Jalan M.H Thamrin |
Selama dua tahun bekerja dan indekos di Jakarta tetapi masih merasa bukan bagian darinya. Jakarta yang jika kamu datang di
daerah segitiga emasnya akan berpikir kota ini menjulang ke atas, kokoh, dan
merefleksikan kemajuan. Tetapi, jika melimpir sedikit di belakangnya maka
pemandangan yang terlihat akan sangat jauh berbeda, orang-orang hidup terhimpit
secara fisik dan ekonomi di gang. Menurut SGA dalam bukunya Affair (Obrolan
Urban),Homo Jakartensis, manusia Jakarta, sosok-sosok yang mengembara dalam
pencarian, dalam sebuah kota yang telah menjadi situs wacana, dengan pilihan
yang terus-menerus berganti.
Buku Affair (Obrolan Urban) yang
terbit lagi di tahun 2020, pertama kali terbit tahun 2004 berisi kumpulan
beberapa kolom-kolom SGA di tabloid Djakarta tahun 2000 hingga 2011 dan
ditambahkan dua kolom dari merdeka.com.
Walaupun objek yang dibahas
adalah Jakarta dan manusianya namun sebenarnya lebih menunjukkan gejala
kebudayaan yang muncul dalam masyarakat umum yang sekalipun letaknya jauh dan tentu bukan hanya wacana milik kaum urban.
Kolom pertama yang menarik,
“Berhala Urban: Semoga Sukses!”
“Kisah sukses urban adalah kisah
sukses dengan ukuran-ukuran baku. Kalau anda guru teladan yang berangkat
sekolah untuk mengajar naik sepeda motor, yang mogok-mogok pula, kategori
apapun sangat sulit menyebut anda orang yang sukses. Setelah menyetir selama 30
tahun, seorang sopir yang mempunyai reputasi tidak pernah secuil pun
menyerempet mobil lain, tidak pernah ditilang, tidak pernah terlambat, dan
hanya membunyikan klakson dalam keadaan sangat terpaksa ini pun tidak akan
pernah dipuji sebagai sukses.
Andaikan Anda diangkat jadi menteri. Meskipun Anda belum mulai bekerja, Anda sudah dianggap orang sukses. Jabatan Anda adalah sukses anda, bahwa sebagai menteri Anda rada-rada bego, itu bukan persoalan.”
Kalimat di atas menunjukkan bagaimana cara pandang masyarakat tentang kesuksesan memiliki ukuran-ukuran yang ajaib. Bahkan saat ini konstruksi sosial menampilkan citra orang sukses dengan berdasi, berjas, mobil mewah, rumah bergaya Eropa abad 19, liburan di luar negeri, dan punya jabatan di pemerintahan atapun perusahaan.
Demi sebuah prestise dalam
masyarakat akhirnya orang-orang memburu kesuksesan, tetapi bagaimana jika kita
tidak ikut memburu kesuksesan? Puas dengan kehidupan yang biasa-biasa saja,
menjadi nomor enam bahkan terakhir pun tidak masalah asalkan bisa hidup
mandiri, tidak parasit, tidak membungkuk-bungkuk, apalagi tersenyum palsu.
Kolom kedua yang menarik,"Keramahan Jakarta."
"Kalau kita sebut humas, seperti pegawai negeri berseragam di ruangan panas terkantuk-kantuk, kalau kita sebut "pi-ar" langsung terbayang seorang perempuan berbaju blazer, dengan sepatu tinggi yang suara langkahnya terdengar nyaring tak-tak-tak-tak.
Betapa pun ramah orangnya, renyah tawanya, manis senyumnya, wangi parfumnya, dan langkahnya tak-tak-tak-tak. Saya tahu betul, itulah model-model keramahan yang saya sering temui di Jakarta, suatu keramahan bisnis, keramahan profesional, keramahan demi relasi--nah, public relations."
SGA menulis kolom di atas pada tahun 2001, namun pengalaman yang saya rasakan selama di Jakarta hampir tidak jauh berbeda. Tidak ada yang salah dengan ilmu public relations dan keramahan, tetapi jika kamu duduk diantara orang-orang yang saling mempraktikkan keramahan demi sebuah kepentingan yang muncul adalah rasa mual. Menurut SGA, bagaimana jika kecendrungan mempraktikkan ilmu ramah ini mengendam dalam jiwa, bergerak dalam jiwa Homo Jakartensis? Keramahan semu ini menjadi bagian hidup sehari-sehari. Senyum harus disetel walaupun hati ogah sekali.
Kolom ketiga yang menarik,"Agenda."
"Memang ada orang sakit yang sangat butuh didampingi, karena sudah tidak apa-apa, tapi ada juga saya kira orang sakit yang lebih suka menyendiri.
Hubungan yang hanya terbina karena kepentingan, seperti yang cenderung terbangun di dunia urban, membuat seseorang kurang menjadi dirinya sendiri. Seseorang terpaksa melakukan hal-hal yang tidak disukainya jika berhadapan dengan orang lain, ataukah itu membiarkan diri tertindas, atau terpaksa menindas, sehingga menyendiri untuk bertemu dengan dirinya sendiri, sebagai dirinya sendiri, merupakan privacy yang bisa dimaklumi.
Akan kasihan baginya untuk harus berbasa-basi, apalagi melayani penegokan yang juga basa-basi."
Mungkin sebagian besar hubungan yang aku jalani selama mengenal kalimat, "manusia adalah makhluk sosial" cenderung karena kepentingan. Demi memperlancar hubungan tersebut seringkali yang muncul tidak lebih dari perilaku basa-basi. Saling menyapa jika bertemu di tempat umum, ikut mengucapkan selamat, atau duka pun seringkali karena sekedar berbasa-basi. Betapa membosankannya kehidupan seperti itu, apalagi ternyata kalau kita sebenarnya saling mengetahui kalau hanya sedang berbasa-basi belaka. Salahsatu basa-basi yang sering kentara kalau kalian memberikan selamat dengan meng copy-paste kata-kata orang lain.
Potongan ketiga kolom di atas yang paling aku suka dan berkenaan dengan pengalamanku, masih ada 64 kolom lain dalam buku Affair (Obrolan Urban). Mungkin salah satu atau beberapa kolom akan kamu kenali sebagai dirimu atau orang di sekitarmu.
Mungkin sekali dalam hidupmu pernah berkata atau mendengar orang-orang di sekitarmu berucap,"Apa saya sudah tampak seperti orang Jakarta?"
Affair (Obrolan Urban)
Penulis: Seno Gumira Ajidarma
Diterbitkan oleh: Pabrik Tulisan, Yogyakarta.
0 komentar:
Posting Komentar