. Aku masih teringat perempuan itu, yang pasti masih saja berdiri di halte bis sambil menengok ke arah kanan, menanti-nanti bis kota dengan satu saja kursi kosong. Sudah sepuluh tahun ia berdiri di sana. Sudah sepuluh tahun…”

Ketika membaca cerpen ini, aku dihadapkan dengan dua kondisi tokoh yang jauh berbeda. Tokoh pertama, perempuan di halte yang menanti bis kota dengan satu tempat duduk kosong. Bis kota yang jika tiba di halte tersebut telah penuh dengan penumpang, selain itu penumpang yang menunggu di halte bersama perempuan itu pun selalu berdesak-desakan. Walaupun telah menunggu selama sepuluh tahun di halte yang sama tidak ada satu pun penumpang yang memberikannya satu kursi kosong. 

Tokoh kedua, aku seorang pedagang keliling yang berpindah dari satu bis kota satu ke bis kota lainnya. Dia tidak ingin hanya menghabiskan waktu di satu tempat saja. Namun, di setiap tempat yang ia singgahi ditemukannya orang-orang yang hanya mementingkan kepentingan sendiri.

Kumpulan cerpen Penembak Misterius, SGA menggunakan wahana sastra sebagai media informasi untuk mengkritik kebijakan Orde Baru dikarenakan munculnya pelarangan pers atau kontrol pers yang ketat terhadap media-media informasi saat itu. Maka SGA bertindak sebagaimana judul bukunya yang lain yaitu, ”Ketika jurnalisme dibungkam, sastra harus bicara.”


Sumber:

Ajidarma, Seno Gumira.2020. Penembak Misterius.

Gaarder, Jostein.2015.Dunia Sophie.

https://historia.id/kultur/articles/tato-dari-petrus-hingga-angelina-jolie-PNlKD/page/2

https://historia.id/politik/articles/petrus-kisah-gelap-orba-PyXNv/page/2


Jika ada kisah seorang pekerja seks yang memberikan minum seekor anjing lalu diampuni dosanya, maka mungkin hanya kisah Nasrul Marhaban yang mengunjungi masjid dalam tiga kesempatan: Hari Raya Idulfitri, Hari Raya Kurban, dan hari ketika rumahnya kebanjiran. Namun, diakhir hayatnya dikenang mati husnul khotimah.

Realitas kehidupan masyarakat itu sebenarnya dijejali berbagai hal-hal aneh, mungkin saja semua perilaku manusia adalah hal aneh tetapi kemudian muncul sifat ‘umum’ yang digeneralisasi sebagai hal yang wajar. Misalnya. gelar-gelar di kartu undangan pernikahan yang tidak mempunyai relevansi apa pun terhadap subtansi pernikahan. Namun, hampir semua undangan yang pernah saya baca menampilkan hal tersebut. 

Perkara pernikahan dan keanehan mungkin kisah Abdullah yang biasa dipanggil Dulah dalam cerpen berjudul Para Penjual Rumah Ustazah Nung dan Si Dulah di Toko Bang Rizal bisa jadi yang paling aneh, Dulah yang tsetia dengan cinta pertama mengorbankan tsegala-galanya kecuali kebodohannya. Terjebak di antara, cinta pertama, para makelar tanah dan sepasang penipu. 

Kumpulan cerpen Kisah-kisah Perdagangan Paling Gemilang karya Ben Sohib berisi 14 cerpen. Dia menampilkan tokoh-tokohnya berada dalam suatu permainan kehidupan yang aneh. Namun keanehan tersebutlah yang membuat pembaca merasa bahwa tokoh/situasi di dalam cerpen tidak jauh dari kehidupan yang dijalani. Keanehan yang sulit untuk bisa dianggap salah tetapi kita tahu bahwa terdapat nilai-nilai yang telah hilang dalam diri tokoh/situasi.

Tiga cerpen yang menurutku paling menarik;


Bagaimana Nasrul Marhaban Mati dan Dikenang

Sebagai orang yang dikenal sangat jarang pergi ke masjid, pilihan Nasrul Marhaban mengungsi ke Masjid Assalam setiap kali rumahnya terendam banjir itu sempat jadi bahan pembiacaraan warga. Bahkan, ada satu olok-olok tentang hal ini, entah siapa yang mengatakannya pertama kali, bahwa Nasrul Marhaban hanya mengunjungi masjid dalam tiga kesempatan: Hari Raya Idulfitri, Hari Raya Kurban, dan hari ketika rumahnya kebanjiran. Pada hari-hari selebihnya, tak pernah ia sengaja datang untuk keperluan lain, termasuk untuk salat jumat.

Ustaz Komar, sang khatib, menjadikan Nasrul Marhaban sebagai contoh, sosok manusia yang menutup perjalanan hidupnya dengan baik, mati husnul khotimah. Ustaz Komar menceritakan bagaimana Nasrul Marhaban yang dikenal sangat jarang ke masjid itu ternyata lebih memilih kehilangan nyawanya ketimbang melihat kitab suci milikinya lenyap ditelan banjir.


Kisah-kisah Perdagangan Paling Gemilang

Yohannes Soekatja, si calon pembeli tanah, terkena serangan jantung pada Minggu pagi sepulang dari gereja, dan sekarang dirawat intensif di sebuah rumah sakit di Pondok Indah. Salim, Amir, Shaleh segera berkumpul dan pergi ke sana untuk menjenguknya. 

Tiga sekawan itu duduk bersila di pojok ruangan dan mulai membaca Alquran. Sejak hari itu selepas Isya, Salim, dan Amir, dan Shaleh bersila di ruang tunggu ICU, bergantian membaca ayat suci. Menjelang dini hari baru mereka berhenti dan pulang ke rumah dan akan datang lagi selepas Isya pada malam berikutnya. Itu semua mereka lakukan semata-mata demi kesembuhan Yohannes Soekatja.


Apang Bokek dan Pidato Isterinya

Entah kebetulan atau kutukan, julukan Bokek mencerminkan keadaan ekonomi si penyandang. Meski tak mempunyai utang, Apang tak kalah melarat dibandingkan ayahnya.

Namun, justru dari kemiskinan itulah berbagai cerita dan kejadian yang melibatkan dirinya membicarakan gelak tawa di kampung kami. Ia disukai oleh banyak orang, terutama para pemuda dan pria setengah baya yang gemar mabuk. Bagi mereka, acara minum-minum terasa kurang meriah tanpa kehadiran Apang Bokek.

“Lu pade demen ngajakin Apang pegi, bakal lucu-lucuan doing. Lu pade demen nanggepin Apang, terus lu bayar pake duit recehan. Lu pade kagak pernah mikirin nasbnye!” Leha berkata dengan suara bergetar. Lalu ia terisak.


Kisah-kisah Perdagangan Paling Gemilang berisi sentilan-sentilan yang dibungkus dalam humor membuat gelak tawa tetapi tidak kehilangan esensi dari makna setiap kisah-kisah di cerpennya. Seandainya aku salahsatu dari tiga makelar Salim, Amir, atau Shaleh mungkin akan melakukan hal yang sama. Tentu tidak ada yang salah jika kita mendoakan orang yang berbeda keyakinan dengan rajin membaca Al-Qur’an di dekatnya tetapi apakah hal tersebut karena kesembuhannya atau menanti keuntungan jika orang tersebut sembuh? Atau mungkin saja mereka melakukan itu dengan spontan tanpa berpikir.

Judul : Kisah-kisah Perdagangan Paling Gemilang

Penulis : Ben Sohb

Penerbit/Tahun : Banana/2020

Jalan M.H Thamrin

Selama dua tahun bekerja dan indekos di Jakarta tetapi masih merasa bukan bagian darinya. Jakarta yang jika kamu datang di daerah segitiga emasnya akan berpikir kota ini menjulang ke atas, kokoh, dan merefleksikan kemajuan. Tetapi, jika melimpir sedikit di belakangnya maka pemandangan yang terlihat akan sangat jauh berbeda, orang-orang hidup terhimpit secara fisik dan ekonomi di gang. Menurut SGA dalam bukunya Affair (Obrolan Urban),Homo Jakartensis, manusia Jakarta, sosok-sosok yang mengembara dalam pencarian, dalam sebuah kota yang telah menjadi situs wacana, dengan pilihan yang terus-menerus berganti.

Buku Affair (Obrolan Urban) yang terbit lagi di tahun 2020, pertama kali terbit tahun 2004 berisi kumpulan beberapa kolom-kolom SGA di tabloid Djakarta tahun 2000 hingga 2011 dan ditambahkan dua kolom dari merdeka.com.

Walaupun objek yang dibahas adalah Jakarta dan manusianya namun sebenarnya lebih menunjukkan gejala kebudayaan yang muncul dalam masyarakat  umum  yang sekalipun letaknya jauh dan tentu bukan hanya wacana milik kaum urban.


Kolom pertama yang menarik, “Berhala Urban: Semoga Sukses!”

“Kisah sukses urban adalah kisah sukses dengan ukuran-ukuran baku. Kalau anda guru teladan yang berangkat sekolah untuk mengajar naik sepeda motor, yang mogok-mogok pula, kategori apapun sangat sulit menyebut anda orang yang sukses. Setelah menyetir selama 30 tahun, seorang sopir yang mempunyai reputasi tidak pernah secuil pun menyerempet mobil lain, tidak pernah ditilang, tidak pernah terlambat, dan hanya membunyikan klakson dalam keadaan sangat terpaksa ini pun tidak akan pernah dipuji sebagai sukses.

Andaikan Anda diangkat jadi menteri. Meskipun Anda belum mulai bekerja, Anda sudah dianggap orang sukses. Jabatan Anda adalah sukses anda, bahwa sebagai menteri Anda rada-rada bego, itu bukan persoalan.”

Kalimat di atas menunjukkan bagaimana cara pandang masyarakat tentang kesuksesan memiliki ukuran-ukuran yang ajaib. Bahkan saat ini konstruksi sosial menampilkan citra orang sukses dengan berdasi, berjas, mobil mewah, rumah bergaya Eropa abad 19, liburan di luar negeri, dan punya jabatan di pemerintahan atapun perusahaan.

Demi sebuah prestise dalam masyarakat akhirnya orang-orang memburu kesuksesan, tetapi bagaimana jika kita tidak ikut memburu kesuksesan? Puas dengan kehidupan yang biasa-biasa saja, menjadi nomor enam bahkan terakhir pun tidak masalah asalkan bisa hidup mandiri, tidak parasit, tidak membungkuk-bungkuk, apalagi tersenyum palsu.


Kolom kedua yang menarik,"Keramahan Jakarta."

"Kalau kita sebut humas, seperti pegawai negeri berseragam di ruangan panas terkantuk-kantuk, kalau kita sebut "pi-ar" langsung terbayang seorang perempuan berbaju blazer, dengan sepatu tinggi yang suara langkahnya terdengar nyaring tak-tak-tak-tak.

Betapa pun ramah orangnya, renyah tawanya, manis senyumnya, wangi parfumnya, dan langkahnya tak-tak-tak-tak. Saya tahu betul, itulah model-model keramahan yang saya sering temui di Jakarta, suatu keramahan bisnis, keramahan profesional, keramahan demi relasi--nah, public relations."

SGA menulis kolom di atas pada tahun 2001, namun pengalaman yang saya rasakan selama di Jakarta hampir tidak jauh berbeda. Tidak ada yang salah dengan ilmu public relations dan keramahan, tetapi jika kamu duduk diantara orang-orang yang saling mempraktikkan keramahan demi sebuah kepentingan yang muncul adalah rasa mual. Menurut SGA, bagaimana jika kecendrungan mempraktikkan ilmu ramah ini mengendam dalam jiwa, bergerak dalam jiwa Homo Jakartensis? Keramahan semu ini menjadi bagian hidup sehari-sehari. Senyum harus disetel walaupun hati ogah sekali. 


Kolom ketiga yang menarik,"Agenda."

"Memang ada orang sakit yang sangat butuh didampingi, karena sudah tidak apa-apa, tapi ada juga saya kira orang sakit yang lebih suka menyendiri.

Hubungan yang hanya terbina karena kepentingan, seperti yang cenderung terbangun di dunia urban, membuat seseorang kurang menjadi dirinya sendiri. Seseorang terpaksa melakukan hal-hal yang tidak disukainya jika berhadapan dengan orang lain, ataukah itu membiarkan diri tertindas, atau terpaksa menindas, sehingga menyendiri untuk bertemu dengan dirinya sendiri, sebagai dirinya sendiri, merupakan privacy yang bisa dimaklumi.

Akan kasihan baginya untuk harus berbasa-basi, apalagi melayani penegokan yang juga basa-basi."

Mungkin sebagian besar hubungan yang aku jalani selama mengenal kalimat, "manusia adalah makhluk sosial" cenderung karena kepentingan. Demi memperlancar hubungan tersebut seringkali yang muncul tidak lebih dari perilaku basa-basi. Saling menyapa jika bertemu di tempat umum, ikut mengucapkan selamat, atau duka pun seringkali karena sekedar berbasa-basi. Betapa membosankannya kehidupan seperti itu, apalagi ternyata kalau kita sebenarnya saling mengetahui kalau hanya sedang berbasa-basi belaka. Salahsatu basa-basi yang sering kentara kalau kalian memberikan selamat dengan meng copy-paste kata-kata orang lain.


Potongan ketiga kolom di atas yang paling aku suka dan berkenaan dengan pengalamanku, masih ada 64 kolom lain dalam buku Affair (Obrolan Urban). Mungkin salah satu atau beberapa kolom akan kamu kenali sebagai dirimu atau orang di sekitarmu. 

Mungkin sekali dalam hidupmu pernah berkata atau mendengar orang-orang di sekitarmu berucap,"Apa saya sudah tampak seperti orang Jakarta?" 

Affair (Obrolan Urban)

Penulis: Seno Gumira Ajidarma

Diterbitkan oleh: Pabrik Tulisan, Yogyakarta.