Sehabis hujan pria bertato ditembak mati oleh Petrus dan Tragedi lainnya

Jika dia ketahuan punya tato di antara tahun 1982 -1985, maka sudah cukup alasan dia dianggap penjahat yang mungkin akan dihabisi oleh petrus (penembak misterius). Kalau tidak salah namanya “Naches”, aku lupa sekarang dia masih hidup atau tidak. Namun, aku masih teringat dengan tato di lengannya yang gemuk berlemak bergambar perempuan telanjang tertusuk anak panah di hatinya dengan darah menetes. Setiap bertemu dengannya aku yang masih kanak-kanak (awal tahun 2000) selalu ketakutan, tetapi juga kagum dengan tatonya. Mungkin perjumpaan di masa kanak-kanak itu yang membuat aku bermimpi suatu saat mempunyai tato, tentu bukan gambar perempuan telanjang.

Kumpulan cerpen berjudul “Penembak Misterius” karya Seno Gumira Ajidarma. Di awali dengan trilogi penembak misterius yang terdiri dari Keroncong Pembunuhan, Bunyi Hujan di Atas Genting, dan Grhhh!. Ketiga cerpen ini di publikasikan di tahun 1985 dan 1987 saat rezim pemerintahan Orde Baru berkuasa. Trilogi cerpen tersebut sebagai reaksi SGA terhadap kebijakan pemerintah terkait dengan maraknya penembak misterius yang menewaskan orang-orang yang dianggap penjahat tanpa proses pengadilan. 

Pada tahun 1983, rezim Orde Baru menerapkan kebijakan yang ditakuti para penjahat bahkan preman: tembak mati. Mereka bisa dieksekusi mati kapan saja oleh penembak misterius (petrus). Di kutip dari histroia.id bahwa “kebijakan petrus ini atas restu Presiden Soeharto. Dalam otobiografinya, Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya, Soeharto berasalan bahwa petrus sebagai usaha mencegah kejahatan seefektif mungkin dengan harapan menimbulkan efek jera.”


Bunyi Hujan di Atas Genting

Sawitri merasa tetangga-tetangganya sudah terbiasa dengan mayat-mayat bertato itu. Malahan ia merasa tetangga-tetangga itu bergembira setiap kali melihat mayat bertato tergeletak di mulut gang setiap kali hujan reda dan mayat itu disemprot cahaya lampu merkuri yang kekuning-kuningan. Di dalam rumahnya yang terletak di sudut gang itu Sawitri mendengar apa saja yang mereka percakapkan. Mereka berteriak-teriak sambil mengurumuni mayat yang tergeletak itu meskipun kadang-kadang  hujan belum benar-benar selesai dan anak-anak berteriak hore-hore.

“Lihat!Satu lagi!”

“Mampus!”

“Modar!”

“Tahu rasa dia sekarang!”

“Anjing!”

“Anjing!”

Potongan-potongan paragraf di atas menampilkan wacana yang tumbuh di masyarakat pada saat kebijakan petrus diterapkan oleh rezim Orde Baru. Muncul stereotip kepada orang-orang yang bertato bahwa mereka  termasuk preman atau gabungan anak liar (gali) yang dapat mengancam keamanan. Sehingga, korban petrus yang memiliki tato dianggap oleh masyarakat pantas untuk ditembak mati. Pada akhirnya kebijakan pertrus ini telah dihentikan pada tahun 1985 dan orde baru telah runtuh di tahun 1998 tetapi stereotip masyarakat terhadap orang-orang bertato masih tetap saja hidup di tengah-tengah masyarakat. 


Sarman

Sarman yang sudah menghadap ke jalan raya berbalik, sambil menendang sisa-sisa kaca di kusen jendela, ia berteriak dengan marah.

“Sudah sepuluh tahun aku bangun tiap pagi dan berangkat dengan tergesa-gesa ke kantor ini! Sudah sepuluh tahun aku berangkat pagi hari dan pulang sore hari melalui jurusan yang sama! Sudah sepuluh tahun aku memasukkan kartu absen di mesin keparat itu tiap pagi dan sore! Sudah sepuluh tahun aku melakukan pekerjaan yang itu-itu saja delapan jam sehari! Sudah sepuluh tahun! Dan akan berpuluh-puluh tahun lagi!”

“Sarman sudah  gila,” bisik seseorang.

Cerpen ini memang di awali dengan kalimat, “berceritalah tentang kejenuhan.”  Konflik yang terjadi dalam diri tokoh utama Sarman, mengingatkan saya tentang filsafat eksistensialisme Sartre. Menurut Sartre bahwa manusia merasa terasing dalam sebuah dunia tanpa makna. Perasaan terasing manusia di dunia ini menciptakan keputusasaan, kebosanan, kemuakkan, dan absurditas.  

Dalam realitas kehidupan khususnya kelas pekerja menengah perkantoran tentu mungkin ingin melakukan pemberontakan terhadap dirinya sendiri seperti Sarman, namun ketakutan untuk bertanggung jawab terhadap pilihan sendiri menjadi dinding tebal yang sulit dirobohkan.


Seorang Perempuan di Halte Bis

“Siapakah dia? Dari mana? Mau ke mana? Anak siapa? Berapakah saudaranya? Adakah orang-orang yang kehilangan dan mencari dia? Betapa sebuah jalan hidup. Betapa sebuah perjalanan.

Aku masih meluncur di dalam bis kota yang kosong. Bis kotaku meluncur tanpa kernet dan tanpa sopir. Aku merasa naik burak. Aku masih teringat perempuan itu, yang pasti masih saja berdiri di halte bis sambil menengok ke arah kanan, menanti-nanti bis kota dengan satu saja kursi kosong. Sudah sepuluh tahun ia berdiri di sana. Sudah sepuluh tahun…”

Ketika membaca cerpen ini, aku dihadapkan dengan dua kondisi tokoh yang jauh berbeda. Tokoh pertama, perempuan di halte yang menanti bis kota dengan satu tempat duduk kosong. Bis kota yang jika tiba di halte tersebut telah penuh dengan penumpang, selain itu penumpang yang menunggu di halte bersama perempuan itu pun selalu berdesak-desakan. Walaupun telah menunggu selama sepuluh tahun di halte yang sama tidak ada satu pun penumpang yang memberikannya satu kursi kosong. 

Tokoh kedua, aku seorang pedagang keliling yang berpindah dari satu bis kota satu ke bis kota lainnya. Dia tidak ingin hanya menghabiskan waktu di satu tempat saja. Namun, di setiap tempat yang ia singgahi ditemukannya orang-orang yang hanya mementingkan kepentingan sendiri.

Kumpulan cerpen Penembak Misterius, SGA menggunakan wahana sastra sebagai media informasi untuk mengkritik kebijakan Orde Baru dikarenakan munculnya pelarangan pers atau kontrol pers yang ketat terhadap media-media informasi saat itu. Maka SGA bertindak sebagaimana judul bukunya yang lain yaitu, ”Ketika jurnalisme dibungkam, sastra harus bicara.”


Sumber:

Ajidarma, Seno Gumira.2020. Penembak Misterius.

Gaarder, Jostein.2015.Dunia Sophie.

https://historia.id/kultur/articles/tato-dari-petrus-hingga-angelina-jolie-PNlKD/page/2

https://historia.id/politik/articles/petrus-kisah-gelap-orba-PyXNv/page/2

0 komentar:

Posting Komentar